Jinki mengesap kopi hangat sambil menatap salju yang mulai turun dengan menyenderkan tubuhnya ke samping dimana bibir pintu berdiri. Pagi ini adalah pagi pertama salju mulai turun, Jinki tidak pernah mau melewatinya. Dulu ketika salju pertama turun pasti Sulli segera memberitahukannya dan mengajaknya memandang salju-salju itu di pintu lantai dua rumah mereka, kemudian sama-sama mengucapkan doa. Berharap agar kehidupan mereka membaik, Sulli sembuh, Ayah bahagia di surga dan Ibu segera pulang. Semua doa itu sebenarnya menjadi doa setiap musim berganti untuk mengingat bahwa mereka dapat melewati setiap hari yang sebenarnya tidak menyenangkan dan masih bisa menunggu kebahagian meski entah kapan datangnya. Hal itu ternyata membuat mereka lebih tegar.
“yeobseo?” Jinki mengangkat ponsel yang sejak tadi bergetar di kantung celananya.
“aku bisa minta tolong?” terdengar suara Minho disana “baru saja Myun Ji mengirim pesan padaku kalau dia sedang berada di Busan, tolong kau jemput dia untuk segera pulang, aku harus menemani Sulli ke dokter karena obatnya sudah habis”
“baik” jawab Jinki singkat sambil menatap kepulan asap dari cangkir yang ia pegang.
“baiklah kalau bisa kau kesana dengan Kepala Pelayan Jung karena dia tahu jalannya dan Myun Ji membawa mobil sendiri jadi kau bisa membawa mobil Myun Ji ketika pulang” lanjut Minho. Jinki mengangguk meski Minho tidak bisa lihat tapi diamnya Jinki menandakan setuju bagi Minho.
“tapi” Jinki bersuara kembali ketika Minho bersiap memutuskan sambungan “memang disana rumah siapa? Apa rumah saudaranya?” Tanya Jinki heran karena tidak mungkin Myun Ji menyetir sendiri sejauh itu.
Tidak ada jawaban, terdengar sunyi disana. Jinki mengerutkan keningnya.
Akhirnya Minho menjawab “disana adalah rumah yang harusnya kami tempati setelah menikah” Jinki meneggakkan tubuhnya dan Jinki tahu nada suara Minho terdengar berbeda.
“baik, aku.. akan menyuruhnya pulang” Jinki mulai merasa tidak enak.
“gomawo” ucap Minho kemudian memutuskan sambungan. Jinki mencoba mengerti situasi, bukan hanya kehidupannya yang berubah tapi juga hidup Myun Ji dan Minho.
-
“apa Nona Myun Ji ada disana juga?” Kepala Pelayan Jung memulai obrolan ketika lampu lalulintas berwarna merah. Jinki mengangguk. “apa Tuan bisa buka dashboard itu?” lanjutnya tiba-tiba membuat lamunan Jinki buyar.
Jinki menuruti dan membukanya, sebuah kertas menyetuh ibu jari Jinki. Itu sebuah foto, Jinki mengambilnya dan mengamati foto itu kebingungannya membuat ia melirik kearah Kepala Pelayan Jung.
“itu foto kedua orang tua Tuan” sepertinya Kepala pelayan mengerti arti lirikan Jinki kemudian tersenyum. Jinki mengangguk paham. Wajah kedua orang itu masih terlihat masih muda sambil menggendong anak perempuan yang usianya sekitar hampir dua tahun mereka tersenyum bahagia.
“ini Jinhya Noona?” Jinki menyentuhkan telunjuknya kearah wajah balita yang tengah di gendong seorang wanita dengan seorang pria yang berdiri tegap di belakangnya.
“iya itu Nona Jinhya, Tuan”
“berarti aku belum lahir?” Jinki menoleh arah Kepala Pelayan yang memandang lurus ke depan dan mulai menginjak gas, meski mobil yang melwati mereka bisa dihitung dengan jari Kepala Pelayan itu memang selalu patuh pada apapun itu termasuk lampu yang setiap waktu akan berubah warna jadi ia tidak pernah berfikir untuk menerobosnya sebelum lampu berubah hijau.
Jinki terus memandangi foto itu. Ia iri karena bisa melihat sepasang suami istri yang sekarang menjadi orangtuanya tersenyum senang, sepertinya hidup mereka benar-benar bahagia. Dari dulu ia selalu menginginkan keluarga yang bahagia, orangtua yang utuh, tapi ia tidak seberuntung itu.
“tuan baik-baik saja?” tegur kepala pelayan Jung karena melihat Jinki megusap ujung matanya.
“emm, aku baik” ucap Jinki bohong. “Jung-ssi, apa kedua orangtuaku sangat baik?”
“ia Tuan, mereka sangat baik, ramah dan penuh kasih sayang mereka sangat menyayangi Tuan” Kepala pelayan berusaha tersenyum meski terasa berat, ia sedikit berbohong.
Ting Tong…
Jinki menyentuh tombol didekat pintu dan wajah seorang wanita muncul di layar dekat tombol itu.
“oh, Jinki?” tak berapa lama kemudian Myun Ji membukakan pintu. “kalian?” Myun Ji mengerutkan dahi heran.
“selamat siang Nona” kepala pelayan membungkuk.
“ah apa kabar paman? Sudah lama tidak bertemu”
“saya baik Nona” Kepala Pelayan Jung tersenyum ramah.
“kalau begitu masuklah” Jinki sudah mulai melangkah masuk tapi Pelayan Jung masih diam berdiri.
