Sudah seminggu ini aku kembali ke rumah. Selama ini aku hanya mengurung diri seharian di kamar dan tidak membantu di toko roti. Kejadian terakhir telah membuatku kesal sekaligus sedih. Rasanya tidak adil sekali.
Karena bosan aku keluar kamar dan menonton TV. Aku duduk di sebelah meja kecil tepat di depan TV. Tak kukira terdapat beberapa surat yang ditujukan padaku. Beberapa diantaranya surat panggilan audisi dari akademi musik lain, juga beberapa perusahaan yang pernah aku kirimi surat lamaran kerja. “Kenapa tidak memberitahuku kalau ada surat?” protesku pada Eomma.
“Eomma pikir kau tak mau diganggu,” jawab Eomma cuek. Aku mendengus kesal.
“Apa kau akan mencoba ke tempat-tempat itu juga?” tannya Eomma, sambil duduk dihadapanku, menghalangi TV. “...akan kupikirkan,” jawabku singkat.
“Sudahlah, bantu Eomma di toko, toko kita semakin ramai, dan eomma kerepotan. Lupakan saja akademi itu, mereka hanya buatmu hancur,”
“..ah... aku juga sedang tidak ingin memikirkan itu sementara ini. Aku sedang jenuh. Nanti malam aku akan ke kafenya Seung Yoon ya eomma,”
“Ya! Ngapain kau ke sana, bukannya bantu Eomma! Sampai kapan kau terus galau begini...,”
Aku tidak mempedulikan Eomma. Malam ini aku benar-benar pergi ke kafe milik Kang Seung Yoon. Dia memintaku untuk menjadi penyanyi kafenya semalam saja karena penyanyi aslinya sedang izin tidak masuk. Aku menyanggupi saja. Kafenya lumayan ramai, terutama setelah mereka melihatku. Mereka seakan bicara,”Oh dia yang waktu itu ada di koran...”, tapi itu tidak terlalu penting. Aku bukan siapa-siapa.
Seusai perform Seung Yoon menemuiku. “Aku sebenarnya ingin kau menjadi penyanyi tetap di sini, tapi mungkin kau akan sibuk bersama Daesung?” tanyanya.
“Tidak, aku sedang nganggur. Mungkin aku akan sibuk di toko saja,” jawabku.
“Oh ya? Tapi dia bahkan masih sering perform di jalanan, apa kau tidak menemuinya tadi?”
“Tidak... apa dia masih di sana?”
“Tentu saja!”
“Pabo, aku sudah bilang tidak mau ke sana lagi,” kataku kesal, dan tiba-tiba teringat perkataan Ha Yi. Aku semakin tak ingin kembali ke jalanan itu. “Benar, bodoh sekali dia! Pantas saja kuliahnya terbengkalai, karena dia sering keluyuran seperti itu dan tidak pernah belajar!” ejek Seung Yoon lagi.
Daesung memang menjadi mahasiswa di sebuah universitas. Berbeda denganku yang sibuk audisi dan latihan sehingga merelakan diri tidak kuliah. “Kau tak usah sedih karena tak bisa lanjut di YG, masih banyak tempat lain,”
“Iya, tapi aku masih sedikit kesal. Perlu bertahun-tahun untuk bisa ke sana,”
“Daesung banyak cerita tentang audisimu, aku tahu itu tidak mudah, ckck,”
“Apa?” selama ini aku tidak pernah menceritakan audisi pada Daesung.
“Oh, maksudku..., ah baiklah. Dia suruh aku rahasiakan ini, tapi sepertinya kau harus tahu. Dia tahu kau sering ikut audisi, tapi dia tidak tahu kalau kau bisa diterima ke YG waktu itu,”
“Benarkah? Tapi sudahlah. Aku sudah gagal memenuhi janjiku, aku tidak bisa membelikan gitar itu untuknya, jadi aku malas bertemu dengannya saat ini,” aku tersenyum saja sambil meminum segelas cola dingin.
“Membelikan gitar? Untuk apa? Dia bahkan bisa membeli dua grand piano dalam sehari kalau ia mau!”
“Hah?” aku hampir tersedak.
“Kau tidak tahu? Ayahnya kan pengusaha di Jepang, ah sepertinya kau tidak tahu. Kukira kalian berteman sejak kecil. Ada apa dengan kalian sih?”
Aku tak menjawab dan hanya memasang wajah penasaran.
“Aku heran, dia punya banyak uang tapi rela menjadi pengamen di jalan seperti itu, dia bisa membangun studio tapi malah menyewa studio milik psy ahjussi, benar-benar aneh,” Seung Yoon meminum colanya juga.
“Rupanya banyak yang aku tidak tahu selama ini,..” aku bicara sendiri.
