Malam itu Si Won memutuskan menghabiskan malam di lantai dua rumah Na Young. Hari sudah hampir larut namun Dae Hyun masih belum mau untuk tidur. Anak kecil itu asyik memainkan lego yang sudah berantakan di lantainya. Na Young duduk bersandar pada tubuh Si Won memperhatikan buah hati mereka.
“Lucu sekali dia,” ucap Si Won.
“Memang.” Keduanya kemudian tertawa melihat Dae Hyun kesal karena mainan legonya tidak mau terpasang sesuai keinginannya. “Tadi, ada seseorang pria menemuiku.”
Si Won mengeryit tidak suka mendengar ada pria lain menemui istrinya.
“Dia ayahku.”
“Ayahmu?”
Na Young menganggukkan kepalanya dua kali.
“Lalu bagaimana?”
Na Young tersenyum samar mengingat kejadian tadi pagi.
***
Kejutan apa yang di persiapkan Tuhan hingga membuat Na Young terkejut bukan main seperti sekarang ini? Seorang pria memanggilnya dan kini tengah memeluknya erat. Tidakkah pria yang tengah memeluknya kini bisa saja salah mengenali orang atau apalah itu. Tapi tidak, pria itu tidak salah mengenali orang. Pria itu memanggil nama yang benar.
“Na Young,” ucap pria itu lirih diantara tangisnya.
“A—ayah?”
“Iya, ini ayah, nak.” Pria itu melepaskan pelukannya dan mengusap wajah Na Young. “Kau tumbuh dengan baik. Maaf, baru mencarimu sekarang ini.”
Na Young masih tidak dapat mengeluarkan sepatah kata pun karena terlalu terkejut. Hanya kata ayah yang dia ucapkan berkali-kali dibarengi dengan derai air mata. Entahlah, dia tidak tahu harus seperti apa pada pria yang dari dulu sangat dia benci.
Kaki Na Young bergerak mundur beberapa langkah ketika pria tua yang dia panggil ayah itu berlutut dihadapannya seraya meminta maaf. Tubuh Na Young sontak melemah dan ikut tersungkur dihadapan ayahnya.
“Kenapa kemari? Kenapa menemuiku?”
“Maaf, nak, maaf. Ayah tidak mencarimu dari dulu. Maafkan ayah.” Sesalnya.
“Apa lagi yang ayah inginkan? Apa? Ibu sudah tidak ada, kau tidak tahu, kan?”
“Ayah tahu! Ayah datang di hari pemakaman ibumu. Tapi ayah tidak bisa menemuimu.”
“Ayah membenciku? Sangat sangat sangat membenciku?”
“Bukan, bukan seperti itu. Ayah hanya—“
“KENAPA TIDAK MEMELUKKU SAAT ITU?!” pekik Na Young akhirnya. “Aku sendirian ayah, kenapa ayah tidak memelukku waktu itu?”
“Karena ayah melihatmu baik-baik saja.”
“Aku tidak baik-baik saja, ayah. Aku memang tidak menangis waktu itu, karena aku terlalu benci dengan semua yang terjadi pada hidupku!”
“Maaf, nak, maaf.”
Na Young menutup telinganya erat-erat. “Jangan katakan itu lagi! Jangan! Ayah membuatku terlihat buruk!”
Pria tua itu kemudian merangkak dan merengkuh tubuh Na Young kedalam pelukannya dan membiarkan tangis keduanya berkomunikasi dalam isakan itu.
***
“Apa kau memaafkan ayahmu?” tanya Si Won.
“Tadinya aku tidak ingin memaafkan ayahku,” Na Young tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. “Tapi aku tidak bisa berbuat jahat,” kekehnya, “aku... bagaimana pun juga masih memiliki ikatan darah dengannya. Kemarin aku tahu, jika ayah meninggalkan kami bukan karena kehendaknya, tapi keadaan yang membuat ayah dan ibu harus berpisah.”
“Lalu, bagaimana denganmu? Kau pergi waktu itu.”
Na Young mendongakkan wajahnya menatap wajah Si Won. “Aku, sama seperti ayahku. Aku juga tidak ingin, tapi, keadaan yang membuatku harus memilih pilihan itu. Aku tidak ingin orang yang aku cintai berkelahi dengan ibunya hanya karena aku.”
