Tok.....Tok.....Tok....
Krik.....Krik.....Heh? kacang? -.-
“Sehun!”
Masih kacang -.-
‘Brak’
.....Sepi.
‘Cklek’
Kamarnya berantakkan. Selimut berada di sudut ranjangnya, buku beserta alat tulis beserta di kasur maupun di lantai, baju-baju kotor juga bertebaran di lantai, dan baju entah-bersih-atau-kotor bertebaran juga di atas kasur. Jorok....
Dan dengan baik hatinya, aku membungkuk untuk memunguti buku serta alat tulisnya dan selimutnya (tidak merapihkan selimut. Hanya menyingkirkannya agar terlihat masih layak) saja (memungut baju entah-itu-bersih-atau-kotor juga? Iwh....tidak terimakasih) sembari mendumel dengan berbagai bahasa yang kubisa. Bahasa Mandarin, Bahasa daerah sini, Bahasa ibu Minseok, dan Bahasa tipe ideal Sehun –model Victoria Secret itu.
“Awas saja kalau anak itu pergi entah kemana tanpa bibi atau izinnya lalu bibi menyuruhku mencarinya. Akan aku telan hi–Apa ini?” tanyaku lebih tepatnya pada diri sendiri saat menyibakkan selimut dan menemukan gunting, plastik biasa untuk sampul buku, dan beberapa tangkai bunga yang-entah-apa-itu-namanya.
Akhirnya aku juga merapihkan berbagai-benda-aneh-itu sampai tertusuk beberapa kali duri di batang bunga yang sepertinya mawar. Aku memasukkan ‘mereka’ ke dalam kantong transparan dan meletakkannya di atas nakas. Siapa tau anak itu memerlukannya.
Setelah merapihkan, aku berjalan santai keluar dnegan berbagai pertanyaan di kepalaku. Bunga dan gunting? Dia tengah usaha merangkai bunga huh?
***
“Sayonara, Luhan-kun.”
Aku membalas lambaian tangan gadis berdarah Jepang-China sembari melepaskan name tag ‘XXXX SHS Team’s Manajer’
“Sampai jumpa tahun depan ya.” Sahutku sebelum kami tertawa lepas karena mendengar lelucon kuno.
Arah rumahku dan si manajer berbeda, Dia ke kiri dari gerbang sekolah sedangkan aku ke kanan. Rumah para murid sekolahku juga rata-rata lewat kiri bukan kanan jadi aku sendirian melewati jalan ini.
‘Ting.....ting....ting......’
Aku mengangkat kepalaku –karena aku jalan sendiri jadi aku terpaksa menundukkan kepala untuk mengeluarkan sisi gelapku agar tak ada yang berani mengganggu– saat mendengar suara lonceng kecil yang berbunyi.
Suara itu mengingatkanku pada kalung lonceng yang aku pakaikan pada Sehun saat dia mogok sekolah untuk pertama kalinya dan aku terpaksa meninggalkannya. Kemarin, aku masih melihat dia memakai kalung itu (tentu saja plat konyol itu sudah tak ada disana) –mungkin karena kalungnya panjang jaid kemanisan dari kalung itu sedikit tertutup.
Mataku bergerak gelisah mencari asal suara lonceng yang terasa berdengung di telingaku. Sejujurnya tidak wajar kalau aku resah begini tapi hari ini tengah hari dan banyak orang keluar untuk makan siang, kalau Sehun keluar disaat jam segini kemungkinan besar dia hilang.
Dia hilang sih tak masalah –aku impikan hal itu dari dulu tapi masalahnya, aku pasti harus ikut mencarinya dan aku mencarinya harus ekstra keras karena aku menghilangkannya.
Itu dia!
Dengan tubuh menjulang di atas rata-rata dan rambut belah tengah berwarna mencolok –pirang kehitaman, dia mudah ditemukan saat tengah menyebrang bersama mungkin ratusan orang-orang berbagai gender yang memakai pakaian rapih. Meskipun daerah sini terpencil tapi kalau daerah sekolahku ini cukup besar dan terkenal.
“Oh Sehun!!!”
Anak itu menoleh ke arahku dan langsung berhenti melangkah, membiarkan bahu serta tubuhnya tertabrak orang dewasa yang badannya lebih kekar.
Aku berlari lebih cepat untuk menghampirinya. Kalau ia terlalu lama berada di posisi seperti itu, bisa-bisa ada orang yang berani mengumpatnya atau memukulnya karena menghalangi jalan. Atau lebih parah lagi, lampu pejalan kaki sudah menjadi merah.
“Sedang apa kau disini?” tanyaku menunjuk ke jalan ini seraya menariknya menuju ke sebrang jalan sebelum lampu pejalan kaki berubah warna.
Dia hanya bergumam pelan sembari menunjukkan sesuatu ke belakang punggungnya.
“Apa yang kau-” Aku membulatkan mata saat sesuatu yang harum dan berbentuk indah dengan rangkaian buram di mataku –karena jarak ‘kami’ terlalu dekat.
Aku mundur beberapa langkah untuk mengetahui sesuatu apa itu. Sebuket bunga.
“Apa yang kau lakukan dengan bunga itu?” tanyaku menunjuk buket bunga. Dia menunjuk ke arah belakangku, aku menoleh dan ternyata yang ia tunjuk itu restoran. Mungkin buket bunga yang dirangkai indah itu untuk sepasang kekasih.
“Uangnya untuk apa?” tanyaku sembari menggesekkan jari jempolku dengan keempat jariku yang lain.
Dia nyengir lalu menunjuk lagi. Kali ini arah yang ia tunjuk adalah belakangnya. Aku memanjangkan leher lalu melihat gedung kursus bahasa Korea itu. Oh....ternyata itu....
“Kau boleh melakukan apapun.” Aku melipat kedua tangan di depan dada. “Tapi jangan pergi begitu saja. Bibi bisa khawatir.” Tambahku sembari merubah ekspresi menjadi wajah khawatir khas bibi.
Dia nyengir lagi lalu mengatup kedua tangannya.
Aku memutar kedua bola mataku. “Terserah kau saja.”
Tanpa bisa kutebak, anak itu menarik lenganku dan membawaku ke arha restoran itu dengan langkah lebar-lebar.
“Ya! Apa yang kau lakukan?”
Tapi dia tak menanggapi ucapanku.
***
Setelah dari restoran, kami pergi ke gedung kursus bahasa korea. Aku memicingkan mata ke arahnya saat kami berdua duduk di ruang tunggu.
“Kau sudah bilang ke b-i-b-i?” tanyaku mengeja kata bibi dalam bahasa, bahaa Korea maksudku dan dia menggeleng dengan senyum yang ia sembunyikan.
“Kau berani melakukan sesuatu tanpa persetujuan bibi?” tanyaku sembari menyilangkah kedua tangan lalu menggumamkan ejaan kata bibi dalam bahasa mandarin. Dia mengangguk mantap. Kau lihat sendiri kan? Dia gila dan tak bisa ditebak karena otaknya entah berpindah kemana.
“Kalau bibi tau," Aku meniru ekspresi bibi kalau marah sebaik mungkin. "aku tak tanggung jawab.” lanjutku seraya menyilangkah kedua tanganku di depan dada
Dia mengangguk sekali lagi.
-TBC-