“saya akan segera pulang Nona, masih banyak pekerjaan yang harus saya kerjakan”
“benarkah? Kenapa tidak masuk dan minum teh dulu?” pinta Myun Ji. Ia tahu betul pria setengah baya dihadapannya ini, meski usianya mulai memasuki lima puluh tahun tapi beliau pekerja keras, satu-satunya orang kepercayaan keluarga Lee.
“saya hanya bertugas mengantar Tuan muda Jinki”
“ah! Begitu” Myun Ji sejenak menoleh kebelakang dan melihat Jinki sedang asik memandangi rumah itu “baiklah hati-hati dijalan paman” setelah Kepala Pelayan Jung pergi Myun Ji mentup pintu dan masuk ke dalam.
Jinki masih memperhatikan interior rumah itu. Rumah berlantai dua yang minimalis tapi tetap terlihat elegan, dengan nuansa hitam putih rumah ini sangat cocok dengan nuansa pantai yang dapat dilihat dari halaman belakang.
“rumah yang bagus” puji Jinki begitu Myun Ji berdiri disampingnya. Myun Ji menarik sudut bibirnya.
“kau mengetahuinya dari Minho?” tebak Myun Ji. Meski hal itu benar tapi Jinki tidak langsung mengatakan ‘ya’.
“aku Minho” Jinki mengingatkan sambil menatap Myun Ji “jangan sampai salah nama atau nanti hatimu juga akan ikut salah mengenali kami” belum Myun Ji mengerti kata-kata Jinki pria itu sudah berjalan kearah dapur.
“kau lapar? Aku baru saja memasak” Myun Ji menghampiri Jinki meski pria itu sedikit kaget kalau Myun Ji ternyata bisa memasak hal itu tidak ingin dijadikan Jinki sebagai topik pembicaraan mereka.
“tidak, aku ingin minuman hangat saja”
“baik, aku akan buatkan coklat hangat” Jinki mengangguk dan berjalan ke halaman belakang. Myun Ji memperhatikan sekilas lalu melihat Jinki duduk di anak tangga setelah membuka lebar-lebar pintu halaman belakang. Bahkan udara dinginnya langsung terasa sampai ke dapur.
“ini” Myun Ji memberikan gelas berisi coklat hangat. “kenapa tidak didalam saja? disini sangat dingin” Myun Ji menggosok telapak tangannya pada gelas hangat yang ia pegang.
“aku suka lautnya” Myun Ji mengangkat alisnya sejenak dan ikut menatap pemandangan didepannya. Raut wajahnya berubah sedih, Jinki menyadari itu dan kata maaf bukan caranya untuk mengungkapkan rasa tidak enak hatinya.
“aku bukan Jinki, jadi jangan bersedih didepanku” mendengar itu Myun Ji tersenyum bahkan hampir tertawa. “kenapa tiba-tiba tersenyum?” Jinki melirik sekilas kemudian kembali menatap kedepan sambil meminum coklat hangat buatan Myun Ji.
“walau kata-katamu itu menyakitkan tapi cukup membuatku tegar, gomawo” Myun Ji menunjukan senyumnya yang lebar. Jinki tidak menanggapi dan malah terlihat salah tingkah.
Setelah itu hening, mereka sama-sama diam, tapi suasana yang tadinya dingin sekarang mulai menghangat. Hal itu membuat Myun Ji mulai bercerita.
“waktu itu Siwon Oppa dan Jinhya Eonnie yang akan tinggal disini, Jinki lah yang menghadiahkan rumah ini untuk mereka” Myun Ji menghembuskan napas. Walau pria disampingnya terlihat tidak peduli tapi ia itu tahu kalau pria itu mendengarkan dengan baik.
“tapi karena Ayah Jinki meninggal lima tahun yang lalu Siwon Oppa harus membantu mengurus perusahaan keluarga Lee dan pindah ke New York bersama Jinhya Eonnie yang akhirnya membuat Jinki memilih rumah ini menjadi rumah kami nantinya, oh Jinki juga suka laut” Myun Ji kembali tersenyum ramah dan menoleh kearah Jinki oh atau mungkin Minho.
“Ayah Jinki meninggal? Lalu Ibunya?” merasa tidak tertarik dengan cerita Myun Ji dan Jinki atau tentang ia dan Jinki yang sama-sama menyukai laut, ia lebih tertarik dengan kisah sepasang suami istri yang fotonya masih ia simpan di kantung mantelnya.
“Ibunya sudah pergi lebih dulu beberapa tahun sebelum Ayahnya, aku tidak pernah mengenal sosoknya karena aku dan Jinki dekat setelah Ibunya meninggal, walaupun begitu aku tahu beliau orang yang sangat baik” Jinki mengangguk-angguk paham kemudian mengeluarkan sebuah foto yang sedari tadi ada di pikirannya. “Oh, itu Aboji (Ayah Jinki)?” Myun Ji mendekat dan ikut melihat foto yang dipegang Jinki. “ada Nyonya Lee juga, omo Jinhya Onnie lucu sekali, kau dapat darimana?”
“Kepala pelayan Jung” Myun Ji mengangguk tak heran. Pria yang sering ia panggil paman itu adalah juru kunci keluarga Lee jadi foto kenangan seperti ini banyak ia simpan.
“tapi aku bingung”
“bingung?”
“emm, bukannya Jinki harusnya sudah lahir? Jinhya Noona hanya beda dua tahun dengan Jinki, kan?” Myun Ji menimbang perkataan Jinki sambil menatap foto Jinhya yang masih berusia dua tahunan.