“Bukankah, aku sudah bilang untuk tidak akan melepaskan tangannmu?”
Na Young menganggukkan kepalanya. “Aku tahu, kau tidak akan pernah melepaskan tanganmu. Untuk itu aku yang melepaskan tanganmu dengan paksa.”
Si Won kemudian memeluk tubuh Na Young erat-erat. “Sekarang jangan pernah lagi mencoba untuk melepaskan tanganmu dariku. Kau tidak ingin Dae Hyun kelak membenciku karena dia pikir jika aku meninggalkan kalian, kan?”
“Aku yang akan mengatakan jika aku yang pergi.”
“Sampai kapan pun, itu tidak akan pernah terjadi. Biarkan Dae Hyun hanya mengingat memori indah bersama kedua orang tuanya, bukan salah satu diantara kita.”
***
Dong Hae duduk tercenung dengan kepala menunduk, rambut begitu berantakan, dan tanpa mengenakan baju atasan. Sekelebat bayangan perlahan mulai terkumpul dan terususun menjadi lengkap di otaknya—tentang apa yang terjadi semalam semuanya dibawah kesadaranya, ah tidak, kesadaran keduanya. Dia kemudian menatap pada sosok yang sedang tertidur di sebelahnya. Rasa bersalah itu muncul dan merayapi hatinya.
Dia kemudian menyibakkan selimut dan berjalan menuju kamar mandi sekedar menyegarkan wajahnya juga pikirannya. Dengan gerak cepat dia membasuh wajah dan rambutnya, ditatapnya pantulan dirinya di cermin.
“Lalu, sekarang apa yang akan kau lakukan?” Dong Hae bertanya pada pantulan dirinya di cermin. Dia kemudian mengambil kaos putih yang tersampir di pintu kamar mandi dan mengenakannya.
Langkahnya sedikit kikuk ketika keluar dari kamar mandi dan mendapati sosok yang sedari malam sudah menghabiskan malam bersamanya duduk bersandar pada dashboard ranjang dan melemparkan pandangan pada kaca berukuran besar yang menjadi jendela apartemen Dong Hae. Pria itu kemudian mengambil duduk di sisi ranjang.
“Aku minta maaf.” Ucap Dong Hae akhirnya dan orang yang dimintai maaf masih tidak merespon sedikit pun.
Pandangan orang itu masih tertuju pada pagi yang tersuguh melalui jendela Dong Hae. Langit hari itu pun seperti sudah menghianati hari orang itu. Senyum miris muncul di wajah cantiknya yang nampak berantakan.
“Bukankah, langit sangat biru dan indah Dong Hae-ya? Aku bahkan belum pernah melihat langit sebiru itu sebelumnya.”
Dong Hae ikut melemparkan pandangannya pada langit yang biru itu kemudian beralih pada orang yang kini masih menatap langit itu. Tangannya terulur meraih tangan-tangan indah yang memucat dan dingin itu.
“Kau boleh membunuhku sekarang juga jika kau ingin.” Pinta Dong Hae. “Tatap mataku Cheon Sa!” pinta Dong Hae lagi.
“Aku tidak ingin membunuhmu.” Ucapnya. “Aku juga bersalah, harusnya aku menghentikanmu malam itu bukannya memintamu untuk melakukan apa yang seharusnya tidak terjadi.”
“Tapi, Cheon Sa, bagaimana jika kau—“
“Hamil?” potong Cheon Sa cepat. “Tidak, tidak akan. Aku tidak akan hamil hanya karena sekali melakukannya denganmu. Aku tidak akan bisa hamil. Aku mandul.” Ucap Cheon Sa lirih dan membuang tatapannya—menghindari tatapan Dong Hae dan membiarkan air matanya jatuh begitu saja.
Dong Hae menarik tangan Cheon Sa, membuat gadis itu jatuh ke pelukannya.
“Aku mencintaimu tanpa kau minta, aku menyayangimu tanpa kau menyuruhnya, aku akan menjagamu tanpa kau sadari.” Ucap Dong Hae saat itu dan membuat dada Cheon Sa berdenyut tidak jelas. “Jika aku ada untukmu, kenapa kau masih menginginkan orang lain yang tidak menginginkanmu? Aku yang menginginkanmu.”
