“Eonni, boleh aku mengajak Dae Hyun jalan-jalan?” ijin Hyun Mi ketika gadis itu baru saja tiba di toko bunga milik Na Young.
“Kemana?”
“Hanya disekitar sini. Kami tidak akan jauh, tenang saja.”
“Baiklah.” Na Young menyerahkan Dae Hyun pada Hyun Mi yang sedari tadi berada di gendongannya.
“Oh iya, kemarin toko baju yang terletak empat blok dari toko kita memesan bunga aster. Apa sudah eonni siapkan? Biar aku antarkan sekalian.”
“Sudah, aku sudah menyiapkannya,” Na Young mengeluarkan sebuket kecil bunga aster dengan 5 warna. “Kau bisa membawanya?”
“Jangan khawatir, Dae Hyun sudah aman di gendongan belakang sementara aku bisa membawanya dengan kedua tanganku yang bebas.” Hyun Mi tersenyum lebar membuat matanya melengkung membentuk bulan sabit.
“Hati-hati!” teriak Na Young saat Hyun Mi dan Dae Hyun sudah keluar dari toko bunganya.
Na Young melanjutkan aktifitasnya membersihkan toko bunga miliknya. Sesaat dia teringat ibu Si Won yang teraring tidak sadarkan diri di rumah sakit. Haruskah dia kesana? Menemui lagi orang yang sudah menghancurkan kehidupan rumah tangganya dengan Si Won? Dan lamunan itu merambat pada sosok Cheon Sa yang dia temui di rumah sakit. Na Young kemudian tersenyum tipis, iya, Cheon Sa lebih terlihat bermatabat dibandingkan dirinya yang yatim piatu ini.
Lonceng yang terpasang pada toko bungan Na Young berbunyi membuat lamunannya mengabur. Dia kemudian menyambut sosok pria berumur hampir 50 tahun akhir dengan jas rapid an berkaca mata, dengan rambut yang hampir sebagian tidak hitam lagi.
“Selamat datang!” sambut Na Young dengan senyum khasnya.
Pria tua itu masih mematung di depan pintu menatap Na Young. “Uri ddal.” Ucapnya lirih.
***
Summer mengerang kesakitan sembari memegangi kepalanya ketika matahari baru saja bangun dan membuat tidur Jay ikut terganggu. Pria itu bergegas bangun dan langsung memeluk istrinya. Dilihatnya Da Young masih terlelap nampak tidak terusik dengan teriakan kesakitan ibunya.
“Kau kenapa sayang? Kenapa? Mana yang sakit?” Tanya Jay beruntun.
“Ke-kepalaku Jay. Sakit sekali! Sakit!” erang Summer.
“Baiklah, aku akan meminta petugas hotel untuk memanggilkan dokter! Kau bersabarlah!” Jay bergegas bangkit.
Summer menahan tangan Jay. “Ti-tidak usah Jay! Tidak usah!” pinta Summer. “Ini akan baik-baik saja!”
“Tapi—“
“Aku mohon! Disini saja!” pelas Summer lagi.
Jay akhirnya menurut dan memeluk istrinya erat. “Apa kau sering seperti ini?”
Summer menganggukkan kepalanya. “Ini hanya sebentar.”
Jay terus memeluk Summer dan dengan segala cara berusaha meredam sakit Summer. Lengannya terasa sakit ketika Summer mencengkramnya dengan erat, dilihatnya bibir Summer berdarah karena wanita itu terlalu keras menggigitnya.
Entah sudah berapa menit Summer mengerang kesakitan, hingga erangan itu perlahan mereda tergantikan oleh hembusan napas Summer yang tidak tertatur. Wanita itu lemas dipelukan suaminya. Keringat dingin membasahi tubuhnya.
“Jay, maafkan aku.” Lirih Summer.
“Kenapa kau tidak mau ke dokter? Jangan membuatku sedih dengan melihatmu kesakitan seperti itu.”
“Aku baik-baik saja. Hanya bekas benturan yang keras dulu sering membuat kepalaku sakit. Seperti ribuan paku menusuk-nusuk kepalaku.”
“Kita ke dokter ya, setelah ini?”
“Aku baik-baik saja, Jay.”
“Kenapa keras kepalamu tidak ikut hilang saat kecelakaan beberapa tahun lalu?”
Summer terkekeh geli. “Jay,”
“Ya?”
“Aku ingat.”
“Ingat apa?”
“Semalam entah aku bermimpi atau apa. Aku melihat kejadian yang sepertinya menghilang dari ingatanku. Aku mengingat ayahku. Aku mengingat jika aku mempunya seorang adik. Seorang adik yang mempunyai wajah mirip denganku. Dia tinggal dengan ibuku di Korea. Saat masih bayi kami terpisah karena orang tua kami bercerai. Aku ikut dengan ayah ke New York sementara adikku tumbuh besar dengan ibuku disini. Adikku itu seorang pemain Tenis kebanggaan Korea.”