“emm, mungkin karena baru lahir jadi Jinki tidak boleh dibawa kemana-mana dulu, atau mungkin Nyonya Lee masih mengandung Jinki yang usianya masih beberapa minggu” kemungkinan itu tidak membuat Jinki yakin dan menatap Myun Ji heran.
“apa?” Myun Ji sadar Jinki memandangnya dengan aneh.
“tidak apa-apa” Jinki kembali menatap foto itu dan Myun Ji mulai duduk normal seperti semula.
“oh ya adikmu Sulli, dia sangat manis” sekarang Myun Ji memancing Jinki untuk bergiliran menceritakan kehidupannya, tapi Jinki hanya menyimpan kembali foto di tangannya kedalam kantung mantel kemudian kembali sibuk menikmati minumannya.
“oh ya kau bilang dia sedang sakit, sakit apa?” pertanyaan itu membuat Jinki berhenti menikmati minumannya dan mulai menyadari bahwa gadis disampingnya mulai mengorek kehidupannya, tapi itu tidak masalah bagi Jinki hanya saja ia tidak pernah membicarakan masalah priabadinya kepada orang lain.
“dia.. sejak kecil mempunyai jantung yang lemah” Myun Ji mulai melihat raut wajah Jinki yang sedih tapi pura-pura ditegarkan “aku bersyukur dia masih bisa bertahan sampai sekarang”
“lalu orang tua kalian?”
“Ayahku meninggal sudah sekitar lima tahun yang lalu karena kecelakaan, Ibu ku masih hidup tapi dia membuat kami merasa bahwa dia sudah mati” Myun Ji terkejut mendengar kata-kata kasar Jinki. Mata Jinki pun mulai terlihat tajam dan terlihat juga ia mulai mengigit rahangnya.
“ke..kenapa?”
“dia tidak pernah dirumah, dia selalu pergi dengan laki-laki yang tidak kami kenal, dia hanya pulang sesekali itu pun hanya ntuk melemparkan uang ke wajahku dengan keadaan mabuk ditengah malam lalu kembali keluar dengan laki-laki lain” tangan Jinki sudah terlihat mengepal “bahkan ketika Ayahku meninggal dia tidak ada, dia pun tidak pernah menanyakan kabar Sulli yang keadaanya semakin parah, yang dia lakukan hanya melempari kami dengan banyak uang yang entah dari mana, uang itu memang cukup untuk membiayai Sulli tapi tidak cukup untuk menghapus sakit hatiku” terdengar napas Jinki yang tidak beraturan.
“tenanglah dia itu tetap Ibumu” Myun Ji menyentuh bahu Jinki.
“bahkan dia tidak pantas dipanggil Ibu” tiba-tiba Jinki menoleh dengan tatapan sadis yang pernah Myun Ji lihat.
“setidaknya kau punya Ibu”
“lebih baik tidak!” Jinki bangkit dan masuk ke dalam. Myun Ji mematung, rasanya Myun Ji baru saja tenggelam dalam lautan api seorang Minho dan ia seperti merasakan amarahnya. Myun Ji jadi tidak enak hati tidak seharusnya ia tak ikut campur urusan keluarga Minho.
“yeobseo?” Myun Ji menempelkan ponselnya di telinga karena baru sadar bahwa ponsel itu ternyata sudah bergetar sejak tadi.
“aku masih disini” jawabnya ketika suara berat disebrang sana menanyakan keberadaannya. “sepertinya aku tidak bisa pulang sekarang, ada beberapa barang yang harus aku bereskan, disini sedikit berdebu, kau sendirikan yang menyuruh Kepala Pelayan untuk membiarkan rumah ini sampai kita sendiri yang menempatinya?” Myun Ji terdiam dan mendengarkan suara disana, Jinki menyadari bahwa yang berbicara dengan Myun Ji adalah Jinki yang asli.
“tidak, aku tidak bersedih aku hanya senang saja melihat saju tadi pagi, aku jadi ingat rumah ini” Myun Ji menyeka sudut matanya. “Ne, aku akan pulang besok pagi jangan khawatir” Myun Ji kembali terdiam dan ragu mengeluarkan suara “aku.. juga mencintaimu” Myun Ji berusaha tersenyum meski pria yang sedang mengajaknya bicara di telpon itu tidak dapat melihat ekspresi senyum kakunya.
Mendengar itu Jinki merasa dadanya kembali panas dan dia memutuskan untuk melihat-lihat ke lantai dua.
“O, kau disini?” setelah mengetahui Jinki tidak berada di kamar tamu Myun Ji ke Lantai dua dan menemukan Jinki sedang tidur santai di kamar utama “aku mencarimu kemana-mana aku sudah bilang pada.. Jinki kalau masih ada yang ingin aku lakukan jadi aku akan pulang besok, kalau kau mau pulang-“
“kau pikir aku menyuruh Kepala Pelayan Jung pulang untuk apa?”
“kau menyuruh Paman Jung pulang?”
Jinki bangkit sejenak untuk duduk “kekasihmu itu yang menyuruhku untuk membawa mobilmu ketika pulang nanti karena tidak ingin kau menyetir sendiri jadi aku tidak bawa mobil, paham?” Jinki kembali merebahkan tubuhnya dan meletakan kedua telapak tangan kebelakang kepalanya. Myun Ji hanya menghembuskan napasnya pasrah kemudian bersiap menutup pintu.
