....
“Pulanglah, sudah malam.” kataku kemudian sambil menuju pintu pagar.
“Tunggu!” Daesung meraih tanganku.
“Lepaskan!” aku menolak tangannya dan menatapnya dengan benci. Daesung hanya menatapku dengan heran. “Kenapa? Ada apa denganmu? Kau marah?”
“Pulanglah!” bentakku lagi.
Daesung menarik tanganku lagi, kali ini ia tak membiarkanku melepaskannya. “Gosip di internet itu... semua itu bohong kan? Aku tahu itu foto saat reality show, dan sekarang aku akan membantumu ikut audisi yang lain, mencari akademi musik yang lain, ” Daesung seakan mengiterogasiku.
“Bagaimana kalau semua itu benar?” aku tersenyum sinis.
“Apa?”
“Kau tahu kalau aku sekarang dekat dengannya sejak pertemuan itu? Kupikir aku tidak perlu menjadi penyanyi hebat karena aku sudah mendapatkan Ji Yong, orang yang kusukai sejak dulu, kakak kelas kita saat SMA,”
“Tidak mungkin,”
“Aku tidak perlu susah payah ikut audisi dan merasakan pahitnya ditolak berkali-kali, atau bahkan menyanyi di kafenya Seung Yoon demi uang,”
“...kau tidak menginginkan itu demi uang atau popularitas, aku tahu, kau mencintai musik,...”
Aku tidak menjawab dan berusaha sekuat tenaga menahan air mata yang mulai menggenang agar tidak jatuh.
“Hye Won yang kukenal tidak pernah menyerah.” Daesung meyakinkanku,”...aku akan membantumu, kau tidak perlu menyerah secepat ini,”
“Eotokke?” aku menantangnya,”...tidak perlu menyerah katamu? Haruskah aku mengikuti kata-kata orang yang menyerah pada mimpinya sendiri?” Aku melepaskan tangan Daesung yang terdiam. Daesung tidak menahanku pergi dan masuk ke rumah.
XXX
*Daesung Pov*
Suatu siang yang cerah. Daesung duduk sendirian di sebuah kafe yang dulu pernah ia datangi bersama manajer Choi. Ia meminum segelas cola sejak tadi. Tak lama kemudian wanita berambut pirang dan mengenakan kacamata hitam menemuinya. Wanita itu duduk di hadapan Daesung.
“Kukira aku menunggu Manajer Choi? Apa dia bersamamu?” tanya Daesung heran melihat Chaerin yang datang.
“Iya, dia akan menyusul sebentar lagi. Aku hanya ingin membicarakan pembicaraan kita yang terputus waktu itu,” ujar Chaerin sambil tersenyum. Ia lalu memesan secangkir kopi pada pelayan.
“Aku juga ingin membicarakannya dengan Manajer Choi,”
“Baguslah. Aku datang untuk melanjutkan penawaran itu. Aku tidak memintamu menjadi penata musikku—aku sudah punya banyak orang yang menanganinya—sebenarnya aku menyukai lagu-lagumu. Kau tahu, aku sering menonton videomu di Youtube, dan tentu saja aku mendengarkan demo lagu yang kau kirim ke label,”
“Terimakasih...,”
“...ya walaupun aku lebih suka kau tampil solo, tidak dengan temanmu itu,” Chaerin berkata pelan sambil meminum kopi panasnya. Daesung tidak menjawab. Dia menatap Chaerin dengan serius.
“Jadi, aku ingin membeli lagumu,” ujar Chaerin sambil menatap langsung pada Daesung. “Mungkin Manajer Choi juga pernah membicarakannya?” tanya Chaerin.
“Oh, aku sudah bilang tidak akan menjualnya, maaf,”
“Kenapa? Bukankah sayang sekali? Untuk apa kau mengirim banyak demo lagu tapi kau tidak mau merekamnya?”
“...karena sudah ada yang akan menyanyikannya,” jawab Daesung tenang.
“Siapa?” Chaerin lalu tersenyum sinis, dalam waktu singkat ia bahkan telah dapat menebaknya,”...jangan bilang kau memberikan lagumu untuk temanmu itu,”
XXX
Beberapa bulan berlalu semenjak aku mendadak populer di internet karena gosip murahan yang menghilang dalam waktu singkat itu. Aku tidak tahu apa karena aku juga menghilang dari sana. Aku telah melupakan obsesiku untuk sementara karena tenggelam dalam kesibukanku di toko roti. “Terima kasih, datanglah lagi ke toko kami,” ucapku sambil memberikan sekotak roti pada seorang pelanggan. Begitulah setiap hari.
“Unnie, acara itu benar-benar jadi kan?” tanya Nana, murid SMA pekerja paruh waktu di tokoku. “Sepertinya iya. Apa tidak salah mereka menggunakan toko kita sebagai lokasi shooting?” jawabku heran.
“Ah unnie, toko ini kecil, tapi rotinya sudah terkenal ke mana-mana, lagipula acara kuliner itu akan menguntungkan kita,” katanya yakin.
