Aku punya firasat buruk soal kotak ini. Aku mencoba untuk membukanya, dan ternyata isi dari kotak itu adalah abu. Ya, abu bekas pembakaran sesuatu benda memenuhi seperempat dari kotak ini. Tanpa dapat menolak terlalu banyak, kubiarkan buliran air mataku jatuh perlahan membasahi pipiku. Entah akan jadi seperti apa wajahku nanti –yang pasti aku akan terlihat menyedihkan–. Tangan Jiwon pun terangkat dan berusaha menenangkanku, dengan mengelus punggungku pelan.
“Sudahlah, eonni.. tenangkan dirimu dulu.. aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini” ucap Jiwon. Mendengarnya, aku berusaha sedikit demi sedikit menenangkan diriku. “Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu.. kau harus punya waktu pribadi untuk menenangkan dirimu, eonni” tungkasnya. “Aku pamit”
-0-
Setelah beberapa saat Jiwon pergi, aku beranjak dari sofa dan berjalan menuju ke ruang baca. Berjalan mendekati rak-rak yang lumayan besar yang hampir penuh terisi oleh puluhan hingga ratusan buku. Aku berjalan di sekelilingnya, seakan mencari sesuatu yang hilang, dan akhirnya aku menemukannya, sebuah tempat kosong yang terletak tepat di atas meja baca.
Aku pun berjalan mendekat, hingga aku tepat berada didepannya. Mengangkat kotak tersebut perlahan, dan langsung saja kuletakkan disana. Aku menatap kotak itu dengan lekat untuk beberapa saat.
“Aku akan sangat merindukanmu” kataku dengan sedikit senyum getir. Untuk mencegah terjadinya banjir bandang disana, aku memutuskan untuk langsung pergi dari ruangan itu. Aku pun berjalan menuju ruang tamu, dan mencoba menyegarkan diriku dengan menonton acara di televisi.
Hingga tiba – tiba suara bel pintu menjadi sedikit pengganggu aktivitasku saat itu. Mendengarnya, aku langsung bergegas berjalan menuju pintu depan dan mencoba melihat siapa yang datang melalui layar yang ada di dinding samping pintu depan. Dan ternyata dia adalah Ryeowook. Langsung saja aku bukakan pintu untuknya.
“Hai, maaf jika aku datang tanpa memberitahumu terlebih dahulu”
“Eo, tidak apa-apa.. Silahkan masuk!” jawabku. Kami pun masuk. Ryeowook duduk di ruang tamu, dan aku berjalan menuju dapur untuk membuat minum. Setelah jadi, aku mengantarkannya ke ruang tamu, meletakkan kedua gelas cappuccino di atas meja, lalu duduk di salah satu sofa.
“Ada apa?” tanyaku
“Apa kau baik – baik saja, Seungrin?” tanya Ryeowook dengan menatap mataku dalam. Jujur saat itu, aku sedikit gelisah saat Ryeowook menatapku seperti itu. Ada rasa tidak nyaman, namun aku mengesampingkannya.
“Hm, ya. Seperti yang kau lihat” jawabku singkat.
Terus terang saja, saat itu aku melihat ada raut kekhawatiran di wajah Ryeowook saat bertanya mengenai keadaanku barusan. Entah apa maksudnya saat itu, tapi aku sangat jelas melihatnya.
“Kau harus ingat satu hal. Yang lalu biarkanlah itu berlalu. Sekarang ya sekarang. Lupakan yang sudah jadi kenangan, ingat yang akan menjadi masa depan!” kata Ryeowook.
“Maksudmu apa?” jawabku sedikit bingung dengan perkataan Ryeowook. Ia sedikit menghela napasnya berat.
“Aku.. menyukaimu” katanya dengan menatap mataku lekat.
“Apa? Maksudmu?” tanyaku untuk memastikan apa yang Ryeowook katakan barusan. Perlahan tangan Ryeowook bergerak mendekat. Dan tanpa diduga tangannya berjalan menggenggam kedua tanganku. Berusaha memberikan kehangatan pada tanganku.
“Karenanya aku mohon.. lupakan yang sudah pergi. Aku ada di depan matamu. Apa kau bisa melihatku?” katanya dengan penuh harap.