“Hya” Myun Ji batal menutup pintu dan kembali memuculkan kepalanya “kau tidak keberatan aku tidur disini?” lanjut Jinki.
Myun Ji terlihat berpikir “emm, tidak apa-apa selama yang kau pakai adalah tubuh Jinki” kemudian Myun Ji menghilang bersamaan dengan senyuman.
-
“apa yang sedang kau lakukan?” Mendengar suara Jinki Myun Ji buru-buru menghapus air matanya.
“kau belum tidur?”
“kenapa balik bertanya? Kau harusnya menjawab pertanyaanku dulu baru balas bertanya itu baru adil” sekarang Jinki sudah duduk disamping Myun Ji kemudian mulai tertarik dengan televisi yang menyala.
Myun Ji tersenyum “hanya melihat beberapa foto”
Jinki melirik sekilas album yang berada di pangkuan Myun Ji “mengenang masa lalu bukan solusi memecahkan masalah”
Myun Ji melirik Jinki “tapi setidaknya bisa mengobati rindu” kemudian menyenderkan tubuhnya di sofa.
“Memang, mengenang masa lalu yang indah selalu jadi alasan untuk mengobati rindu, tapi untukku itu tidak penting, itu hanya membuatmu ingin kembali ke masa lalu dan sulit melewati masalah yang kau hadapi sekarang” ucap Jinki cuek sambil mengambil cemilan di meja kecil yang sejajar dengan lututnya.
Tiba-tiba ia merasa bergidik karena suara isakan kecil terdengar, seperti suara gadis yang sedang menangis. Jinki langsung menoleh kearah Myun Ji.
“Hya! Kenapa menangis?” Jinki memandang panik, ia tidak menyangka ucapannya malah membuat Myun Ji menangis.
“aku tahu kau bukan Jinki, tapi…” Myun Ji menghapus air matanya “bolehkah aku bersedih didepanmu sekali saja?” Jinki melihat wajah Myun Ji yang memprihatinkan, wajahnya seperti hewan peliharaan yang lama tidak diberi makan dan Jinki mulai iba. “aku tahu kau keberatan, tapi asal kau tahu aku tidak pernah menangis didepan Jinki, kami tidak pernah bersedih jadi bagaimana bisa kau menyuruhku untuk bersedih didepannya aku bahkan tidak yakin kalau Jinki punya air mata karena selama bersamaku dia selalu tertawa” Myun Ji menghadapkan tubuhnya kearah Jinki tapi pria itu malah mengarahkan wajahnya kedepan.
“aku pernah berpikir seperti apa yang pernah kau katakan” Myun Ji memandang wajah Jinki sendu “jika kalian tidak bisa kembali..” jantung Jinki mulai berdegup kencang, ternyata Myun Ji mengingat kalimat itu, membuat Jinki kembali tidak enak hati “berarti ini adalah hari terakhir aku berkunjung kerumah ini karena aku akan selalu memilih Jinki bagaimana pun tubuhnya sekarang”
“kau tidak percaya kami akan kembali?”
“aku percaya, tapi ini sudah cukup lama aku hanya mempersiapkan diriku untuk apapun yang akan terjadi di masa depan”
“itulah sebabnya aku bilang mengenang masa lalu tidak ada gunanya karena kau akan membandingkan hidupmu yang bahagia di masa lalu dan hidupmu yang sulit di saat ini, hal itu hanya mempersulit dan kau mulai berpikir yang tidak-tidak”
“lalu aku harus bagaimana?!” Myun Ji menutup wajahnya dan mulai kembali menangis. Jinki mendekat dan meraih kepala Myun Ji kedekapannya. Tubuh Myun Ji agak dingin bisa-bisa nanti malam dia demam, hal itu membuat Jinki meraih bahu Myun Ji untuk lebih menghangatkannya dan gadis itu masih sibuk menangis. Maafkan aku Myun Ji.
Keesokan paginya.
Myun Ji membuka matanya yang terasa lengket kemudian membersihkan matanya yang terdapat banyak kotoran menempel, mungkin efek menangis semalam. Myun Ji mulai menajamkan matanya dan melihat kearah televisi. Tunggu! Televisi?. Myun Ji membulatkan matanya dan melihat kearah pinggangnya yang menggantung tangan seseorang, Myun Ji menutup mulutnya tidak percaya. Bodohnya aku! Myun Ji merutuki dirinya kemudian bangkit perlahan dari sofa itu dan ternyata sudah ada selimut yang menutupi tubuhnya yang kedinginan semalam, tapi sosok yang tidur dibelakangnyalah yang membuatnya salah tingkah, kalau ia Jinki yang asli mungkin Myun Ji tidak akan segugup ini. Akhirnya gadis itu bangkit dan segera pergi kelantai atas.
Setelah menyelesaikan semua yang ada Jinki dan Myun Ji siap kembali ke Seoul “apa Jinki sudah menelpon lagi?” suara pria disampingnya meleyapkan suasana hening di mobil itu.
“be.. belum”Myun Ji menjawabnya kaku “waeyo?”
“aku menelpon tapi tidak diangkat, aku ingin tanya keadaan Sulli” jawabnya santai sambil memutar setir mobil, Myun Ji mengangguk. Masih ada rasa canggung di hati Myun Ji tapi pria yang duduk disampingnya terlihat sangat tenang. Ya Tuhan.
“aku minta maaf soal..”
“tadi malam?” Astaga jadi Jinki mengingatnya?. Myun Ji membatin. “itu manusiawi”
“ne?” Myun Ji kembali merasa canggung. Manusiawi untuk apa? Untuk memeluknya semalaman?.
