Cheon Sa masih dengan serius mengerjakan pekerjaan rumahnya ketika dengan sembarangan dan tanpa permisi dulu, Hyeon Sa—kakak tertuanya—masuk dan mengganggunya yang tengah berkonsentrasi pada tugas Matematika yang terbilang sulit. Dia mendesah pelan dan memutar bola matanya jengah.
“Itik! Aku bicara padamu!”
Dia memutar duduknya dan kini tengah berhadapan dengan kakaknya yang terlihat marah dan kesal. Diingat-ingatnya kembal apa dia melakukan kesalahan hari ini? Atau kakaknya memang sedang ingin marah saja dengannya. Bukankah seperti itu—biasanya.
“Kenapa jalang itu bisa dekat denganmu?” tanya Hyeon Sa.
Cheon Sa mengeryit bingung dengan sebutan ‘jalang’ yang diberikan Hyeon Sa kepada entah siapa itu. “Jalang?” dia membeo.
“Ugh, itik bodoh!” Hyeon Sa mengumpat kesal. Dia kemudian melirik ke pintu kamar, dilihatnya Ryeon Sa turut menyemarakkan omelan Hyeon Sa—sepertinya. Itulah kenapa dia selalu benci jika orang tuanya pergi ke luar negeri untuk urusan bisnis. Dia akan selalu di bully oleh kedua kakaknya. “Na Young maksudku!” bentaknya.
“Aku tidak dekat dengannya.” Elak Cheon Sa. Memang seperti itu menurut Cheon Sa. Dia tidak menganggap Na Young adalah teman dekatnya. Hanya-sunbae-yang-dia-kenal—menurutnya.
“Tapi dia selalu membelamu.”
“Membelaku?” Cheon Sa benar-benar tidak mengerti.
“Ketika kau mendapatkan perlakuan kasar temanmu. Dia yang membelamu. Lupakan sahabatmu yang gendut itu, aku tidak peduli.”
Cheon Sa tersenyum miris. Bukankah harusnya kalian yang menolongku?—“Dia hanya kasihan mungkin.”
“Dan juga,” Hyeon Sa mengacungkan jarinya. Ryeon Sa masih menjadi penonton setia. “Jangan bermimpi untuk berada di sisi Dong Hae. Kau sama sekali tidak pantas.” Cibir Hyeon Sa dan mendapat tawa persetujuan Ryeon Sa.
“Pun aku juga tidak berminat.” Ucap Cheon Sa enteng dan berbalik melanjutkan pekerjaan rumahnya.
Hyeon Sa seperti tertohok dan merasa kalah—tapi dia tidak mau kalah dengan adiknya itu, “bagus! Sepertinya kau sadar diri kau itu hanya itik buruk rupa dengan kulit kusam dan rambut berantakan. Dan kau sudah tau dimana kau berada adikku sayang.” Ejek Hyeon Sa dan meninggalkan kamar Cheon Sa diikuti Ryeon Sa dibelakangnya.
***
Paginya ditengah kericuhan sekolahnya—yang memang sudah menjadi hal biasa kini—Cheon Sa juga ikut melihat kericuhan yang lain. Beberapa selebaran tertempel di setiap sudut sekolahnya. Dan semuanya sepertinya juga sedang sibuk membicarakan hal itu. Diambilnya selembar poster yang ada dan membacanya sekilas.
Good Bye Summer! Festival
Hah, lagi-lagi hal yang tidak menarik untuk Cheon Sa. Dari jauh dia melihat Mi Rae berlari menghampirinya dengan sekantong chips dan menyisakan remahan di sekitar mulut gadis tambun itu.
“Kau pasti sudah tahu kehebohan lain pagi ini, kan?” tebak Mi Rae antusias dengan mulut yang penuh chips.
“Lebih baik kau telan dulu itu.” Peringat Cheon Sa.