“Itu sebabnya kepalamu sakit? Karena ingatan itu mendesak masuk ke kepalamu yang keras ini? Keras kepala!” ledek Jay dan membuat Summer memberengut kesal.
“Kenapa kau tidak menceritakan itu semuanya?”
“Karena aku tidak mau kau sakit jika bersikeras mengingatnya. Biarkan memori itu datang dengan sendirinya, tidak kau paksakan.”
“Apa aku bisa bertemu dengan mereka Jay? Dengan adikku juga ibuku?”
“Mungkin. Mau aku mencarinya?”
“Kau mau?”
“Kenapa tidak? Selama Nyonya keras kepala tidak sakit kepala lagi karena berusaha mengingat semuanya. Kau sudah tahu jika ayahmu ada disini?”
“Di Korea?”
“Iya, semalam dia datang dari Jepang mendengar kita sedang berada di Korea.”
“Kenapa ayah tidak menelponku?”
“Ayah menelponku ketika kau sudah tidur.” Kesal Summer sembari memainkan ujung selimut. “Ah iya, Jay, semalam Si Won-ssi mengatakan jika istrinya yang pergi dua tahun lalu memiliki wajah yang sama denganku. Apa mungkin—“
“Bisa jadi,” potong Jay cepat. “Mengingat bagaimana dia melihatmu saat pertama kali kita bertemu. Itu adikmu mungkin.”
“Tidak mungkin. Sempit sekali dunia ini.” Bantah Summer cepat.
***
“Kenapa menyuruhku kemari?” Dong Hae menarik kursi tinggi yang ada di sebelah Cheon Sa. Dia melihat sekitar dimana kursi-kursi bar diletakkan terbalik di atas meja menandakan bar sedang tidak menerima tamu atau sedang tutup. Dilihatnya Cheon Sa sudah setengah tidak sadar. “Sudah berapa gelas?”
Cheon Sa tertawa samar dan kembali menenggak habis gelas kecil beer-nya. “Sudah gelas kelima mungkin.” Cheon Sa menuangkan beer itu lagi kemudian mendorong gelas kecil itu hingga bergeser dan berhenti tepat di depan Dong Hae.
“Ini masih siang dan kau sudah mabuk. Sudah tidak waras kau!”
“Memang! Aku memang tidak waras.” Kelakar Cheon Sa.
“Kenapa kau memintaku kemari?”
“Setidaknya kau selalu bisa jika aku butuhkan. Tidak seperti pria itu.”
Dong Hae menatap Cheon Sa kasihan sembari menghela napas. Sedikit rasa kesal terselip di hatinya melihat bagaimana Si Won memeperlakukan Cheon Sa tidak selayaknya sebagaimana seorang tunangan. Pria itu kerap kali mengabaikan Cheon Sa. Karena dirinya yang mencintai Cheon Sa.
“Kau mengenal wanita yang pernah menikah dengan Si Won?”
“Mereka masih berstatus suami-istri asal kau tahu saja.” Ralat Dong Hae. “Iya, aku mengenalnya. Siapa yang tidak mengenalnya? Dia seorang atlit tenis yang membanggakan. Sayang sekali dia harus berhenti menjadi petenis karena menikah dengan Si Won. Setelah itu namanya sudah tidak terdengar lagi.”
“Apa ini orangnya?” Cheon Sa mengeluarkan selembar foto dari dalam tasnya dan menyerahkannya pada Dong Hae.
“Iya, ini orangnya. Dimana kau melihatnya?” cecar Dong Hae.
“Kau tidak perlu tahu aku melihat dia dimana. Yang pasti dia baik-baik saja, dengan putranya.”
“Anak? Dia punya anak? Itu berarti—“
“Jangan tanyakan padaku apakah itu anak Si Won atau bukan. Karena aku tidak peduli!” potong Cheon Sa cepat.
“Aku harus memberi tahu Si Won!” Dong Hae bergegas beranjak dari tempatnya namun terhenti ketika Cheon Sa menahan lengan pria itu.
“Bahkan kau juga menjadi pendukung mereka?” ringis Cheon Sa.
Dong Hae kembali duduk di tempatnya. “Bu-bukan begitu,” pria itu tergagap.
“Tidak bisakah kau membiarkan dia tidak mengetahuinya dan membiarkan aku tetap bersamanya?”
“Tidak bisa, Cheon Sa!” tolak Dong Hae. “Aku harus memberitahunya. Sudah hampir gila pria itu mengetahui Na Young pergi.”
