Drrrt......Drrrt.....
“Ya! Silahkan istirahat!”
Kami langsung membubarkan diri setelah pelatih berseru. Huh....Pas sekali ya...
Aku langsung menggeser ke kanan ikon gagang hijau lalu mendekatkannya ke telinga.
“Lu-Luhan. Kau dimana?”
“Bibi? Sudah pulang?” tanyaku heran sembari melirik jam tangan yang melingkar di tangan kiriku. Baru jam 3. Bukannya bibi pulang selalu jam 4?
“Ya, bibi khawatir jadi membawa pulang pekerjaan di kantor. Saat pulang, tak ada orang di rumah. Rumah juga dikunci dan untungnya aku membawa kunci. Kau dimana?”
“Kau sekolah ya? Bersama sehun tidak? Kau meninggalkannya ya?!”
“Aku sudah mengunci pintu dan bilang kalau mau keluar, Sehun harus kunci pintu.” Jelasku cepat. Tapi sepertinya penjelasannku tak cukup karena deru nafas bibi yang memburu (memburuku maksudnya bukan memburu oksigen) terdengar sampai sini.
“Kalau misalnya saat dia ditawari bubble tea oleh orang asing lalu sebelum pergi bersama orang asing itu dia minta izin untuk mengunci pintu bagaimana?!”
Oh iya-iya....Oh Sehun kan otaknya sudah lenyap. Kenapa aku tak berpikir sampai sana?
“Ba-baik. Aku akan bantu cari.”
“Cepatlah!!!”
‘Bip’
“Pelatih, Aku minta izin pulang!”
Pelatih menoleh ke arahku dengan tatapan tak suka.
“Kali ini saja pelatih!”
“Ya sudah. Sana pergi.”
Aku menarik tas kecil yang berisi handuk, baju ganti, dan sepatu sekolah lalu berlari keluar sekolah. Entah kenapa aku bingung kenapa hanya karena Oh Sehun menyebalkan itu aku mau merelakan sepak bola ck.
***
“Permisi, apa Sehun kesini?” tanyaku kepada seorang wanita paruh baya si pemilik toko kecil bubble tea favorit Sehun yang tengah menutup tokonya. Mungkin hari ini hari terakhirnya berjualan.
“Tidak, nak. Memangnya kenapa?”
“Dia pergi. Terimakasih ya bibi.” Aku langsung melesat pergi lagi. Kemana lagi bocah itu pergi? Hanya tempat itu yang kuketahui. Apa dia ke kantor polisi? Atau rumah orang kaya yang memilik satpam?
‘Bruk!’
“Ah, mianhamnida....” kataku pelan sembari menundukkan kepala dan langsung menyadari sesuatu. Ini kan di China! Kenapa aku berbahasa Korea? Ah! Ini pasti karena kebiasaan di rumah!
Aku baru membuka mulut untuk meralat ucapanku saat sebuah tangan menepuk bahuku.
“SEHUN!!!!” seruku girang saat menengok dan melihat siapa pemilik tangan itu. Aku langsung menjitaknya dalam-dalam, tak peduli otaknya nanti berpindah ke tenggorokkan karena pukulanku.
“Aaaa....” gumamnya pelan. Ia mundur beberapa langkah lalu memegangi kepalanya.
“Kau kemana saja bodoh?! Aku hampir mau ditelan bulat-bulat oleh bibi kau tau?!”
Salah satu jari telunjuknya menunjuk ke belakang tubuhnya. Aku memanjangkan leher dan melihat gedung besar yang plat besar kuning mencolok di depannya dengan bahasa Korea.
Aneh. Ini kan daerah terpencil yang jarang ada orang Korea. Memangnya ada yang bisa membaca hangul? Pakai bahasa nasional –mandarin saja sulit apalagi bahasa lain?
Jari telunjuknya turun seidkit ke bawah dan kalau diperhatikan, jari itu menunjuk ke tulisan bahasa daerah sini di bawah tulisan hangul. Kecil sekali?
“Kursus....Bahasa Korea?”
