Kris, dia tampak merebahkan tubuhnya secara diagonal seraya merentangkan tangannya secara horizontal di atas tempat tidurnya. Sepasang mata tajamnya tampak menerawang ke arah langit-langit kamar. Ia sedang memikirkan sesuatu. Ia memikirkan Park Ji Yeon.
“Ji Yeon sudah kembali? Dia masih bersama laki-laki bernama Luhan itu?” gumamnya. Ia merasa ada yang mengganjal dengan apa yang dilihatnya malam itu. “Ji Yeon masih bersama Luhan, tapi Ji Yeon malah menari di pelukan laki-laki lain.”
Flashback on
Ji Yeon tampak sibuk dengan ponselnya. Kris hanya berdiri di samping Ji Yeon, sesekali ia melirik ke arah Ji Yeon yang tampak kesal menatap layar ponselnya.
“Kau kenapa?” tanya Kris.
“Semua orang butuh waktu untuk jauh. Apa maksudnya?” sahut Ji Yeon dengan wajah cemberutnya, kemudian melemparkan ponselnya begitu saja di atas pasir tepi pantai.
Kris bisa melihat jelas foto seorang laki-laki yang menjadi wallpaper ponsel Ji Yeon. ‘Dia pasti Luhan.’ Batinnya.
“Apa maksudmu?” balasnya membalikan pertanyaan pada Ji Yeon yang kini melipat tangannya di depan dada dengan pandangan mata cantiknya mengarah lurus ke lautan.
“Kris, sejak semalam aku menghubungi Luhan Oppa. Tapi, dia sama sekali tidak mengangkat teleponnya. Lalu, aku putuskan untuk mengirim email padanya. Aku bilang, aku merindukannya. Aku mau dia ke Seoul menemuiku atau aku yang akan menemuinya di China.” Sorot mata Ji Yeon tampak sedih. Ia tahu benar kalau gadis ini sungguh merindukan lelaki bernama Luhan. “Dia membalas emailku. Dia bilang, semua orang butuh waktu jauh. Menyebalkan sekaliii.. Apakah dia tidak merindukanku juga?”
Sebenarnya Kris sedikit kurang suka ketika Ji Yeon mulai membahas tentang Luhan padanya. Itu karena Kris juga menyimpan perasaan pada Ji Yeon. Ia berusaha menyembunyikan perasaannya itu karena Minho juga menaruh perasaan yang sama dengan apa yang ia rasakan pada Ji Yeon. Kris dan Minho jatuh cinta pada gadis yang sama.
“Mungkin dia memberikanmu waktu liburan lebih panjang. Kau nikmati saja. Disini ada aku dan Minho. Kau bisa menghabiskan waktu berliburmu bersama kami.” Kris mencoba menghibur Ji Yeon.
“Aku merasa rasa cintanya untukku tidak sebesar rasa cintaku untuknya.” Ucap Ji Yeon. Selama ini Luhan tidak pernah melarang Ji Yeon untuk melakukan apapun yang disukainya. Bahkan Luhan pun tidak pernah marah atau cemburu ketika Ji Yeon dekat dengan lelaki selain dirinya.
“Bagaimana kalau salah satu diantara aku dan Minho menyukaimu? Apakah kau akan berpaling dari Luhan? Ji Yeon, kau gadis baik dan kau berhak mendapatkan perlakuan baik juga dari lelaki yang mencintaimu.”
“Mwo?” Ji Yeon terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba Kris katakan.
“Ahh…” Kris salah tingkah dan kikuk. “Aku hanya berandai-andai.” Sangkalnya.
Ji Yeon tertawa pelan melihat gelagat Kris sekarang. “Kris, kau ini sangat lucu.” Tawa Ji Yeon membuat Kris ikut tertawa kaku. “Kris, kau tidak berniat untuk punya kekasih? Minho juga.. Aku tidak pernah melihat kalian berdua kencan dengan perempuan.”
“Kenapa tiba-tiba bertanya tentang itu?”
“Hanya ingin tahu.”
“Aku ini typikal lelaki yang percaya dengan cinta ‘realistis’. Bagiku cinta itu tanpa pamrih. Aku tidak berharap gadis yang ku cintai juga membalas perasaanku. Asalkan aku masih bisa mencintainya dengan sesuka hatiku, melihatnya bahagia walaupun bukan bersamaku. Itu sudah membuatku bahagia.” Kris tersenyum tulus dan membuat Ji Yeon kagum. Baru kali ini ia bertemu dengan lelaki seperti Kris.
“Kau keren, Kris!! Mungkin kalau aku lebih dulu bertemu denganmu daripada Luhan, aku akan membalas perasaanmu kalau gadis yang kau cintai itu adalah aku.” Ji Yeon tersenyum seraya menyandarkan kepalanya di bahu Kris. Mereka menyaksikan matahari yang mulai tenggelam.
Flashback of
Kris menghela nafas setelah mengenang salah satu moment nya bersama Ji Yeon. “Mungkin kalau aku lebih dulu bertemu denganmu daripada Lihan, aku akan membalas perasaanmu kalau gadis yang kau cintai itu adalah aku.” Kalimat itu kembali terngiang-ngiang di telinga Kris. Kalimat itu seperti sebuah harapan.
Arrgghh!! Kris mengusak rambutnya frustasi. “Minho mencintai Ji Yeon. Aku tidak akan mau bersaing dengan temanku sendiri.” gumamnya semakin frustasi.
***