Mi Rae tersenyum lucu dan segera mengunyah dan menelannya. “Itu festival tahunan di BHS[1]. Sebentar lagi musim panas berakhir, dan seperti tahun-tahun sebelumnya BHS menggelar festival itu. Dimana tidak hanya dihadiri oleh anak BHS, tapi juga seluruh pelajar disini. Di acara puncak nanti akan ada Mate.”
“Mate?” tanya Cheon Sa bingung. Siapa pula Mate itu?—pikirnya.
“Kau tidak kenal mereka? Mate itu band indie yang cukup terkenal. Yah, sebenarnya tidak banyak yang tahu. Tapi, cukup terkenal di kalangan pelajar.”
“Oh,” hanya itu yang keluar dari mulut Cheon Sa. Karena dia benar-benar tidak tertarik sedikit pun.
“Acara puncaknya dua hari lagi. Pastikan kau datang!”
***
Di pagi yang sama, Na Young berlari dengan kecepatan penuh karena beberapa menit lagi dia terlambat. Andai saja kaos kaki keberuntungannya yang bermotif burung hantu yang selalu dia pakai di hari Rabu tidak lupa dicuci oleh housekeeper rumahnya, dan membuatnya harus rela menunggu beberapa menit untuk menunggu Bibi Jung—houskeeper rumahnya—mengeringkan kaos kaki tersebut. Sebenarnya dia bisa saja mengenakan kaos kaki tersebut dalam keadaan belum dicuci. Tapi, tidak bisa! Itu sama saja merusak ‘ritual’nya.
Dan setelat-telatnya dia ke sekolah, gadis itu selalu menolak untuk diantar ke sekolah oleh supir pribadinya. Apa pun yang terjadi dia lebih suka naik bis ketimbang diantar naik mobil mewah dan menjadi perhatian seluruh siswa. Bukan style-nya.
Lampu merah untuk pejalan kaki baru saja akan berubah menjadi kuning di detik berikutnya, namun Na Young sudah tidak sabar karena bis yang akan mengantarnya ke sekolah sebentar lagi datang. Dan bis berikutnya kalau dia terlambat parah, masih harus rela menunggu 25 menit lagi. Karena perhatiannya yang tidak awas, dari arah kiri melaju motor dengan kecepatan sedang dan harus melalukan pengereman mendadak karena seorang gadis baru saja melintas di hadapannya. Dan...
“AWWW!!!”
Na Young terpekik ketika ban depan motor tersebut menyenggolnya dan membuatnya tersungkur dengan bebasnya di aspal jalanan. Pengguna motor tersebut segera turun dari motornya.
“Tidak lihat apa lampu sudah merah? Dan lampu pejalan kaki sudah berwarna hijau?” Na Young bersungut-sungut kesal melihat lututnya yang berdarah. Tak lama setelah itu bis yang dia tumpangi melintas begitu saja. “Tuh, kan!!” Na Young berteriak sambil menunjuk pada bis yang sudah melintas. “Semua karena Bibi Jung! Ritualnya berantakan!”
“Kau tidak apa?” pengguna motor yang ternyata seorang pria berambut gondrong itu langsung menolong Na Young untuk berdiri.
“Aku terjatuh karena motormu, lututku berdarah, aku tertinggal bis, dan aku telat sekolah! Apa itu masih bisa dibilang baik-baik saja?” Na Young mengomel kesal.
Berisik sekali gadis ini—telinga pria itu seperti berdengung mendengar rentetan omelan Na Young.
“Oh, itu ada minimarket. Kita kesana saja! Kita obati lukamu dan aku akan mengantarmu ke sekolah.” Tawar pria itu.
Na Young melihat arloji Baby-G berwarna toska yang melingkar di tangan kirinya. Masih ada dua puluh lima menit sebelum bel sekolah berbunyi—pikirnya.
“Baiklah, tapi aku sudah terlambat. Dua puluh lima menit lagi bel sekolahku berbunyi.”