“semua orang berkhak menangis jika sesuatu musibah menimpa dirinya, kan?”
“O? Ne” oh jadi tentang tangisan itu, aku kira... Myun Ji merasa tidak enak dan menyalahkan diri. Tapi dilain sisi Jinki malah terlihat mengambil kesempatan untuk menarik sudut bibirnya.
-
“Eonnie, kau mau pulang bersamaku?” YoonAhn muncul bersama mobilnya.
“tidak, aku sedang menunggu temanku kau pulang saja duluan” Myun Ji tersenyum untuk meyakinkan. Hari ini dia memang sengaja tidak membawa mobil karena seseorang telah mengirim pesan padanya tadi malam untuk tidak usah membawa mobil.
“oh, baiklah sampai besok” mobil silver milik YoonAhn mulai berjalan menjauh dan Myun Ji bisa mulai tidak bisa melihatnya.
Beberapa menit kemudian suara motor terdengar dan motor besar berwarna merah berhenti didepannya, seorang pria bermantel hitam membuka helmnya.
“maaf menunggu lama” ucapnya semanis mungkin.
“kau memang terbiasa membuatku menunggukan? Bahkan saat menjadi orang lain” sindir Myun Ji dan hanya dibalas cengiran oleh Minho.
“Ayo naik sebelum kita membeku disini” titah Minho dengan semangat “satu lagi, peganganlah karena motor tidak punya sabuk pengaman” ujar Minho dengan seringainya dan Myun Ji tersenyum diam-diam. Setelah tangan Myun Ji melingkar di pinggang Minho pria itu langsung menancap gas dan segera pergi.
“sudah?” sambut Minho ketika Myun Ji keluar dari toilet.
“kenapa menyuruhku bawa pakaian ganti segala sih?” keluh Myun Ji sambil merapatkan mantelnya dan membenarkan syalnya.
“aku hanya tidak mau pergi dengan kau yang memakai baju kantor” jawab Minho sambil membantu Myun Ji membenarkan syalnya.
“wae?”
“pasti aku akan dikira jalan dengan Noona-Noona”
“mwo?” Myun Ji melempar tatapan tajam kearah Minho. Pria itu membalas dengan putaran bola mata dan hembusan napasnya.
“tentu saja, Minho yang satu ini umurnya berbeda dua tahun dibawah kita” Myun Ji membulatkan matanya.
“du.. dua tahun?” ulang Myun Ji tak percaya.
“emm.. aku melihat di tanda pengenalnya, jadi kau harus menyesuaikan umurku yang sekarang. Kalau beginikan kau terlihat lebih muda” Minho mengerlingkan matanya membuat Myun Ji tersipu malu.
“kajja” Minho menggenggam tangan Myun Ji dengan semangat, ia sangat menyukai moment seperti ini atau mungkin lebih tepatnya merindukan moment seperti ini.
“apa Yonghwa sudah memutuskan pacarnya?” ucap Minho dengan mulut penuh makanan.
“cih, mana berani dia apa lagi tempat curhatnya sudah tenggelam hilang dan lenyap” Myun Ji mencoba mendramatisir.
“tempat curhat?”
“kau tahu sendiri sifat Jinki palsu itu seperti apa, dingin dan kaku mana bisa dia akrab dengan Yonghwa? Aku yakin pasti Yonghwa sudah kehilangan akal untuk mengurusi kekasihnya karena selama ini dia kan selalu mendapat saran darimu” ucap Myun Ji panjang lebar “padahal aku sudah menyuruhnya putus dan memacari Seohyun saja dasar keras kepala, sama sepertimu!” Myun Ji mengarahkan telunjuknya kearah kening Minho kemudian mendorongnya.
“hya!” teriakan kecil Minho membuat Myun Ji terkekeh geli. “Myun Ji-ah apa kau tidak canggung bersamaku? Maksudku akukan tidak terlihat seperti Jinki?” Minho menyipitkan mata.
“awalnya begitu, tapi lama kelamaan tidak, lagi pula mau bagaimana pun berubahnya wujud seseorang bila dia menjadi dirinya sendiri pasti akan dikenali” Myun Ji tersenyum manis dan menyangga dagunya dengan satu tangan.
“astaga Nyonya Lee yang satu ini pandai sekali berbicara” goda Minho.
“inikan tertular darimu” Myun Ji tertawa renyah “lagi pula.. yang aku cintai adalah Jinki tidak perduli bagaimana tubuh yang dulu atau sekarang, hati akan tetap berlabuh ditempat yang sama, kan?” rasanya sejak banyak kejadian menimpanya Myun Ji sekarang sudah lebih tegar dan mungkin kemarin malam adalah klimaksnya. Aku tidak akan bersedih dihadapan siapapun sekarang, dihadapan Jinki yang asli ataupun Minho yang asli.
-
“woah menggemaskan sekali” puji Myun Ji ketika membuka lembar album berikutnya, Minho yang ikut duduk disampingnya hanya terkekeh geli. “Sulli dari kecil juga sudah terlihat manis” lanjutnya sambil melihat foto balita yang diyakininya sebagai adik Minho.
“aku juga baru melihatnya saat Sulli mencoba membantuku mengembalikan ingatan, meski rasanya tidak mungkin tapi aku tetap pura-pura mengingatnya” ujar Minho yang kemudian menempelkan dagunya dibahu Myun Ji.
“ah! Berarti harusnya kau memanggil aku Noona!” ucap Myun Ji sambil menjentikkan jarinya.