Sehun mengangguk lalu berjalan mendekatiku. Kepalanya tak dilindungi oleh kedua tangannya lagi tapi dilindungi oleh buku tulisnya. Genius.
“Kau kesini?” Ia kembali emngangguk. Tangan kanannya bergerak merogok sakunya lalu mengeluarkan kertas lusuh dari sana. Jari telunjuknya langsung menunjuk ke sisi pojok kanan yang tertulis ‘Free teach’.
“Bagaimana rasanya?”
Kedua jempolnya langsung ia tunjukkan.
“Kau mau les disini?”
Dia mengangguk penuh semangat.
Aku melipat rapih kertas itu lalu memasukkannya ke dalam tas kecilku –menyadari seragam kesebelasanku tak ada kantong sama sekali. “Ayo pulang. Minta maaf pada bibi lalu rayu ia untuk memasukkanmu kesana.”
Senyumnya langsung kembali mengembang.
***
“Bukankah Luhannie bisa mengajari Sehunnie?”
Kepalaku terangkat lalu menggeleng tak setuju. “Ujian sebentar lagi jadi sekolah megadakan penganyaan dan mengetatkan penganyaan untuk kelas unggulan dan kelas khusus.”
“Tapi kan itu membuang uang.”
“Tapi untuk membeli barang mahal tidak membuang uang ya bi?”
Wajah bibi memerah. Bagus.
“I-itu kan agar kita lebih terpandang.”
“Bukankah sangat malu kalau penampilan terpandang tapi ternyata salah satu anak yang diurus tidak bisa membaca?”
Wajah bibi jadi mengungu hohohoho.
“Tapi kan.....”
“Benarkan, Sehun?” tanyaku meminta dukungan sembari menyikut lengannya.
Kepala Sehun terangkat tapi bukan untuk mengangguk. Setelah dia mengangkat kepala, dia langsung beranjak pergi.
“Ya! Sehun! Aku kan membelamu! Jangan ngambek! Hei!”
‘Brak’
Pintu kamarnya sudah tertutup.
Drrrt......Drrrt.....
“Ya! Silahkan istirahat!”
Kami langsung membubarkan diri setelah pelatih berseru. Huh....Pas sekali ya...
Aku langsung menggeser ke kanan ikon gagang hijau lalu mendekatkannya ke telinga.
“Lu-Luhan. Kau dimana?”
“Bibi? Sudah pulang?” tanyaku heran sembari melirik jam tangan yang melingkar di tangan kiriku. Baru jam 3. Bukannya bibi pulang selalu jam 4?
“Ya, bibi khawatir jadi membawa pulang pekerjaan di kantor. Saat pulang, tak ada orang di rumah. Rumah juga dikunci dan untungnya aku membawa kunci. Kau dimana?”
“kau sekolah ya? Bersama sehun tidak?”
“Kau meninggalkannya ya?!”
“Aku sudah mengunci pintu dan bilang kalau mau keluar, Sehun harus kunci pintu.” Jelasku cepat. Tapi sepertinya penjelasannku tak cukup karena deru nafas yang memburu terdengar sampai sini.
“Kalau misalnya saat dia ditawari bubble tea oleh orang asing lalu sebelum pergi bersama orang asing itu dia minta izin untuk mengunci pintu bagaimana?!”
Oh iya-iya....Oh Sehun kan otaknya sudah lenyap. Kenapa aku tak berpikir sampai sana?
“Ba-baik. Aku akan bantu cari.”
“Cepatlah!!!”
‘Bip’
“Pelatih, Aku minta izin pulang!”
Pelatih menoleh ke arahku dengan tatapan tak suka.
“Kali ini saja!”
“Ya sudah. Sana pergi.”
Aku menarik tas kecil yang berisi handuk, baju ganti, dan sepatu sekolah lalu berlari keluar sekolah. Entah kenapa aku bingung kenapa hanya karena Oh Sehun menyebalkan itu aku mau merelakan sepak bola ck.
