Author POV
“Nona Park, kemana kita sekarang?” Minjung menatap jam tangannya yang menunjukkan 3 jam lagi ujian akan dimulai.
“Langsung ke Yonsei Universitas saja ahju....” Seseorang di depan setir langsung menoleh ke arah Minjung dengan keningnya yang berkerut.
“Aigo! Luhan oppa! Kau sedang apa disini? Kemana ahjusshi?” Minjung tertawa terbahak sambil membuka pintu dan dia langsung beralih duduk di depan –disebelah Luhan, sepupu Minjung dari China.
“Kebetulan aku juga di Yonsei untuk beberapa waktu kurasa. Dan jangan panggil aku oppa. Aku lebih muda darimua tau, ayahku saja yang lebih tua dari ayahmu,” sahut Luhan jengkel.
“Jadi kita kemana nona?” tanya Luhan beberapa saat kemudian. Minjung memukul lengan Luhan kesal membuat Luhan tertawa terbahak.
“Eomma bilang aku harus sopan jadi aku tetap memanggilmu begitu dan jangan panggil aku nona! Ya kita langsung ke Yonsei!” Luhan berhenti tertawa dan mengerutkan keningnya sambil menatap serius Minjung.
“Wae? Ada yang salah denganku?” Minjung meraba-raba sekujur badannya, takut ada yang tertinggal atau hilang dari tubuhnya.
“Anio, Kau mau ke universitas dengan membawa kardus itu?” Minjung tertawa terbahak menyadari kebodohannya lalu memeluk erat kembali kardusnya itu.
“Tentu saja oppa, oppa kan iseng pasti mau membuka kardus ini,” Luhan hanya terkekeh mendengarnya sedangkan Minjung yang sedari tadi ditertawakan sudah grasak-grusuk membuka kardusnya. Mengecek apa kardusnya tertukar atau ada barang yang mungkin saja hilang.
Matanya terbelak kaget saat membuka kardus itu lalu menjerit membuat Luhan mengerem dadakkan dan karna itu dahi Minjung menabrak dashboard di depannya.
“Minjung?! Gwaechana?!” Minjung langsung membuka pintu –yang untungnya belum dikunci- dengan membawa kardusnya membuat Luhan berteriak memanggil nama Minjung. Minjung tidak peduli, motor Jinki sudah di depan gerbang dan untungnya berhenti sebentar hanya untuk bertegur sapa dengan penjaga sekolah.
“YAK! LEE JINKI!” Terlambat. Orang yang dipanggil namanya sudah memakai helm dan menjalankan motornya membuat Minjung berteriak lagi.
“Minjung Minjung! Kau ingin mengejar orang itu bukan? Cepat naik, aku akan mengejarnya!” Minjung langsung naik dengan cara tidak anggun seperti biasanya lalu menutup pintu cukup keras diiringi dengan deruman mesin mobil yang dinyalakan.
“Pakai sealtbetmu. Begini-begini aku pembalap mobil dan motor dulu!” ujar Luhan langsung menginjak gas dengan mantap seteleh keluar dari sekolah.
***
“Sial!” Duk! Stir dipukul Luhan cukup keras membuat Minjung berjengit kaget dan buru-buru melepas sealtbetnya.
“Ya! Kau mau kemana?” Minjung menoleh ke arah Luhan sebelum dia bersiap membuka pintu.
“Menyusul orang itu. Aku ada perlu, penting sekali.”
“Lalu kau meninggalkanku sendirian di jalanan yang macet ini?” tanya Luhan jengkel membuat Minjung merenungkan niatnya dan mulai memakai sealtbet lagi. Luhan memperhatikan wajah pasrah, kecewa, dan sedih Minjung membuat dia merasa bersalah.
“Maaf tapi aku takut ditinggal pergi olehmu, aku baru sampai disini tadi pagi untuk pertama kalinya saat aku beranjak dewasa. Aku tidak tau daerah sini dan tidak tau daerah macet, aku sering tersesat dan tidak mau tersesat di kota besar begini. Jadi...apa kau tau rumahnya mungkin?” Minjung tersenyum saat melihat ekspresi bersalah Luhan.
Bukan karna bahagia membuat Luhan merasa bersalah, bukan...tapi melihat kedewasaan Luhan yang terlihat di wajah imutnya. Membayangkan Luhan dulu membuat senyuman Minjung makin lebar, begitu banyak perubahan di diri Luhan-nya itu.
“Di flat dekat sini. Kau tau kan?”
“Engh...Tentu tau, daerah sekolahmu sudah kukelilingi saat kau ke sekolah tadi.”
“Sipp....Antar aku kesana ya!” Minjung tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi putihnya yang membuat dia semakin cantik. Ditambah lagi dengan acungan jempol dan wink membuat Luhan yang terpesona sebentar oleh paras cantik sepupunya itu hanya bisa tertawa saja.
***
Jinki melepaskan helm yang belum lama melindungi kepalanya dan menggantungkannya di salah satu kaca spion lalu berlari cukup cepat menaiki tangga meksipun di tangannya ada kardus dengan berat yang perlu dipertanyakan.
Beberapa kali Jinki menggeleng-gelengkan kepalanya keras, membuat rambutnya yang ikal bergerak-gerak, terlihat lucu. Lalu dia menggerutu dan kembali melanjutkan langkah cepatnya menaiki tangga yang sempat terhenti karna gelengan kepala dan pikiran aneh menyusup di otaknya.