Minho menjauh dan menautkan alis “kenapa begitu? Shireo[1]!” ucapnya kesal sambil melipat tangan dan menyender pada sofa.
“Ayolaah panggil aku Noo-na!” goda Myun Ji sambil menggoyangkan tubuh Minho.
“menjauh dariku!”
“Minho-goon call me Noona-juseyo” Myun Ji mulai tertawa girang dan Minho menatapnya sinis. Lama-lama tak tahan juga mendengar suara tawa Myun Ji yang mengganggu Minho menanggkap wajah Myun Ji dengan kedua tangannya.
“diam! Aku tetap Jinki dan jangan coba-coba menganggapku orang lain”
Tatapan tajam Minho membuat tawa Myun Ji henti dan bergidik ngeri “tapi, aku hanya bercanda Ji-“
“aku tidak suka!” sergah Minho serius. Myun Ji melihat mata Minho yang terlihat tajam menatapnya.
“maaf” ucap Myun Ji takut.
“ppfffttt” tiba-tiba tatapan mata Minho berubah dan sekarang suara tawa menggelegar bahkan terdengar menggema di rumah itu “wajahmu lucu sekali” lanjutnya kemudian kembali tertawa sambil memegangi perutnya. Myun Ji mengendus kesal dan mulai memukuli Minho dengan album foto yang cukup berat itu. “hya! Sakit tau!”
“rasakan! Berani-beraninya kau! Aww” Myun Ji dan Minho terjatuh dari sofa dengan posisi yang tidak seharusnya.
“aku pulang! Oops” tiba-tiba suara seorang gadis mengaggetkan Minho dan Myun Ji.
“Sulli, kau sudah pulang?” sapa Minho kemudian melirik Myun Ji yang sedang merapihkan rambutnya.
“annyeonghaseyo Myun Ji Eonnie” Sulli tersenyum ramah.
Myun Ji segera bangkit dan ikut tersenyum kaku “a.. annyeong Sulli, aku.. baru saja melihat album fotomu” balas Myun Ji sambil mengangkat album foto yang ia pegang dengan ekspersi kakunya.
-
“ini tehnya Oppa” Sulli meletakkan secangkir teh didekat laptop Minho.
“gomawo” ucapnya tanpa berpaling dari layar Laptop. Minho masih asik membuka beberapa website sembari mencari lowongan pekerjaan. Tapi rasanya aneh tidak mendengar suara Sulli setelahnya, akhirnya dia memiringkan wajahnya dan melihat Sulli sedang memangku tangan di meja “kau kenapa?”
“tidak, aku heran tidak biasa Oppa mudah akrab dengan orang”
Minho berpikir lama “maksudmu? Dengan Myun Ji?”
Sulli mengangguk dan meneggakkan tubuhnya “apa kalian berpacaran?” Sulli mengungkapkan sesuatu yang baru muncul dari otaknya.
Minho tertawa “tidak, yang benar saja” jawabnya masih sambil menahan tawa.
Sulli mengerucutkan bibirnya “kenapa tidak berpacaran saja dengannya? Aku menyukainya, dia baik dan keibuan”
“dia sudah bertunangan dengan temanku Jinki” Minho berkata jujur.
“tapi aku merasa Myun Ji Eonnie lebih cocok dengan Oppa” Minho memiringkan kepalanya lagi untuk melihat wajah Sulli “sungguh!” lanjut gadis itu dan Minho segera mengacak-ngacak rambut Sulli.
“enak saja, aku bukan perebut kekasih orang, lagi pula mereka sudah mau menikah”
“tapi jodohkan tidak ada yang tahu, Oppa harus optimis” mendengar itu Minho hanya tersenyum masam “padahal aku senang sekali, karena aku baru kali ini melihat Oppa akrab dengan wanita sampai segitunya” tangan Minho yang mulanya mengetik terhenti diudara dan Minho hanya tersenyum samar.
Bruk!
Pintu terdengar terbuka secara kasar, Minho dan Sulli menoleh bersama dan mendapati Ibu mereka berjalan gontai masuk kedalam.
“hallo anak-anak” sapa seorang wanita berpakaian mini itu dengan senyuman mabuknya. Sulli dan Minho bangkit bersamaan.
“kemarilah anak-anak aku bawakan uang untuk kalian, apa kalian senang? Tentu saja” ucapnya tidak beraturan kemudian memberikan beberapa uang dengan caranya seperti biasa, setelah melempar uang yang mengenai wajah Minho wanita itu bergegas pergi menuju pintu.
“tidak bisakah Ibu memberikannya dengan tidak melempar?” Minho menatap Ibunya kesal. Medengar Minho berkata sesuatu wanita yang akrab dipanggil Rose oleh beberapa teman prianya itu membalikkan badan.
“ne?” matanya menyipit dan merasa kurang jelas dengan ucapan Minho “maaf kepala Ibu pusing sekali jadi sulit memberikan sesuatu dengan benar, kau kan sudah terbiasa Minho-ya sudahlah teman Ibu menunggu diluar”
“tidak bisakah Ibu tinggal disini saja?!” Minho kembali mencegah langkah Ibunya dan Sulli mulai mendekat untuk memegang lengan Minho.
“kalian sudah dapat uang, mau apa lagi?”
“kami butuh seorang Ibu” Sulli menatap kakaknya dengan mata yang muali berkaca-kaca. Ibunya terlihat menahan tawa dan hal itu membuat sesak dada Sulli.