“Jangan-jangan kau tidak tahu juga kalau dia menolak kerjasama dengan Chaerin?”
Chaerin! Mataku seketika membulat karena terkejut. Nama itu... sangat kukenal. Otakku berpikir keras, mengingat-ingat wajahnya.... dia... wanita pirang itu?
“B,benarkah?” tanyaku pelan. Aku memegang gelas dengan gemetar.
“Chaerin, teman SMA kalian itu kan? Dia meminta Daesung masuk ke tim produksinya. Tapi rupanya Daesung tetap tidak mau, ah ada apa dengannya? Itu lebih baik daripada demo lagunya yang selalu ditolak label kan? ” ujar Seung Yoon santai dan ia banyak bercerita tentang Daesung.
Aku tidak mau melanjutkan obrolan ini. Aku segera pamit pulang karena memikirkan banyak hal tentang Daesung. Banyak hal yang tidak kutahu selama ini.
*flashback*
“Kenapa kau tidak jadi penyanyi saja? Kau bisa kirim lagu-lagumu ke label?” tanyaku pada Daesung.
“Aku tidak berminat, kau saja,” jawab Daesung acuh.
“Kau ini aneh sekali, suaramu bagus, lagumu bagus, untuk apa semua itu?”
“Lupakan saja...aku hanya ingin punya kebun semangka yang luass...!” begitu yang selalu ia katakan padaku.
*flashback end*
Aku menatap etalase toko musik itu. Gitar yang dulu dipajang di sana sudah diganti oleh gitar lain. Mungkin sudah ada yang membelinya duluan, oh tidak, apa mungkin Daesung membelinya sendiri? Aku menertawai diriku sendiri yang ternyata paling tidak tahu apapun tentang Daesung.
Aku teringat perkataan Seung Yoon tadi yang menyebut nama Chaerin. Bagaimana bisa aku tidak ingat dia di kantor manajer Park waktu itu. Aku benar-benar membencinya hingga melupakannya sedalam itu, bahkan aku tidak menyadari dia Chaerin yang dulu pernah digosipkan dengan Ji Yong. Pikiranku melayang lagi ke masa lalu..
*flashback again*
Aku sendirian mencari buku di perpustakaan dan tidak menyadari seseorang mendekatiku. “Mana pasanganmu itu?” tanya gadis itu. “Siapa?” jawabku dengan acuh, tidak senang dengan pertanyaannya. “Maksudku Daesung,” katanya memperjelas pembicaraan.
“Tidak tahu, cari saja sendiri,”
“Pergi ke manapun selalu berdua seperti anak kembar saja,” ejeknya.
“Dia saja yang selalu mengikutiku,” kataku cuek sambil mencermati buku.
“...apa itu karena dia menyukaimu?” tanyanya lagi.
“Tidak, dia selalu menggangguku sepertimu, lagipula dia hanya suka semangka,” jawabku santai.
“Ah, pabo. Kau itu ya benar-benar bodoh seperti dia,” gadis itu menghela nafas,”...dia itu menyukaimu tahu!”
“Hah?” aku menatapnya dengan heran.
“Kau tahu audisi untuk festival musik kemarin?”
“Iya, kau juaranya kan? Kau akan mewakili sekolah ke tingkat nasional kan?” aku mulai tidak senang. Dia mau pamer, mengangguku, mengejekku, semuanya dalam satu waktu.
“Sebenarnya juaranya Daesung, tapi dia mundur,”
“Eh? Dia bilang dia tidak terpilih?”
“Itu karena kau juga tidak terpilih, karena dia tidak enak padamu jadinya dia mundur,”
“Eh?” aku semakin bingung. Gadis ini mungkin hanya membual.
“Karena itu... kalau kau tidak suka padanya, tinggalkan saja dia! Jangan halangi mimpinya!” gadis itu bicara seakan semua kesalahanku.
“Aku tidak pernah memintanya melakukan itu!” Aku melempar buku ke rak dan berjalan pergi meninggalkannya. Gadis itu mengejarku. “Ya, kau dengar, jangan buat dia menderita lagi. Dia sudah sering diejek karena berteman denganmu!” katanya. Aku tak peduli dan pergi.
Seharian itu Daesung menghilang dari kelas, mungkin dia bolos seperti biasa. Aku tidak mencarinya hingga pulang sekolah. Saat di perjalanan pulang aku baru ingat meninggalkan buku matematika. Cepat-cepat aku kembali ke sekolah hingga ketika di dekat tangga aku bertemu Daesung yang berlari. Aku hampir menabraknya.
“Astaga! Kau mengagetkan!” teriakku.
“Mana orang-orang itu! Ah brengsek!” teriaknya juga. “Kau mengejar mereka?” aku teringat dengan beberapa anak laki-laki yang berlari tadi. Dengan tidak peduli aku melanjutkan perjalanan. Daesung memang seringkali berkelahi di sekolah. “Eh kau mau ke kelas?” tanya Daesung panik.