“Mengobati luka hanya memakan waktu lima menit jika kau diam dan tidak terus berkicau dan membuat telingaku berdengung.” Pria itu merangkul lengan kanan Na Young dna menuntunnya menuju minimarket tidak jauh dari tempat Na Young terjatuh.
Pandangan pria itu kemudian jatuh pada kaos kaki sebetis milik Na Young dengan motif burung hantu.
“Kaos kakimu lucu.”
“Eh?” Na Young menunduk ikut melihat kaos kakinya. “Kaos kaki keberuntunganku.”
“Tapi kau terjatuh dan terlambat.” Ejek pria tadi menangkis persepsi ‘hari baik’ bagi Na Young.
“Hanya karena houskeeper rumahku lupa mencuci dan pengendara motor bodoh yang sepertinya buta warna.” Ejek Na Young.
Pria itu masih tidak menanggapi dan mendudukkan Na Young pada kursi di bawah kanopi yang ada di depan minimarket tersebut. Dia kemudian masuk membeli obat merah, kapas, dan plester, juga air mineral.
Tak lama pria berjaket kulit hitam dan berambut gondrong itu kembali dengan kantong kertas berwarna cokelat. Dia lalu menarik kursi kosong yang ada di depan Na Young digunakannya untuk duduk. Dibersihkannya luka kecil itu dengan air mineral membuat Na Young meringis menahan perih.
“Aku sudah punya driving licence asal kau tahu saja.” Ucap pria itu.
“Tapi membaca rambu saja tidak bisa.” Timpal Na Young.
“Aku sedang terburu-buru tadi.”
“Jika alasan pelaku tabrak lari seperti itu, pasti polisi jengah mendengarnya.”
“Tapi aku bertanggung jawab.”
“Memang seharusnya begitu.” Timpal Na Young lagi.
Gadis ini tidak bisa didebat—pria itu menarik kesimpulan sendiri. Dia kemudian memberikan obat merah di luka Na Young dan menutupnya dengan kapas juga plester.
“Ada luka lagi?”
“Tidak ada.” Jawab Na young singkat. “Sepuluh menit lagi bel berbunyi.” Na Young kembali melirik arlojinya. “Seberapa cepat kau bisa mengendarai motor hingga Blue High School?”
“Secepat yang kau minta Nona...” pria itu diam sejenak membaca name tag di dada kiri Na Young. “Choi Na Young.”
“Setuju! Cepat anatarkan aku sesuai janjimu tuan pemabalap liar!”
***
Dong Hae tahu apa yang membuat sahabatnya ini gusar setengah mati. Iya saja, lima menit lagi bel sekolah berbunyi dan kekasih sahabatnya itu belum menampakkan batang hidungnya. “Kenapa tidak menjemputnya saja tadi pagi?” tanya Dong Hae.
“Kau seperti tidak tahu Na Young saja. Dia tidak pernah mau aku jemput dengan mobil.” Jawabnya kesal. Pandangan Si Won dan Dong Hae kemudian melewati jedela kelasnya yang langsung dapat melihat gerbang depan sekolahnya. Dong Hae tercekat pun dengan Si Won. Mereka berdua melihat Na Young turun dari motor seorang pria.
Dengan hati-hati Dong Hae melirik Si Won, dia tahu sahabatnya itu sedikit tidak bisa mengontrol emosinya. “Si Won itu—“
Si Won tidak menggubris dan langsung beranjak meninggalkan kelas. Dong Hae tahu pasti sebentar lagi akan ada keributan. Dengan kesal Dong Hae ikut menyusul—takut-takut Si Won melampui batas emosi dan melukai Na Young.
Di sisi lain, Na Young bersyukur tidak datang terlambat. Dia kemudian turun dari motor balap tersebut dan merapikan rambutnya yang berantakan.
“Terima kasih sudah mengantarku, ehm—“
“Hyun Jae. Lee Hyun Jae.” Pria itu mengulurkan tangannya dan langsung diterima oleh Na Young.