Cheon Sa semakin menangis sesak di pelukan Dong Hae membiarkan semua lukanya luruh bersama air mata yang turun.
***
Jay berjalan menuruni tangga hotel untuk menikmati segelas kopi. Pagi ini seperti pagi-pagi sebelumnya, dia tidak menemukan Summer disebelahnya, bahkan pagi ini anaknya juga sudah terbangun pagi sekali membuatnya harus turut membawa si kecil itu untuk sarapan. Sesekali dia menggerutu karena kebiasaan Summer yang selalu berjalan-jalan pagi.
“Baby D, tidak bisakah mommy-mu itu membangunkan daddy? Lalu kita berjalan-jalan bertiga?” tanya Jay pada anaknya yang hanya diam saja itu. “Ah, itu dia mommy-mu!” tunjuk Jay pada seorang perempuan yang berdiri pada jendela lobby. Pria itu berjalan mendekat dan menghampiri istrinya.
“Summer!” panggilnya. Wanita yang dipanggil Summer olehnya berbalik dengan wajah kebingungan ketika Jay menyerahkan anaknya pada wanita itu. “Kau ini tidak bisakah membangunkan aku jika ingin berjalan-jalan? Baby D sudah bangun, jadi aku mau memesan kopi dulu.”
“Kau siapa?” tanya wanita yang ada di hadapan Jay itu.
“Jangan bercanda! Kau amnesia lagi? Apa kau jatuh saat jalan-jalan? Coba aku lihat!” jay menarik tubuh wanita itu dan memeriksa kepala wanita itu dalam jarak dekat.
“Jay!”
“Na Young!”
Kedua orang itu menoleh secara bersamaan pada sumber suara ketika nama masing-masing diteriakkan. Jay mendapati wanita yang mempunyai wajah yang mirip dengan istrinya berdiri di hadapannya, sementara Na Young mendapati Si Won berdiri di sebelah Summer sembari menggendong Dae Hyun.
“Summer?” tanya Jay bingung.
***
Dong Hae masih belum beranjak dari kasur dengan Cheon Sa yang kini tengah berada di pelukannya. Keduanya diam tak mengeluarkan sepatah kata pun, sementara Cheon Sa sendiri sudah tidak lagi berderai air mata. Entah ini tipe kebodohan nomor berapa, hingga keduanya sudah melampaui batas pertemanan.
“Kau benar-benar menyukai Si Won?” tanya Dong Hae lembut tanpa terselip emosi sedikitpun.
Cheon Sa mendesah pelan. “Aku tidak tahu. Tapi aku menyukainya ketika pertama kali aku dipertemukan olehnya.”
“Kau tahu,”
“Apa?”
“Pada dasarnya wanita tidak bisa jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi, kami—kaum pria, bisa saja jatuh cinta pada pandangan pertama. Itu hukumnya.”
“Kau belajar darimana?” kekeh Cheon Sa terdengar menggelitik di telinga Dong Hae.
“Pengalaman,” jawab Dong Hae. “Apa yang akan kau katakan pada Si Won? Pada orang tuamu?”
Cheon Sa mendongak menatap mata sendu Dong Hae. “Apa yang sudah terjadi diantara kita. Aku tahu Si Won tidak akan gila jika aku mengatakan semuanya, dia mungkin akan semakin bersorak kegirangan. Tapi orang tuaku,” Cheon Sa menggantungkan kalimatnya.
“Mau menghadapinya bersamaku? Karena ini tidak mutlak salahmu juga. Ini aku yang salah, dan aku harus bertanggung jawab.”
“Jangan, biar aku saja.” Tolak Cheon Sa.
Dong Hae mendesah berat dan mengeratkan pelukannya. “Aku sebenarnya sedikit sedih ketika kau mengatakn jika kau tidak mungkin hamil karena kita melakukannya sekali dan juga karena kau mandul.”
Cheon Sa tersenyum tipis. “Lalu kau menyesal telah mencintaiku?”
“Tidak. Bukan begitu, aku masih dan akan tetap mencintaimu.”
Cheon Sa tertawa renyah. “Bukan kah kita sudah tidak waras?”