“maksudnya kalian membutuhkanku?” kemudian ia tertawa lepas “kalau tidak salah kau pernah bilang bahwa aku tidak usah kembali?”
“Eomma, Minho Oppa hi-“ Minho menyentuh tangan Sulli untuk mencegahnya bicara. Padahal Sulli ingin memberitahukan bahwa Minho sedang hilang ingatan.
“kalau begitu pergilah” lanjut Minho mebuat Ibunya berhenti tertawa dan mulai melangkah pergi dengan senyum sinisnya tapi sebelum menyentuh daun pintu Minho kembali bersuara.
“tapi sejauh apapun Anda pergi, Anda tetap seorang Ibu” Adik dan Ibunya membulatkan mata bersamaan, pasalnya Minho memanggil wanita yang ia ajak bicara seperti wanita asing.
Dengan berjalan gontai wanita itu menghampiri Minho dan Sulli. Setelah sampai didepan Minho wanita itu tersenyum dan mengangkat tangannya “memang” ucapnya sambil menepuk pipi Minho kemudian kembali berjalan keluar dan menutup pintu. Sulli terlihat menghapus air mata sambil meneggelamkan kepalanya dibahu Minho.
-
“baiklah segera buat jadwal pertemuan saja nanti sekretarisku yang akan bantu menyiapkan berkasnya” ucap seorang pria yang duduk dibelakang sebuah meja dimana papan bening bertuliskan ‘direktur Kim Woo Bin’ berada.
“baik Sangjanim, saya permisi” Myun Ji membungkuk sejenak dan melangkah keluar.
“Myun Ji-ssi?”
“ya Sajangnim?” Myun Ji kembali berbalik.
“sudah waktu makan siang, kau mau makan siang bersama?”
“ah? Mianhamnida Sanjangnim saya tidak bisa karena masih banyak yang harus saya kerjakan”
“tapi kau jangan sampai telat makan Myun Ji-ssi” ucapnya perhatian. Myun Ji balas tersenyum kaku.
“algeuseumnida Sanjangnim, saya permisi” kemudian Myun Ji menghilang dibalik pintu kaca buram dan Woo Bin menyenderkan tubuhnya sambil menatap langit.
Setelah keluar dari ruangan atasanya Myun Ji menghampiri meja YoonAhn “ini tolong buatkan janji rapat dengan dewan redaksi disitu jadwalnya sudahku buat” Myun Ji meletakan map merah ke atas meja YoonAhn.
“semakin hari semakin lama ya waktu diskusi Eonnie dengannya” YoonAhn malah membalasnya dengan topik yang lain.
“karena banyak projek jadi banyak juga yang harus dibicarakan” keluh Myun Ji.
“termasuk mengajak makan bersama?” belum sempat Myun Ji duduk YoonAhn sudah membuatnya kembali berdiri.
“darimana kau tahu?”
“tebakkanku benar ternyata! tentu saja Sajangnim beberapa kali menanyakanmu apa kau orang yang bisa diajak makan bersama atau tidak, dan ternyata tidak” ucap YoonAhn sambil memebenarkan kaca matanya. Myun Ji akhirnya duduk didepan meja kerja YoonAhn.
“kau tahu sendiri aku sudah-“
“aku tahu, tapikan Sanjangnim tidak tahu” sela YoonAhn membuat Myun Ji meneggekkan lehernya “perkenalkan saja Jinki Sunbaenim kepadanya, aku yakin Sajangnim pasti mengerti” lanjut YoonAhn yang langsung mengalihkan perhatiannya ke layar computer.
Myun Ji memutar bola matanya ke atas. Sepertinya yang ia ingin kenalkan bukan Jinki tapi Minho.
-
Ini kedua kalinya Myun Ji tidak membawa mobil, setelah pulang kantor ia menunggu seseorang di depan kantornya seperti biasa. TINNN! Suara klakson tiba-tiba menganggetkan Myun Ji. Sebuah mobil putih yang elegan (di mata Myun Ji) berjalan mendekatinya. Seorang pria dengan jas berwarna biru gelap dengan kemeja hitam didalamnya keluar dari mobil itu.
“Myun Ji-ssi ayo pulang bersama” tawar Woo Bin dengan senyum mautnya.
“Oh, Sanjangnim? Aku sedang menunggu seseorang” ternyata itu boss barunya dan ini sudah kesekian kalinya Myun Ji menolak tawaran pria itu.
“benarkah? Apa dia masih lama? Bagaimana kalau-“ kalimat Woo Bin terpotong ketika deru motor menghampiri mereka.
“itu dia sudah datang” Woo Bin menoleh dan mendapati pria muda yang mengendarai motor berwarna merah.
“kalau begitu, aku duluan” Woo Bin sudah tidak bisa berkata apa-apa ketika ternyata seorang pria yang menjemput Myun Ji.
“ne, hati-hati Sangjanim” ucap Myun Ji seramah mungkin. Mobil yang ditaiki Woo Bin sudah pergi dan mengilang, Myun Ji berjalan mendekati Minho yang masih memandang tajam ke depan.
“hya! Kenapa melamun?” tegur Myun Ji saat Minho tak kunjung menyapanya.
“usaha boss barumu boleh juga” sindir Minho.
“usaha?”
“sudahlah ayo cepat naik!” bukannya menanggapi perkataan Minho, Myun Ji malah tertawa.
“omo, kau cemburu?” mendengar itu Minho berdecak dan membuang muka “Aigoo, kau lucu sekali Minho-goon” Myun Ji mulai menggoyangkan kepala Minho yang masih mengenakan helm.