***
“Permisi, apa Sehun kesini?” tanyaku kepada seorang wanita paruh baya si pemilik toko kecil bubble tea favorit Sehun yang tengah menutup tokonya. Mungkin hari ini hari terakhirnya berjualan.
“Tidak, nak. Memangnya kenapa?”
“Dia pergi. Terimakasih ya bibi.” Aku langsung melesat pergi lagi. Kemana lagi bocah itu pergi? Hanya tempat itu yang kuketahui. Apa dia ke kantor polisi? Atau rumah orang kaya yang memilik satpam?
‘Bruk!’
“Ah, mianhamnida....” kataku pelan sembari menundukkan kepala dan langsung menyadari sesuatu. Ini kan di China! Kenapa aku berbahasa Korea? Ah! Ini pasti karena kebiasaan di rumah!
Aku baru membuka mulut untuk meralat ucapanku saat sebuah tangan menepuk bahuku.
“SEHUN!!!!” seruku girang saat menengok dan melihat siapa pemilik tangan itu. Aku langsung menjitaknya dalam-dalam, tak peduli otaknya nanti berpindah ke tenggorokkan karena pukulanku.
“Aaaa....” gumamnya pelan. Ia mundur beberapa langkah lalu memegangi kepalanya.
“Kau kemana saja bodoh?! Aku hampir mau ditelan bulat-bulat oleh bibi kau tau?!”
Salah satu jari telunjuknya menunjuk ke belakang tubuhnya. Aku memanjangkan leher dan melihat gedung besar yang plat besar kuning mencolok di depannya dengan bahasa Korea.
Aneh. Ini kan daerah terpencil yang jarang ada orang Korea. Memangnya ada yang bisa membaca hangul? Pakai bahasa nasional –mandarin saja sulit apalagi bahasa lain?
Jari telunjuknya turun seidkit ke bawah dan kalau diperhatikan, jari itu menunjuk ke tulisan bahasa daerah sini di bawah tulisan hangul. Kecil sekali?
“Kursus....Bahasa Korea?”
Sehun mengangguk lalu berjalan mendekatiku. Kepalanya tak dilindungi oleh kedua tangannya lagi tapi dilindungi oleh buku tulisnya. Genius.
“Kau kesini?” Ia kembali emngangguk. Tangan kanannya bergerak merogok sakunya lalu mengeluarkan kertas lusuh dari sana. Jari telunjuknya langsung menunjuk ke sisi pojok kanan yang tertulis ‘Free teach’.
“Bagaimana rasanya?”
Kedua jempolnya langsung ia tunjukkan.
“Kau mau les disini?”
Dia mengangguk penuh semangat.
Aku melipat rapih kertas itu lalu memasukkannya ke dalam tas kecilku –menyadari seragam kesebelasanku tak ada kantong sama sekali. “Ayo pulang. Minta maaf pada bibi lalu rayu ia untuk memasukkanmu kesana.”
Senyumnya langsung kembali mengembang.
***
“Bukankah Luhannie bisa mengajari Sehunnie?”
Kepalaku terangkat lalu menggeleng tak setuju. “Ujian sebentar lagi jadi sekolah megadakan penganyaan dan mengetatkan penganyaan untuk kelas unggulan dan kelas khusus.”
“Tapi kan itu membuang uang.”
“Tapi untuk membeli barang mahal tidak membuang uang ya bi?”
Wajah bibi memerah. Bagus.
“I-itu kan agar kita lebih terpandang.”
“Bukankah sangat malu kalau penampilan terpandang tapi ternyata salah satu anak yang diurus tidak bisa membaca?”
Wajah bibi jadi mengungu hohohoho.
“Tapi kan.....”
“Benarkan, Sehun?” tanyaku meminta dukungan sembari menyikut lengannya.
Kepala Sehun terangkat tapi bukan untuk mengangguk. Setelah dia mengangkat kepala, dia langsung beranjak pergi.
“Ya! Sehun! Aku kan membelamu! Jangan ngambek! Hei!”
‘Brak’
Pintu kamarnya sudah tertutup.
-TBC-