“Memang, kita memang sudah tidak waras. Kau yang membuatku semakin tidak waras. Bisakah aku menjadi pendampingmu ketika di altar nanti?” tanya Dong Hae sarat akan keseriusan dan ketulusan di setiap katanya.
Cheon Sa tidak menjawab langsung ucapan Dong Hae, wanita itu malah semakin intens menatap mata Dong Hae yang sedikit berkaca-kaca. Entah dorongan darimana, Cheon Sa terlebih dahulu memberanikan diri mencium bibir Dong Hae. Hingga batas itu kembali terlewati dan terhapus ketika keduanya sudah benar-benar tidak mampu menahannya.
***
Summer dan Na Young duduk berhadapan pada lobby hotel. Keduanya hanya saling memandang dan memperhatikan wajah satu sama lain—mengamati setiap lekuk wajah masing-masing yang memiliki kemiripan. Na Young tidak tahu jika dia memiliki doplanger dengan wajah yang teramat mirip hanya memiliki perbedaan di rambut. Ibunya juga tidak pernah bercerita jika dia memiliki seorang kembaran.
“Aku Summer. Summer Choi. Kau?” tanya Summer dengan mata memicing.
“Na Young. Choi Na Young.”
“Na Young?” Summer menutup mulutnya tidak percaya. Pagi tadi dia bertemu dengan ayahnya, dan mengatakan jika kembarannya ternyata masih hidup. Ayahnya juga memberi tahu jika kembarannya itu bernama Na Young. Wanita itu segera beranjak dari duduknya dan memeluk Na Young erat.
“Na Young, Na Young, akhirnya aku bisa melihatmu.” Ucap Summer diantara isakannya.
“Kau siapa?” tanya Na Young kebingungan.
“Aku Summer. Astaga, kau tidak mengenaliku?” Summer melepaskan pelukannya dan kembali duduk. Na Young hanya menggelengkan kepalanya. “Apa ayah tidak pernah bercerita kepadamu?” Na Young menggeleng lagi.
“Pria tua itu!” umpat Summer. “Sebenarnya aku juga baru mengingat ini. Beberapa tahun lalu aku mengalami kecelakaan mobil dan sebagian ingatanku menghilang. Well, karena aku sudah mengingatnya dan ayah juga belum menceritakannya padamu, maka aku akan menceritakannya.”
Na Young diam menanggapi dan mendengarkan cerita Summer.
“Pagi tadi aku bertemu ayah dan berkunjung ke makam ibu. Lagi-lagi pria tua itu tidak menceritakan jika ibu sudah meninggal. Saat kita masih bayi, ayah menitipkanku pada sebuah panti asuhan, karena ekonomi keluarga kita yang sedang tidak baik dan saat itu krisis tengah melanda Korea Selatan. Lalu beberapa tahun kemudian, ketika umurku... ah, aku tidak ingat waktu itu. Saat itu ayah mengambilku dari panti asuhan dan membawaku ke New York. Baru ketika aku menginjak dewasa, ayah menceritakan semuanya kepadaku.” Summer mengulurkan tangannya kemudian menggenggam tangan Na Young.
“Maaf, ayah sudah membuatmu... bahkan aku tidak sanggup untuk mengatakannya. Terima kasih sudah tumbuh dengan baik. Aku iri padamu bisa tumbuh dengan ibu, pun kau juga pasti merasakan hal yang sama, tidak bisa tumbuh dengan ayah. Jika saja waktu itu kedua orang tua kita kaya raya, pasti kita tidak akan tercerai berai.”
“Jadi, kita kembar?”
“Iya, kita saudara. Kau lahir 3 menit lebih awal dariku. Jadi, aku kakakmu.”
“Eonni?”
“Iya, aku eonni. Yeo Reum eonni. Itu nama kecilku.”
Na Young tidak mampu lagi berkata banyak dan melepaskan kerinduannya pada seorang yang tidak pernah dia kenal, dia temui, namun memliki wajah yang sama. Dia bersyukur Tuhan melimpahkan begitu banyak kasih sayang kepadanya beberapa hari ini. Bertemu ayahnya, bertemu dengan Si Won, juga saudara kembarnya. Bertemu dengan orang-orang yang sangat dia cintai.