Kukira dia main-main soal ‘bibi tau, aku tak ikut-ikutan’ tapi ternyata tidak.
Beberapa minggu setelah mendaftar, bibi tau entah dari mana –mungkin dari tetangga kami yang tukang gosip itu dan bibi menyemprot kami berdua.
Sehun menunjukkan wajah masam. Ia menunjuk ke arahku lalu menyilangkah kedua tangannya dengan kepala yang menggeleng.
Tapi bibi tetap menyemprotku juga membuat wajah putih pucat Sehun jadi memerah.
Sepertinya bibi tau kalau Sehun mulai marah jadi dia hanya menceramahi Sehun. Anehnya, bukannya wajahnya menjadi semakin masam setelah dimarahi bibi senyumnya malah mengembang. Dia yang tak mengerti semprotan cepat bibi yang memakai bahasa mandarin serta Korea atau dia yang gila?
***
Hari itu aku terpaksa jadi utusan bibi untuk memata-matai Sehun karena dia masih ikut kursus bahasa tanpa kemajuan sama sekali, kecuali untuk nilai bahasa koreanya, yang sekarang berubah menjadi 2 donat bersatu dengan arah vertikal saat ulangan.
Kemajuan yang pesat bukan? Tapi sayangnya dia tak pernah berbicara untuk menunjukkan kualitas berbicara bertambah. Bukankah percuma kalau kau bisa ujian tertulis bahasa Korea tapi tak bisa berbahasa Korea?
Dan kerennya, bibi benar-benar serius meminta Sehun berhenti kursus. Kukira dia tak keberatan karena biaya kursus ditanggung Sehun tapi ternyata tidak.
Oh ya, aku tidak menjadi mata-mata sendiri karena ada bibi di belakangku. Dia takut kalau aku tak bekerja dengan baik dan malah melepaskannya hanya karena melihat gadis cantik. Ckck dasar tak percaya dengan keponakkan sendiri.
“Bi! Dia sudah menyebrang!”
“Oh benarkah? Ya sudah ayo kita susul.”
Aku kira aksi mata-mata kita jadi sedikit becus saat ada bibi -.-
Kami langsung berjalan setengah berlari menyebrang zebra cross, takut lampu pejalan kaki berganti warna.
“Oh Se-”
“Jangan memanggilnya!” bisik bibi tepat di telingaku. Oh ya, aku lupa. Mungkin saking gemasnya karena jarak kami berdua sudah cukup jauh.
“Lu-Luhan!”
Aku mengerjapkan mata. Ah, sial. Aku melamun.
Kepalaku terangkat lalu bisa melihat bibi yang tengah menunjuk ke samping kananku sementara Sehun berada di sampingnya dengan ekspresi orang ingin muntah.
Aku menoleh dan mendapati mobil bergerak cepat ke arahku lalu melirik ke arah lampu lalu lintas di ujung jalan dengan cepat. Heh? Bukankah masih beberapa detik lagi lampu pejalan kaki berubah warna?
“Lu-Luhan!”
Aku memejamkan mata rapat-rapat. Sepasang kaki kecil andalanku yang biasanya berlari secepat rusa sekarang gemetar di tempat, tidak seperti biasanya. Bahkan saat aku bertanding membawa nama sekolah dulu tak segemetar ini.
‘SRET......’
‘TIN.....’
“OI!KALAU MENYEBRANG LIHAT-LIHAT!”
“KAU YANG LIHAT-LIHAT BODOH! LAMPU MASIH HIJAU UNTUK PEJALAN KAKI!” Itu suara bibi. Aku tidak tau ekspresinya karena mataku masih terpejam –agak sedikit takut melihat keadaanku sekarang. Belum lagi aku merasa rasa perih di bahu dan mataku rasa-rasanya ditutup oleh telapak tangan seseorang. Siapa yang menolongku?
“Lu-Luhan. Gwecan-na?”
Aku mendesis. “Gwaechana bodoh bukan gwecan-na.” Aku terdiam beberapa saat sebelum berbisik. “Bagaimana keadaanmu, yang menolongku?”
“Se-Sehun tidak apa-apa.”
Hah? Sehun?
Tapi tanpa kuminta, sepertinya kesadaranku hilang.
-TBC-