“hentikan atau kau aku tinggal!!” ujar Minho kesal, Myun Ji buru-buru naik ke motor Minho sebelum pria itu mengamuk. Seperti biasa Myun Ji melingkarkan tangannya dipinggang Minho.
“maaf, aku hanya bercanda” Myun Ji membujuk tapi Minho sudah menarik gas motornya. Myun Ji jadi memikirkan sesuatu, setelah mengobrol bersama YoonAhn tadi setiap membicarakan Jinki pasti ada dua wajah dibenaknya. Dulu ketika Myun Ji bercerita mengenai Jinki pasti hanya ada wajah Jinki tapi sekarang ada wajah Minho juga, Myun Ji jadi ingat sesuatu.
“jangan sampai salah nama atau nanti hatimu juga akan ikut salah mengenali kami”
Myun Ji kembali mengingat kata-kata Jinki membuatnya juga ikut bertanya pada hatinya sendiri. Minho atau Jinki?.
-
“mampirlah, kau bisa bertemu Ayah dan bermain catur bersama lagi” pinta Myun Ji dan Minho terlihat ragu.
“aku tidak tahu-” tiba-tiba Minho melihat mobil yang terparkir didepan rumah Myun Ji “aku seperti mengenali mobil itu” Myun Ji ikut menoleh kearah pandangan Minho.
“itu mobil Jinhya Eonnie!” Myun Ji dan Minho saling memandang. Kemudian keduanya masuk kedalam rumah dengan jantung yang berdegup kencang.
“O, Myun Ji sudah pulang?” semua mata menoleh ke arah pintu yang terbuka. Myun Ji hanya diam dan merasa bingung karena semua keluarganya berkumpul ditambah Jinhya dan Jinki yang duduk diantaranya.
“Myun Ji kau bersama siapa?” Ibu Myun Ji bangkit dan menyapa Minho.
“Annyeonghaseyo Eomonim saya teman Myun Ji dan Jinki” Minho membungkuk sopan.
“oh begitu, kita sedang ada kumpul keluarga tapi kau bisa ikut bergabung, silahkan duduk” seperti biasa Ibu Myun Ji bersikap ramah dan tiba-tiba Minsu datang entah datang dari mana.
“woah kau datang lagi, ayo kita duduk” Minsu menarik tangan Minho antusias, sepertinya Minsu sudah jadi fans resmi Minho. Minsu adalah anak dari adik Ayah Jinki jadi selama ini Minsu suka menemani Jinhya Jika Myun Ji tidak bisa menemaninya.
“ada apa ini?” Tanya Myun Ji was was.
“duduklah dulu sayang” Ibunya menuntun Myun Ji untuk duduk.
“jadi begini, seperti yang sudah Ayah katakana pada Jinki” Ayah Myun Ji mulai berbicara dan Myun Ji dapat melihat Jinki yang menundukan kepalanya. “Ayah dan Ibu sudah salah mengambil keputusan dan melihat keseriusan kau dan Jinki, apalagi Ayah dengar kau dan Jinki sudah bermalam dirumah kalian yang di daerah Busan”
“Ayah tahu dari mana?”
“selain dari Kepala pelayan Jung dari tetangga kalian juga” Myun Ji mengingat dan dia tahu pasti Ahjuma yang mempunyai mulut besar biang dari semuanya. Rumahnya berada bersebelahan dengan rumah yang Myun Ji dan Jinki kunjungi tempo hari.
“jadi kami semua memutuskan untuk kembali mengadakan pernikahan dan rencananya akan diadakan pada hari Minggu” mata Myun Ji membulat. Ia sangat tahu bahwa hari ini adalah hari Selasa dan hari Minggu hanya tinggal beberapa hari lagi.
“a..apa? Ayah yakin?” pertanyaan Myun Ji dijawab dengan senyum bahagia Ayahnya. Perlahan Myun Ji melihat kearah Minho dan Jinki yang sama-sama melihat kearahnya dengan tatapan memprihatinkan. Entah kenapa Jinhya menyadari tatapan aneh dari ketiga orang yang berada didekatnya itu.
“permisi aku lupa bahwa aku ada janji, maaf mengganggu aku pamit” Minho segera bangkit dan membungkuk hormat. Ibu Myun Ji sedikit kaget dan ikut bangkit.
“kau tidak ingin minum dulu, nak?”
“Tidak Eomonim, aku permisi”
“baiklah, tapi kau harus datang dipernikahan mereka, ne?” Ibu Myun Ji kembali tersenyum ramah tapi kata-kata Ibu Myun Ji malah membuat Minho sulit bernapas.
“pasti” jawab Minho sambil melihat kearah Myun Ji yang juga sedang menatapnya.
Setelah Minho tak terlihat Myun Ji menundukan wajahnya. Hanya tinggal menghitung hari ia akan menikah tapi Jinki dan Minho masih belum kembali ke tubuh mereka masin-masing, jadi inikah kahirnya?. Myun Ji merasa ia harus memilih sebelum pernikahan itu dimulai, menikah dengan Jinki atau menikah dengan Minho itu pilihan terakhirnya.
Hayoo siapa yang request Woo Bin? sudah dikabulin ya hehe. Kira-kira siapa yang Myun Ji pilih dan kira-kira siapa yang akan menikah dengan Myun Ji? ayo tebak dengan memberikan komen di FF ini, oh ya! komentar kalian mempengaruhi akhir cerita loh wkwkwk
welcome good readers! hush hush silent readers!