Memang benar. Shooting acara reality show itu benar-benar diadakan di tokoku. Hari itu aku baru datang ke toko saat shooting-nya sudah berjalan beberapa saat. Beberapa kamera dan kru terlihat sibuk menyorot bintang acara itu. Sepertinya aku tidak perlu terlibat.
“Unnie, tolong antarkan roti ini ke mereka,” ujar Nana yang muncul tiba-tiba di sebelahku. “Bukannya itu tugasmu?”
“Ah aku malu unnie,... tolonglah,”
Dengan berat hati aku membawa nampan berisi beberapa roti hangat ke meja mereka yang dekat dengan jendela. “Pesananmu datang,” ujarku ramah.
“Wah aromanya harum sekali... sepertinya enak ya?” ujar gadis itu pada rekan di sebelahnya. “Ji Yong, kau mau roti yang mana dulu?” tanya gadis itu. Aku menoleh dalam sekejap. Ji Yong?
Ji Yong hampir tidak merespon pertanyaan rekan kerjanya kalau ia tidak menyadarkannya yang juga terkejut melihatku di situ. Aku cepat-cepat pamit,”Selamat menikmati,”
“Eh nona,” panggil gadis itu. “Tolong kau jelaskan roti-roti ini,” katanya manis. Kamera itu menyorotku. Sialan, pikirku. Tapi aku berusaha tersenyum,”... roti banana milk, menu baru kami, kalau yang ini...” aku menjelaskan. Untungnya tak perlu waktu lama aku harus berada di situ.
Beberapa jam berlalu dan kukira shooting acara itu sudah pindah ke tempat lain. Aku ke belakang toko untuk membuang setumpuk sampah. “Kenapa aku selalu bertemu denganmu?” tanya seseorang berambut pendek yang di cat putih. Dia bersandar ke tembok. Di lehernya melingkar sebuah headphone. Aku menoleh saja. “Apa kau lupa kalau kau pernah bilang semoga bertemu lagi?” kataku santai.
“Oh ya? Benar-benar suatu kebetulan,”
Kau bahkan tidak pernah menyadari kalau dulu kita pernah satu SMA kan Ji Yong? Kau begitu populer dan seakan menghilang begitu saja dari sekolah. Dan yang kutahu kau sudah berada di TV dan panggung-panggung konser, mungkin juga poster di kamarku yang sudah kubuang itu.
“Apa aku boleh membeli banana milk itu lagi?” tanyanya. Oh? Ada apa dengannya?
XXX
Aku dan Ji Yong duduk berhadapan di salah satu meja. Sepotong roti dan dua cangkir cokelat panas sudah tersaji di meja itu. “Banana milk itu lebih mirip nama minuman,” komentar Ji Yong, “...tapi aku suka rasanya,” katanya sambil memakan roti itu.
“Kau bisa mendapatkannya gratis dariku, tapi ngomong-ngomong kenapa kau malah muncul di acara kuliner?” tanyaku penasaran.
Ji Yong tertawa. “Sungguh ironis memang, kau beruntung nasibmu berakhir di toko roti seperti ini. Hidup demi popularitas itu tak ada gunanya, sekarang aku ingin hidup seperti orang biasa saja. Acara reality show itu untuk membiayai hidupku, dan membayar hutang tentunya,”
“Oh ya?” aku tidak percaya. “Apa kau bangkrut?” tanyaku.
“Sepertinya kau tidak pernah membaca internet? Asistenku menggelapkan banyak uangku dan aku harus hidup seperti ini,”
“Astaga! Pria itu kan...?” ingatanku melayang pada Seungri. “Apa yang akan kau lakukan padanya? Harusnya polisi sudah menangkapnya,”
“Tidak, aku hanya memukulnya hingga puas dan rupanya itu cukup,”
“... terkadang kau itu baik Ji Yong,” kataku,”...kukira kau jahat,”
“Iya, aku akan selalu jahat padamu, miane,” Ji Yong tersenyum saja.
“Ah, dasar. Berarti kau tidak akan menyelesaikan albummu?”
“Mungkin tidak untuk sementara, aku akan kembali kalau waktunya sudah tepat. Oh ya? Kau tidak ingin kembali ke YG?”
“Mmm...tidak. Bukan aku yang seharusnya di sana, lagi pula aku punya rencana lain,”
“...maksudmu?”
XXX
Kemarin aku bertemu Ji Yong. Dia sudah berubah menjadi lebih baik menurutku. Dan sepertinya dia butuh waktu untuk beristirahat dari rutinitasnya dengan menghilang beberapa waktu ke depan. Aku beruntung sempat bertemu dengannya. Karena itulah aku bisa bangun pagi dengan gembira.
Aku semakin gembira setelah melihat setumpuk surat dan melihatnya satu persatu. Ada satu surat yang membuatku terkejut melihatnya. Benarkah ini? Kukira ia tidak akan pernah datang. “Eomma, sejak kapan surat ini ada?” aku kesal karena Eomma lagi-lagi tidak memberitahuku.
“Eomma pikir kau tidak tertarik dengan akademi-akademi itu lagi,”
“Astagaa, ini bukan akademi yang kemarin eomma...,”
XXX