Jujur aku merasa agak risih. Ini pertama kalinya Ryeowook melakukan itu padaku semenjak aku mengenalnya. Kontan saja aku buru – buru melepaskan genggaman tangannya itu. Ryeowook yang melihat reaksiku saat itu wajahnya jadi berubah sedikit terkejut.
“Aku tahu ini terlalu cepat. Tapi bukankah lebih cepat akan lebih baik?” saran Ryeowook yang membuatku semakin tercengang. Ada apa dengannya?
“Aku.. Aku..” jawabku gugup. Dengan sedikit menarik napas, aku berusaha menenangkan diriku,
“Aku belum bisa melihatmu untuk saat ini. Kau bahkan tahu, pengelihatanku sedang dalam kondisi buruk. Setidaknya aku tak mau menjadikanmu pelarianku.. Maafkan aku.” jelasku. Ryeowook yang tadinya masih menatap mataku dengan penuh harap, kini beralih menjadi mode tatapan kosong, dengan senyum yang bahkan terkesan terpaksa.
Ia menarik napasnya berat. “Tidak apa.. aku bisa mengerti!” serunya yang diselingi nada getir dan tangisan yang ditahan dengan paksa. Setelah beberapa saat ia menurunkan tangannya.
“Walaupun begitu, aku akan tetap menunggumu. Aku akan tetap menunggu bungaku mekar dengan sendirinya, tanpa harus kupaksa untuk membuka kelopaknya yang masih tertutup rapat” ucap Ryeowook sembari berusaha menutupi air mata yang keluar dengan cara melihat ke arah jendela. Aku tidak bisa berkata lagi. Aku sudah membuatnya sedih.
“Hm, baiklah.. aku akan pulang sekarang. Terima kasih atas cappuccino nya!” Ryeowook yang tiba – tiba bicara lagi dan berdiri, membuatku makin tidak bisa berbuat apa – apa. Dia bahkan mengucapkan terima kasih untuk secangkir cappuccino yang bahkan belum ia sentuh sedikitpun. Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Ryeowook berjalan keluar dan setelahnya aku mendengar suara tanda pintu apartemenku terkunci secara otomatis.
Sejenak aku merenungkan apa yang barusan aku dengar, lebih tepatnya, apa yang Ryeowook katakan tentang melupakan, masa depan, menunggu, dan kelopak bunga. Apa yang ia katakan tentang melupakan dan masa depan ada benarnya juga. Tapi saat itu, sekuat apapun aku mencoba, aku belum bisa rela untuk melepaskan semuanya.
Dan tentang menunggu dan kelopak bunga, mungkin aku akan mempertimbangkannya. Bukan hanya bemaksud untuk menjadikannya pelarian saja, tapi mungkin aku akan mengisi reruntuhan relung hatiku dengan sesuatu yang baru, seseorang yang baru. Walaupun harus aku akui, saat itu aku belum yakin, tapi aku punya tekat. Aku mencintai Siwon, karenanya aku harus membiarkan ia bahagia dengan melihat aku bahagia. Aku jadi teringat kata – kata yang pernah Siwon ucapkan padaku.
“Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan, sayang. Asalkan kau merasa bahagia, aku pasti juga akan merasakan kebahagiaan itu!”.
-0-
Akhirnya, beberapa bulan setelah kejadian itu, aku mulai bisa mengikhlaskan kepergian Siwon, dan mulai mencoba membuka hatiku untuk dunia yang baru, dengan orang baru pula. Akhir-akhir ini, entah mengapa Dokter Kim menjadi semakin dekat padaku, dan aku bahkan tak menolak hal itu. Apa mungkin aku telah jatuh hati padanya? Mungkin saja. Tapi setidaknya biarkan semua mengalir dengan sendirinya.
Hari itu aku berkunjung ke apartemen Ryeowook, untuk membawakannya beberapa buah segar, karena ia sedang flu beberapa hari kemarin. Saat sampai, ternyata dia sedang mandi, dan aku pun menunggunya selesai di sofa ruang tamu. Bosan, aku mengedarkan pandanganku ke segala penjuru. Akhirnya pandanganku terhenti pada sebuah compact disc yang tergeletak di meja. Penasaran, aku pun mengambilnya. Aku terkejut…