“Sekali lagi terima kasih, tuan pembalap! Anggap saja kita impas, O.K.?” Na Young mengacungkan dua jempolnya kemudian berjalan masuk melewati gerbang sekolahnya yang sebentar lagi akan tertutup rapat.
Tepat ketika dia berbalik, dia mendapati Si Won beridri di depan lobby sekolah mereka dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam kantong. Na Young tidak begitu menggubris karena dia sendiri tidak merasa bersalah. Langkahnya sedikit terpincang-pincang menghampiri Si Won.
“Kenapa tidak masuk kelas?” tanya Na Young, clueless dengan wajah garang Si Won.
“Siapa dia?” bukannya menjawab Si Won malah bertanya balik.
“Oh, dia orang yang menbrakku tadi. Dan sebagai permintaan maaf dia mengantarku sekolah.” Ringis Na Young.
Si Won memperhatikan lutut Na Young yang terluka. “Kau baik-baik saja, kan?” nada suara Si Won berubah menjadi lembut.
“Iya, aku baik-baik saja.”
“Kenapa baru datang, sih?” Si Won merangkul Na Young dan menuntunya berjalan masuk ke dalam kelas. Dan meluncurlah cerita Na Young tentang kaos kaki keberuntungannya yang ternyata belum di cuci oleh Bibi Jung hingga tragedi mengejar bus yang berakhir celaka.
Dong Hae yang memperhatikan sedari tadi hanya mempu menarik napas lega melihat kedua sahabatnya tidak berdau argumen lebih lanjut. Dia kemudian menyusul Si Won-Na Young masuk ke dalam kelas. Langkahnya terhenti ketika terdengar bunyi benda jatuh dari gudang dibawah tangga lantai. Lelaki itu menghentikan langkahnya dan berbelok.
“Apa ada orang?” Dong Hae berteriak namun tidak ada jawaban. Sekali lagi dia menajamkan pendengarannya, kemudian mendengar suara batuk-batuk dari dalam gudang. Pria itu menggedor pintu gudang—meminta respon.
“Tolong!” teriak orang yang ada di dalam.
“K-kau baik-baik saja?” teriak Dong Hae takut. Takut yang menjawab bukanlah manusia melainkan hantu. Dia memutar kenop pintu gudang yang ternyata terkunci. “Tunggu sebentar!” Dong Hae bernajak pergi menemui penjaga sekolah yang ternyata tengah tertidur di pos satpam.
“Bapak!” Dong Hae mengguncang bahu pria berumur 40 tahunan itu dna membuatnya terbangun. “Bapak! Aku minta kunci gudang di lantai satu! Ada seseorang yang terkunci di dalam.”
Pria tua itu tergagap.
“Ah, maaf. Maaf. Aku hanya membutuhkan kunci gudang di lantai satu. Gudang yang berada di bawah tangga.” Jelas Dong Hae.
“Oh,” dirogohnya saku celana kusamnya dan tidak menemukan kunci itu. “Kuncinya tidak ada padaku.” Pria itu terus mencarinya dan merogoh semua kantongnya. “Aneh sekali, padahal pagi tadi aku baru saja dari gudang untuk mengeluarkan alat bersih-bersih.”
“Seorang temanku terkunci disana!”
“Ah iya!” ditepuknya jidat yang sudah mulai keriput itu. “Aku lupa menguncinya tadi. Ah, penyakit pikunku ini!” dia mendumal kesal. “Harusnya kunci itu masih ada di gudang.”
“Tapi temanku terkunci!”
“Tunggu!” dia masuk ke dalam kantor satpam dan mengambil kunci yang tergantung di tembok. “Untung aku ingat jika punya kunci cadangan. Ini!”