“Iya, buku matematikaku tertinggal di kelas,” jawabku cuek sambil melangkah ke anak tangga.
“Hey tunggu, jangan ke sana dulu, tunggu di sini!” seketika itu Daesung segera berlari secepat kilat ke kelas.
*flashback Daesung Pov*
Daesung cepat-cepat menghapus tulisan di papan tulis. Beberapa anak laki-laki tadi menulis Daesung love Hye Won di papan tulis. Dia takut Hye Won marah kalau melihatnya. “Ah beres,” ucapnya senang dan buru-buru membuka pintu. Hye Won masuk dengan curiga. “Ada yang kau sembunyikan?”
“Tidak, ini bukumu!”
Hye Won menerima buku itu sambil menatap curiga.
“Sudahlah, ayo kita pulang, ayooolahh...,” Daesung menarik tangannya.
*flashback Daesung Pov End*
*back to my flashback*
Sepanjang perjalanan aku diam saja. Daesung terus mengikutiku dari belakang. Sesekali ia memanggilku tapi aku tidak menyahut. Sebenarnya aku ingin menanyakan perihal festival musik itu...tapi,
“Eh Daesung, aku tadi bertemu Chaerin,” kataku akhirnya.
“Oh ya? Apa dia mengganggumu lagi? Mana dia? Biar kuhajar sekalian!!” Daesung berapi-api. “Nggak kok,”
“Ah masa? Cewek nakal itu pasti mengejekmu lagi,”
“Dia cuma menanyakan sesuatu padaku,”
“Tanya apa?”
“Dia tanyaa... apa kau mengikutiku karena kau menyukaiku? Begitu,” kataku sambil menatap Daesung dengan polos. “Hah?” Daesung terkejut. “Kau jawab apa?” Daesung penasaran dan langsung berdiri di depanku.
“Ya enggak mungkinlah Daesung menyukaiku, dia kan hanya menyukai semangka,”
“Oh ? Iya, benar sih, hehehe,” Daesung tertawa saja.
Aku berjalan lagi. Aku tidak jadi menanyakan festival musik itu. Lupakan saja, pikirku.
“Kalau kamu, kamu suka padaku tidak?” teriak Daesung yang sekarang berjalan di belakangku lagi.
Aku berhenti. Tiba-tiba aku teringat kata-kata Chaerin, “kalau kau tidak suka padanya, tinggalkan saja dia!”
“Nggak,” jawabku tegas dan singkat. “Oh...,” ujar Daesung.
“...karena aku cuma suka es krim,” kataku lagi sambil berjalan, tanpa melihat Daesung yang tiba-tiba tidak tersenyum lagi.
*my flashback end*
Apa dia selalu bilang tidak mau jadi penyanyi itu karena hal yang sama? Hal yang sama seperti yang dikatakan Chaerin dulu? Jadi aku hanya penghalang mimpi Daesung yang sebenarnya? Bodoh sekali aku tidak pernah mendengar kata-kata Chaerin... dan sekarang ternyata Chaerin-lah yang membantunya meraih mimpi terpendamnya. Sedangkan aku? Ah, kenyataan apa ini?
Aku menendang kaleng minuman yang dibuang di jalan keras-keras. Aku bahkan menginjak-injaknya sampai remuk. Aku kesal sekali! Apa dunia ini berkomplot untuk menyalahkanku?
“Hye Won-ah!” panggil seseorang di depan rumahku, tak jauh dari tempat aku berdiri. “Dari mana saja? Apa yang kau lakukan dengan sampah ini?” Daesung menyambutku dengan riang.
Aku hanya menghela nafas setelah melihatnya. “Ya ampunn... kau memotong rambutmu ya?” Daesung berusaha mengacak rambutku seperti biasa, dan aku cepat-cepat menghindar. “Bagaimana kau bisa tahu kalau aku potong rambut setengah senti? Bahkan ibuku pun tidak tahu!”
“Ahahaha, oh ya, aku baru saja membawakanmu semangka tadi! Untuk merayakan kepulanganmu,” katanya lagi.
Astaga, pikirku. Apa sih maumu Daesung?
“Oh, Daesung. Mianeyo. Aku tidak bisa membelikan gitar itu karena...”
“Ah lupakanlah, aku sudah tidak butuh. Lagipula gitar itu sepertinya sudah ada yang beli,”
“Tentu saja, aku tahu itu,” jawabku sinis. Jangan bilang kau sendiri yang membelinya?
“Pulanglah, sudah malam.” kataku kemudian sambil menuju pintu pagar.
“Tunggu!” Daesung meraih tanganku.
XXX