“Yeoboseyo? Oh, Minseok-ah?”
“YA, kenapa kau telepon malam-malam?” Aku melirik ke arah jam dinding di atas nakasku. Sudah jam 10. Wah, biasanya Minseok sudah tidur jam segini. Ada apa ya?
“Kau belum tidur?”
“Aku mau tidur tapi kau menelepon.”
Aku terkekeh. “Maafkan aku, Minseok-ah. Tapi kau tak keberatan bukan?”
“Ya.”
Aku langsung berguling untuk mencari posisi nyaman. “Aku mau cerita. Tak apa-apa bukan?”
“Kau....ingin cerita apa?”
“Sehun itu adikku.”
“Mwo?”
“Adik tiri.” Ralatku lalu terdengar suara helaan nafas.
“Kalau dia adik kandungmu sih aku juga tak heran. Kalian sekilas mirip.”
Aku mendengus. “Sudahlah. Tak usah dibahas. Janagn cerita ke siapa pun ya?”
“Ne.”
“Jadi aku membela Sehun agar dia bisa kursus bahasa korea saat bibi bilang itu membuang uang tapi Sehun malah langsung pergi ke kamar dan mogok keluar kamar. Padahal kan aku membelanya agar menunjukkan sisi baikku untuk pertama kalinya. Bisa kau tebak, Dia kenapa?”
“Mungkin ngambek?”
“Harusnya kan dia senang sampai tertawa.” Elahku tak terima.
“Mungkin dia senang dibela tapi dia merasa untuk hal ini dia tak perlu dibela? Ah mollayo. Otak anak itu tak bisa ditebak.”
“Otakmu dan anak itu kan sama, sama-sama tak bisa ditebak dan bisa bertindak konyol. Masa kau tak bisa menebaknya sih?” godaku.
“Heh! Sialan kau! Asdfghjkl....”
Aku tersenyum geli mendengar umpatannya yang entah memakai bahasa apa –mungkin bahasa ibunya, bahasa Korea. Minseok memang selalu jadi moodbooster lah!