Dong Hae segera mengambil kunci itu dan kembali ke gudang. Dia berharap jika siapapun yang terkunci di dalam gudang masih bisa dia selamatkan. Bel yang berbunyi sedari tadi tidak dia pedulikan, bahkan teriakan wali kelasnya pun dia abaikan. Segera dibukanya pintu gudang. Gelap. Dicarinya tombol saklar dengan meraba-raba.
Ketika lampu sudah menyala namun remang-remang, dilihatnya seorang gadis sudah tergeletak tidak sadarkan diri di lantai gudang dengan kaki yang tertimpa bangku. Kepanikan Dong Hae semakin bertambah ketika tahu siapa orang yang akan ditolongnya itu.
“Dong Hae!” seorang guru perempuan yang merupakan wali kelasnya muncul di pintu gudang bersiap akan memarahi Dong Hae.
“Songsae-nim!! Tolong! Dia pingsan!”
“Cepat! Bawa ke ruang kesehatan!” perintah guru perempuan itu.
Dong Hae membopong tubuh gadis itu ke ruang kesehatan yang masih satu lantai dengan gudang tersebut.
***
Mi Rae sudah tidak bisa menahan lagi. Semenjak jam pertama dimulai dia ingin segera kabur dari kelas melihat keadaan Cheon Sa. Huh, harusnya dia tahu jika tidak membiarkan Cheon Sa mengambil alat kebersihan seorang diri di gudang. Seharusnya dia juga sadar jika Jung Ah masih dendam kepada Cheon Sa sejak kejadian jus jeruk tempo hari.
Ketika bel pergantian jam olah raga, gadis itu berlari menuju ruang kesehatan. Ah, persetan dengan mata pelajaran olah raga yang tidak dia sukai karena selalu membuatnya lapar. Saat sampai di ruang kesehatan dilihatnya Cheon Sa sudah terbaring di atas ranjang dan dilihatnya juga Dong Hae yang berdiri di sebelah dokter sekolahnya yang sedang memeriksa keadaan Cheon Sa.
“Kau temannya?” tanya Dong Hae ketika melihat Mi Rae.
“Ne, sunbae-nim.” Jawabnya.
“Dia kekurangan oksigen. Tidak usah khawatir, sebentar lagi dia akan bangun. Juga, aku menemukan memar di pergelangan kakinya. Tidak parah.” Jelas dokter itu.
“Cheon Sa-ya...” lirih Mi Rae. Sedih.
“Kenapa dia bisa ada di gudang dan terkunci?” tanya Dong Hae lagi.
“Terkunci?” Mi Rae balik bertanya.
“Iya, terkunci.”
Gadis tambun itu mengeram kesal. “Harusnya aku tahu itu!” geramnya. “Hari ini aku dan Cheon Sa mendapat jadwal membersihkan kelas. Dia kemudian mengembalikan alat pel yang kami pinjam di gudang. Dan seharusnya aku sadar jika salah seorang teman kami tidak ada di kelas juga ketika Cheon Sa mengembalikan alat pel itu.”
“Jadi, ada yang mengerjainya?”
“Aku rasa begitu. Teman-teman sekelas tidak menyukai kami. Tapi, Cheon Sa adalah orang yang paling sering dikerjai oleh teman sekelas daripada aku. Karena dia tidak pernah melawan.”
“Kau tidak ada jam pelajaran?”
“Eh?” Mi Rae mendesah mengingat ada jam olah raga dan ada penilaian. “Ada, sunbae-nim.”
“Kembalilah. Biar aku yang menunggunya disini.” Suruh Dong Hae.
“Tapi, sunbae-nim,”
“Tidak apa. Aku sudah menghubungi Na Young, dan dia juga akan kemari. Jadi kembalilah.”
“Kalau begitu, baiklah. Terima kasih, sunbae-nim. Aku akan kemari saat jam makan siang.”
“Eoh, pergilah!”