“AKU JUGA HAMPIR GILA KARENA PERLAKUAN PRIA ITU!!”
Tepat setelah Cheon Sa berteriak keras, Dong Hae melemparkan tamparan kencang ke pipi wanita itu guna menyadarkan wanita itu.
“Hentikan minummu itu! Kau sudah terlalu mabuk! Lebih baik aku mengantarmu pulang!” Dong Hae menyeret lengan Cheon Sa untuk meninggalkan bar. Wanita itu berontak dan berusaha melepaskan cengkraman tangan Dong Hae.
“Lepaskan aku!”
Dong Hae melepaskan cengkraman tangannya dan menatap mata Cheon Sa tajam. Napas keduanya saling memburu. Dan dengan langkah cepat Dong Hae menarik tengkuk Cheon Sa dan menempelkan bibirnya pada bibir Cheon Sa membuat wanita itu membeku di tempatnya mendapat perlakuan yang begitu tiba-tiba.
***
Si Won duduk dengan tenang di dalam mobilnya bertolak belakang dengan suasana hatinya yang sebenarnya juga sedang tidak baik-baik saja. Pandangannya dari tadi tidak lepas dari satu-satunya toko bunga di distrik Myeong. Hati pria itu tengah berkelahi, memperdebatkan apakah dia akan langsung turun dari mobil—masuk ke dalam toko itu—dan memeluk apa yang dia cari erat-erat. Atau kah, hanya mengamati saja dari jarak yang juga tidak begitu dekat.
Akhirnya perdebatan itu berhenti ketika Si Won memenangkan secara sepihak egonya yang menginginkan untuk segera memeluk apa yang sudah dia cari selama beberapa tahun belakangan. Baru saja pria itu akan melangkah menyebrangi jalan, dari toko tersebut Na Young keluar seorang diri dan mengunci tokonya. Si Won mengurungkan niatnya untuk segera memeluk Na Young dan memilih mengikuti langkah kemana wanita itu pergi.
Wanita itu nampak mencari-cari sesuatu diantara kerumunan orang yang selalu memadati distrik Myeong. Si Won pun ikut melongok-longokkan kepalanya mencari tahu apa yang tengah dicari wanita itu. Langkah Na Young kemudian berhenti pada sebuah kedai es krim di seberang jalan dan berlari kecil memasuki kedai tersebut. Si Won segera mengekor.
Si Won tidak ikut masuk ke dalam kedai dan memilih berdiri di luar kedai mengamati Na Young melalui tembok kaca. Wanita itu menghampiri seorang gadis berusia dua puluh tahunan dengan seorang anak kecil laki-laki yang duduk di atas meja sembari memakan es krimnya. Si Won bisa melihat dengan jelas tawa Na Young saat melihat wajah anak kecil itu penuh dengan es krim lalu membersihkannya menggunakan tisu yang ada.
Na Young kemudian menggendong anak kecil tadi dan membawanya keluar dri kedai es krim. Si Won terlambat untuk bersembunyi hingga mata Na Young bertemu dengan matanya. Wanita itu diliputi kebingungan berusah bersembunyi—menghindar dari pria yang sebenarnya sudah sangat dia rindukan juga.
Si Won sudah tidak bisa lagi menahannya dan menerobos masuk ke dalam kedai es krim tersebut dan memawa Na Young ke dalam pelukannya. Erat. Dia tidak peduli dengan pandangan aneh orang yang ada di kedai itu, dia hanya ingin memeluk Na Young. Itu saja.
“Akhirnya aku bisa menemukanmu.” Bisik Si Won dan membuat jantung Na Young berdegup semakin kencang. Pelukan Si Won melonggar dan pandangannya kemudian beralih pada anak kecil yang ada di gendongan Si Won. “Apa dia anakku?”
Na Young membisu. Tidak mengiyakan tapi tidak mengelak juga. Wanita itu masih terlalu kaget untuk menjawab semua pertanyaan Si Won.
***
Na Young memainkan renda ujung roknya yang pendek. Berusaha tidak menjadi gila karena kerja jantungnya sekarang ini. Napasnya dengan susah payah dia atur sebaik mungkin. Dilihatnya Si Won memangku Dae Hyun, dan ketiganya kini berada di lantai dua toko Na Young.
“Jadi, kalian berdua tinggal di sini selama ini?” Si Won mengedarkan pandangannya pada ruang berukuran 10x5 meter tersebut. Ruangan yang terlalu sempit menurut Si Won. Dengan satu ranjang berukuran double bukan king ataupun queen. Dua buah lemari dan beberapa perkakas yang memenuhi setiap sudutnya. Na Young ikut mengamati ‘rumah’-nya itu.
“Setidaknya aku dan dia nyaman disini.”
