“Luhannie! Cepat masuk mobil!”
“Ya!” seruku menyeret tas sekolah yang tak sempat dipakai lalu berlari ke mobil bibi yang sudah terparkir di depan rumah dna kapapun bisa melesat jika bibi tak sabar.
“Mana Oh Sehun?”
“Dia ada di....Loh kemana?” tanyaku bingung setelah menoleh ke belakang. Anak itu tadi sedang memasukkan buku-buku ke dalam tas saat bibi berteriak menyuruhku masuk mobil.
“Kenapa balik tanya?” tanyanya sembari menjitak kepalaku. Aku meringis pelan lalu berlari masuk ke rumah setelah melempar tas ke dalam mobil.
Nah! Itu dia! Dia sedang.....menulis di buku? Dia belum mengerjakan PR?
“Kenapa tadi tidak mengikutiku ke mobil? Kerjakan PRnya di mobil atau di sekolah saja.”
Dia mengangkat kepala lalu menatapku dengan tatapan linglung.
Aku menggeram pelan karena baru ingat dia tak akan mengerti kalau tidak diperagakan. Tepat saat dia menekan saklar lampu di dekatnya.
“Kau....belum mandi?” aku menunjuk pakaian yang ia pakai tadi malam.
Dia menggeleng lalu menunjuk handuk biru miliknya yang tergeletak di sudut ranjang.
“Lalu kenapa tak memakai seragam?” Aku menunjuk seragam khas sekolah kami. “Kau tak mau sekolah heung? Mau terlambat?” lalu tanganku bergerak membentuk gambar sekolah yang sangat sederhana dan kedua jariku bergerak cepat layaknya orang berlari karena terlambat datang.
Dia mengangguk. Tunggu....Itu untuk pertanyaanku yang mana?
2 jari telunjuknya dari masing-masing tangan teracung. Berarti pertanyaan kedua? Tunggu....Berarti dia tak mau sekolah? Hah? Anak ini gila?!
“KALIAN MASIH LAMA? KALAU IYA AKU BERANGKAT DULUAN!”
Aku menatap tajam ke arah Sehun yang menatapku bingung. “Tunggu disini dan ganti pakaianmu jadi seragam kalau kau mau.”
Dia mengangguk lambat-lambat lalu aku berlari ke depan rumah.
“Bibi.....Sehun nakal. Dia tidak-”.....Kemana bibi?
Drrt....Drrt.....
Aku merogoh saku dan langsung membuka pesan yang masuk.
Kalian lama. Aku duluan. Aku sudah menelepon bus sekolah untuk menjemputmu dan Sehun.
Sial.
Tanganku langsung bergerak di atas layar ponsel untuk mengetik pesan balasan.
Bibi, dia tak mau sekolah. Lalu aku bagaimana?
‘Send’
Drrt.....Drrt.....
Kalau begitu, kau tak usah masuk juga. Jaga dia. Dia bisa saja pergi keluar rumah da tak bisa kembali karena tak tau arah jalan pulang.
Bibi sama gilanya dengan anak ini. Hari ini kan ada latihan terakhir bersama teman-teman karena cuaca makin tidak bisa ditebak. Sebagai kapten, aku harusnya masuk agar terlihat ‘bertanggung jawab’ dong.
“Sehun!!!”
***
Aku mengetuk-etuk bandul panjang asal jadi yang terbuat dari robekkan kardus. Disana tertulis alamat rumah ini.
“Kalau kau bingung. Tunjukkan bandul ini.” Aku menunjuk bandulnya. “ke orang yang penting seperti polisi atau satpam. Pasti mereka mengerti.”
Dia mengangguk pelan lalu meraba bandul itu saat kedua tanganku berpindah ke bahunya.
“Kalau mau pergi kunci pintu.” Aku mengulurkan kunci duplikat rumah ke tangan Sehun yang bebas.
“Kalau ada orang asing atau yang dicurigai.” Aku membekap mulutku dengan tangan lalu memicingkan mata layaknya gaya penjahat.
“Jangan bukakan pintu meskipun ia menekan bel. Kalau dia makin menjadi-jadi dengan membawa senjata.” Aku menunjuk pisau bekas memotong buah yang tergeletak di atas meja makan. “Telepon polisi.” Aku menunjuk telepon yang di dekat sofa lalu bersikap seperti polisi dengan badan tegak, memakai topi keren entah-milik-siapa, dan hormat 4 jari.
“Aku tau kau bodoh tapi pasti hal semudah ini bisa kau lakukan bukan?”
“XI LUHANNNN!!!”
Aku langsung melesat keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi dengan setangkup roti selai coklat entah-milik-siapa di atas nakas kamar Sehun tengah diapit kedua bibirku. Berbicara dengannya memakai bahasa tubuh membuatku lapar.
-TBC-