Mi Rae akhirnya meninggalkan ruang kesehatan menyisakan Cheon Sa yang masih belum sadar dan Dong Hae yang terdiam menunggui Cheon Sa untuk segera bangun. Lelaki itu kemudian duduk meluruskan kakinya pada ranjang kosong yang berada tepat di sebelah ranjang yang ditempati Cheon Sa. Dipasangnya headset yang tersambung pada pemutar musik mini miliknya. Perlahan matanya ikut terpejam dan tertidur.
***
“Tadi kenapa bisa hampir terlambat?” sungut Si Won ketika guru mereka sudah meninggalkan kelas karena pergantian jam.
“Bibi Jung lupa mencuci kaos kaki ini.” Na Young menunjukkan koas kakinya. “Jadi aku harus menunggunya mencuci dan mengeringkannya.”
“Apa tidak ada kaos kaki lain?”
“Ini kaos kaki keberuntunganku di hari Rabu. Kau tahu itu, kan?” kesal Na Young.
“Tapi kau terlambat, dan tertabrak motor.”
“Ih, pokoknya ini kaos kaki harus di pakai hari Rabu. Aku tidak peduli jika aku tetap sial.”
Si Won menghela napas pendek dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Gadisnya ini memang susah untuk di debat. Makanya dia tidak heran jika orang yang sangat dicintainya itu masuk dalam klub debat di sekolahnya.
“Kau akan datang di acara festival nanti bukan?” tanya Si Won pada Na Young yang sibuk mencatat di buku catatannya tadi—guru mata pelajaran selanjutnya belum datang untuk mengisi kelas.
“Ehm,” Na Young berpikir sejenak. “Aku malas.” Jawabnya. “Tahun ini akan sama dengan sebelum-sebelumnya, kan? Aku malas jika anak sekolah luar sudah bergenit-genit ria.”
Si Won tersenyum. “Cemburu? Ayolah, datang saja. Katanya tahun ini lebih menarik, malamnya selain ada pesta kembang api juga ada penerbangan lampion. Juga, aku dan Dong Hae akan mengisi di acara itu.”
“Kalian akan mengisi apa?”
“Aku bermain gitar dan Dong Hae akan bernyanyi.”
“Memangnya dia bisa bernyanyi?” tanya Na Young heran. Selama ini dia tidak pernah mendengar Dong Hae bersenandung.
“Jangan sampai kau berpindah hati ke dia, ketika sudah mendengarnya bernyanyi.” Ancam Si Won dengan mimik serius namun dianggap jenaka oleh Na Young.
“Aduh, aduh, kalau sudah wajah serius jadi gemas!” Na Young terkikik geli.
***
Cheon Sa tersadar dan mendapati dirinya sudah berada di ruang kesehatan. Dirasakan nyeri di pergelangan kaki kirinya. ah iya, aku tertimpa bangku tadi—ingatnya sesaat. Dia berniat kembali ke kelas ketika mendapati seseorang tertidur di ranjang ruang kesehatan. Baru saja dia akan mengabaikan lelaki itu namun sudah keburu tertangkap basah karena lelaki itu terbangun dari tidurnya.
“Kau mau kemana?” tanyanya dan meloncat dari ranjang.
“Aku mau kembali ke kelas.”
“Tapi, kau masih sakit.”
“Aku baik-baik saja.” Ucap Cheon Sa dingin seraya memakai sepatunya. “Kenapa sunbae-nim ada disini?” tanyanya.
“Ah, itu,” Dong Hae menggaruk tengkuknya. “Aku tadi juga tidak enak badan.” Kilahnya.
“Ah, begitu,” Cheon Sa mengibas-ngibaskan roknya yang kusut dengan tangan. “Aku kembali ke kelas sunbae-nim.” Pamitnya.
“Kakimu?” tunjuk Dong Hae ketika melihat jalan Cheon Sa yang kepayahan.
“Tidak apa, hanya memar sedikit.” Cheon Sa menundukkan badanya dan kembali pamit masuk ke dalam kelasnya tanpa mengeahui jika Dong Hae adalah orang yang sudah menyelamatkannya.