“Kenapa?” Si Won menatap mata Na Young intens. “Kenapa pergi waktu itu? Bukan kah aku sudah berjanji kepadamu untuk tidak akan melepaskanmu? Karena ibuku?” tebak Si Won akhirnya.
Na Young menggigit bibir bawahnya berusaha mencari jawaban yang setidaknya masuk akal. “A-aku... a-aku...” namun alasan itu seolah tertahan di kerongkongannya.
“Ibuku sakit. Dia terjatuh dari tangga beberapa waktu lalu dan hingga sekarang dia belum sadar dari komanya.” Jelas Si Won.
“Aku tahu.”
“Kau tahu?”
“Iya. Beberapa hari lalu aku mengantarkan pesanan bunga ke rumah sakit, dan ternyata itu untuk ibumu. Aku juga sempat bertemu dengan Cheon Sa.”
Mata Si Won membulat ketika Na Young mengetahui tentang Cheon Sa. “Kau bertemu Cheon Sa? Apa yang dia katakan padamu?”
“Apa yang seharusnya dia katakan itulah yang aku dengar. Dia cantik juga... baik.”
“Dengar Na Young,” Si Won menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Na Young. “Ibu menjodohkan aku dengan Cheon Sa beberapa bulan setelah kau pergi. Tapi aku tidak mencintai gadis itu. Aku mencintaimu Na Young. Selamanya akan selalu begitu. Aku tidak akan pernah melepaskanmu.”
“Jangan mempermainkan hati perempuan.” Peringat Na Young.
“Aku sedang tidak mempermainkan hati siapapun. Disini kau lah yang mempermainkan hatiku. Kau pergi dalam keadaan hamil, tanpa sepengetahuanku, dan membesarkan anak ini sendirian. Kau pikir aku tidak gila? Aku hampir saja akan mengakhiri hidupku jika aku tidak juga menemukanmu. Sungguh!”
“Kenapa? Kenapa kau menungguku?”
“Karen aku mencintaimu, tentu saja!”
“Kenapa kau mencintaiku?”
“Oh, haruskah aku menjelaskan semuanya? Karena aku ingin membuatmu percaya jika masih ada pria yang tidak sejahat ayahmu yang pergi meninggalkanmu dan ibumu! Aku ingin membuktikan itu! Tapi kau malah pergi membuatku tidak bisa membuktikan itu semua!”
Si Won tidak menampar Na Young dengan tangannya, namun pria itu sudah berhasil menampar Na Young dengan ucapannya. Seperti tidak bertenaga tubuh wanita itu merosot di lantai dan menangis sejadi-jadinya. Si Won ikut duduk di lantai dan memeluk Na Young dengan satu tangannya yang bebas.
“Aku sebenarnya tidak ingin meninggalkanmu. Tapi, aku hanya tidak ingin melihatmu menderita karena aku. Bekerja keras karena aku. Bahkan orang tuamu saja tidak pernah membuat tanganmu kotor. Tapi, aku?”
“Sssttt, sudah jangan katakan apa pun lagi. Aku melakukan itu bukan karena mu, aku melakukan itu karena tanggung jawabku sebagai kepala keluarga. Jadi, jangan salahkan dirimu. Aku bersyukur, karena menikah denganmu, membuat belajar, jika ingin mendapatkan apa yang kita inginkan tidak lah mudah. Karena orang tuaku tidak pernah mengajarkan itu padaku. Aku dengan mudah mendapatkan apa yang aku mau tanpa harus bersusah payah.”
“Maaf, maaf,”
“Jangan meminta maaf lagi, rasanya bertemu denganmu juga anak ini lalu memeluk kalian berdua adalah hal yang paling bahagia yang pernah aku alami selama hidupku. Harusnya aku yang meminta maaf. Tidak bisa menemukanmu dengan cepat, hingga tidak bisa menemanimu ketika melahirnya, membuatmu membesarkannya sendirian, dan harus tinggal di tempat sempit ini.”
“Tapi aku bahagia, walaupun kebahagian itu tidak lengkap tanpa adanya kau.”
Si Won kemudian mengusap air mata Na Young dan mencium bibir Na Young, lembut. Pria itu menghentikan ciumannya ketika kerahnya ditarik oleh jagoan kecilnya.
“Daddy,” ucap anak kecil itu sembari tersenyum menunjukkan satu giginya yang baru tumbuh.
“Selamat, itu kata pertama yang keluar dari bibirnya. Daddy.”
Si Won memendang takjub anak laki-lakinya kemudian menciumi wajah Dae Hyun dengan gemas. “Selanjutnya, ucapkan kata ‘daddy’ terus ya, tampan. Dad—dy,” eja Si Won dan membuat anak kecil itu tertawa mengira ayahnya mengajaknya bercanda.
***