Jinki menopang kardus itu di tangan kirinya sedangkan tangan kanannya merogoh saku celana lalu ia membuka pintu flatnya dengan kunci yang ia cari di saku celana. Kemudian dia menutup pintu dengan kaki kirinya dengan keras dan melempar kardus itu bersama dirinya di atas kasurnya, menimbulkan bunyi ‘kret’ yang cukup panjang.
Jinki mengacak-acak rambutnya kasar. Dia frustasi di tengah perjalanan. Bisa-bisanya dia melamun di tengah jalan yang sejujurnya jarang –bahkan belum pernah macet- macet membuat beberapa mobil terpaksa menghentikan lajunya dan menekan klakson mereka sampai Jinki sadar 5 menit sesudahnya.
Ini pasti karna dia tidak sengaja melirik ke arah spion motornya dan melihat Minjung berkali-kali tertawa bersama namja yang mengemudikan mobil itu. Namja itu bukan ahjusshi yang biasa menjemput Minjung dan namja itu belum pernah dia lihat sebelumnya.
Jinki kembali mengacak-acak rambutnya. Pertanyaan lain muncul di benaknya, buat apa dia memikirkan namja yang bersama Minjung? Toh, Minjung bukan siapa-siapanya. Tapi...
“Tapi lagi tapi lagi huh,” gumam Jinki langsung duduk di pinggir kasurnya dan menatap nanar kardus di sebelahnya.
“Mungkin melihat foto-foto kenang kenangan di dalam kardus itu bisa membuat otakku lebih rileks,” Jinki membuka kardus itu dan merasa mual melihat isinya.
Bukan karna foto kenang-kenangan yang menunjukkan foto konyol atau menggelikan tapi melihat banyak foto polaroid di dalam sana yang hampir semuanya berisi fotonya.
Selain itu ada foto semua anak kelas 3-1, dari foto formal dengan wali kelas sampai foto-foto setiap anak yang derp face atau membuat perut terkocok. Ada foto semua anak kelas 2-5 tahun lalu yang tidak dikenal kecuali Minjung dan 2 temannya. Ada juga foto anak kelas 1-1 yang dia ingat jelas karna ada dirinya, Minjung, 4 teman Minjung, dan semua teman dekatnya. Pertemuan keduanya dengan Minjung yang berujung-
Jinki menggaruk tengkuknya, merasa aneh dengan kata selanjutnya yang akan dia susun di benaknya. Apa masih pantas dia dibilang suka atau jatuh cinta dengan Minjung jika perasaannya 3 tahun ini dipendam di dalam kardus yang sekarang-
Mata sipit Jinki melebar. Kardus –yang 80% kemungkinan punya Minjung itu ada di tangannya berarti 80% juga kardus miliknya ada di tangan...Minjung.
Badan Jinki lemas, habis sudah riwayatnya.
Memang mungkin seharusnya dia menitipkan kardusnya ke Minho yang jarang membuka mulut atau menyimpannya di loker para namja, loker yang kuncinya hanya dia yang punya karna kewenangannya masih ada untuk memegang semua duplikat kunci loker namja. Atau memang seharusnya dia tidak seburu-buru tadi mengurusi kardus berisi alat untuk Pentas Seni besok hingga dia menitipkan kardus itu ke tangan Key.
Sepertinya darah di tubuh Jinki mendidih dan naik hingga badannya terasa panas, terutama pipinya. Dia tidak bisa membayang, Minjung merasa ilfeel membuka kardusnya yang penuh dengan berbagai ekspresi wajah Minjung.
Rasanya malu sampai ke ubun-ubun bahwa dirinya ketahuan seperti seorang sasaeng fans. Atau Minjung jadi jijik dengannya dan menolak acara penembakkan Jinki yang tidak tau kapan terjadi sebelum Jinki mengatakannya?
Lagi-lagi Jinki menggelengkan kepalanya, frustasi. Mungkin dia harus pergi sekarang, maksudku benar-benar pergi. Dia akan tinggal di rumah bibinya yang dekat dengan universitasnya. Dia melirik ke arah kardus Minjung lagi dan bingung mau mengapakan kardus itu.
Dia bukan tipe orang yang eksis bukan secara harfiah, maksudnya eksis suka mengumpulkan foto dirinya dalam segala bentuk ekspresi.
Dia hanya eksis secara harfiah, suka ikut-ikutan berpose saat beberapa orang di dekatnya berfoto. Hanya itu saja dan dia merasa bangga memiliki keeksisan yang bisa menopang dirinya sebagai trainee SM yang suatu saat nanti debut menjadi artis.
Jinki berdiri lalu melakukan pemanasan riang agar badannya –yang habis mengangkat barang yang beratnya tidak seberapa tapi banyak serta bolak-balik terus.
Ditambah lagi otaknya yang terasa frustasi padahal dia belum mengikuti ujian universitas. Bisa gawat kalau dia frustasi sebelum ujian meskipun dia pernah mendapat ranking 2 paralel dari semua murid sekalipun.
Setelah itu, Jinki mulai bergerak mengambil semua barang yang bisa dia ambil dan bisa dia bawa dengan motornya itu. Barang yang penting saja. Terutama kardus itu.
-TBC-