Aku membeku. Menyisakan mata yang terus mengerjap tak percaya. Sekuat tenaga, kutepis perasaan ini. Namun, bagian terjujur diri ini tak mampu. Lubuk hatiku kemudian mulai mengorek masa lalu yang telah kukubur dalam-dalam.
“Hyuna?” Suaranya yang terdengar kaget membuatku miris.
Enam tahun telah berlalu. Banyak dari dirinya yang telah berubah - penampilan dan... hatinya.
Tanpa mampu diantisipasi, sekelebat kenangan itu menyeruak keluar. Berhamburan, memenuhi pikiran.
*
Aku berjalan gontai ke arah kursi penonton yang berbentuk teater bertingkat. Dengan sisa energi yang ada, kukeluarkan handuk kecil dari tas lalu menyeka peluh yang membanjiri tubuh. Napasku ngos-ngosan. Entah telah berapa kali kuputar lapangan atletik ini.
Bukan karena pertandingan atletik yang sebentar lagi akan tiba yang membuatku berlari bak orang gila. Bukan. Kupacu kedua kakiku hingga nyaris melayang karena Shim Changmin, siswa terpopuler sekolah kami.
Changmin sukses membuatku gila karena setiap perhatiannya. Menjadi besar kepala karena menjadi satu-satunya perempuan yang dekat dengannya.
Tetapi, perhatian itu ternyata tidak hanya untukku.
Ketika datang siswi pindahan cantik bernama Eunhye, Changmin mulai melupakanku. Perhatiannya penuh untuk Eunhye.
“Argh! Aku pasti sudah gila!” erangku seraya menggelengkan kepala kuat-kuat. Berharap dapat melempar Changmin dari pikiranku. Ia terlalu merajalela, menguasai diri ini.
Kuhela napas dengan kasar. Berusaha mengatur hati agar tak lagi berharap banyak dari hubungan tanpa status yang telah berjalan selama dua tahun, sejak awal kami berkenalan di hari pertama masuk sekolah.
“Shim Changmin bodoh! Pergi kau!” pekikku kencang. Hanya di tempat sepi ini, aku bisa bebas berteriak.
“Aku benci denganmu!” lirihku seraya menundukkan kepala. Lagi-lagi kuhela napas.
Kurebahkan punggungku ke kursi belakang, menjadi setengah berbaring dengan posisi masih duduk di bangku semula, membiarkan tubuhku terlentang menantang langit. Tak sampai sedetik kurentangkan punggung, sontak aku melompat kaget.
Kuputar tubuh, menghadap laki-laki jangkung di belakangku. Mata bulatnya menatapku jahil.
“Kenapa berteriak sendiri?” tanyanya seraya menyunggingkan senyum miring.
Aku mendengus. “Siapa? Aku? Tidak.”
Changmin terkekeh. Lalu mengambil posisi duduk di sampingku. Ditariknya lengan kananku, memaksaku kembali duduk. Ia melirikku jahil. Aku membuang muka, menghindari kontak matanya yang selalu mampu menyihirku.
“Tadi kudengar ada yang meneriakkan namaku. Bahkan menyebutku bodoh,” sindir Changmin.
Aku menunduk.
Sial, ternyata benar, ia mendengar semuanya!
“Kau membenciku?” tanyanya dengan nada suara yang paling lembut yang pernah kudengar. Aku berani bersumpah, hanya karena mendengar suaranya saja dadaku bergetar tak keruan.
Buru-buru aku menggeleng. Changmin mendengus. “Tadi aku mendengarnya.”
“Tidak ada,” elakku tanpa mampu menatap matanya.
Changmin menyentuh daguku, kemudian diarahkannya wajahku ke arahnya. Membuat mataku mau tak mau harus menangkap manik matanya. Aku mulai salah tingkah dibuatnya.
“Untuk apa ke sini?” tanyaku, berusaha terdengar acuh tak acuh.
“Bukankah biasanya aku ke sini?” jawabnya enteng.
“Nanti Eunhye kebingungan mencarimu,” lanjutku. Sialnya, terdengar jelas api cemburu menyala dari nada bicaraku.
Changmin terkekeh.
“Kau cemburu?”
“Tidak.”
Changmin tertawa. Aku mendengus sebal. Bisakah ia pergi dari sini? Aku benar-benar sulit mengontrol perasaanku. Rasa cinta, kesal, sebal, cemburu, penasaran, bercampur menjadi satu. Mengaduk bak adonan roti yang siap dipanggang.
Sekali lagi, Changmin mengarahkan wajahku ke hadapannya setelah tadi kupalingkan muka ke kiri, menghindari matanya. Kali ini bukan dengan menyentuh daguku, melainkan dengan menyentuh kedua pipiku dengan telapak tangannya yang besar. Seketika, pipiku menghangat.
“Dengarkan aku baik-baik. Aku tidak akan mengulanginya.”
Aku diam. Menyisakan mata yang mengerjap tak percaya. Apa mungkin ia akan menyatakan perasaannya? Ah... Jangan terlalu percaya diri! Changmin yang waras tentu saja memilih Eunhye yang cantik dan feminim daripada Hyuna yang ketus dan tomboi.
“Eunhye adalah...” katanya gantung.
Mereka telah berpacaran?! Pekikku dalam hati.
“... Sepupuku.”
Kuteguk ludah yang mendadak seperti ratusan ton kerikil di tenggorokan. Apa? Aku tidak salah dengar? Sepupu? Yang benar saja!
“Bohong,” responku spontan.
“Kau bisa menanyakannya pada Eunhye. Atau pada Eomoni-ku.”
“...”
“Tapi aku senang, karena kesalahpahamanmu, aku jadi tahu satu hal penting,” lanjut Changmin sambil menyembunyikan tawa jahilnya.
“Apa?” Tantangku. Bodoh! Seharusnya aku hanya perlu diam dan menggali tanah demi menyembunyikan malu karena telah tertangkap basah.
“Aku tahu, kau menyukaiku,” kata Changmin dengan tingkat percaya diri maksimal.
“Siapa bilang?!” protesku seraya melepaskan wajahku dari apitan kedua telapak tangannya. Buru-buru, aku bangkit dari duduk dan bersiap pergi meninggalkan Changmin sebelum ia semakin menyudutkanku.
Namun gerakan laki-laki itu secepat kilat menahan lenganku. Persis seperti drama-drama yang kutonton.
Changmin bangkit lalu berdiri menghadapku. Ditatapnya mataku dalam-dalam.
“Aku mencintaimu,” bisiknya pelan, namun dapat terdengar jelas di telingaku. Mataku membulat tak percaya. Belum sempat aku bereaksi, sepersekian detik setelah mengucapkan kalimat itu, Changmin mendekatkan jarak wajah di antara kami. Ditempelkannya bibirnya ke bibirku, beberapa detik sebelum akhirnya menjauhkan jarak wajah kami kembali.
Aku membeku. Tak tahu bagaimana harus merespon kalimat dan tindakan super cepat itu.
“Maukah kau menjadi kekasihku?” tanyanya.
Aku masih diam. Berusaha menenangkan debaran jantung yang mendadak abnormal. Nyaris saja jantungku melompat keluar karena tingkat shock yang diberikan Changmin di atas batas normalku.
“Ya! Setelah semena-mena menciumku, sekarang kau masih bertanya apa aku mau menjadi kekasihmu atau tidak?” pekikku seraya meninju dadanya pelan. “Itu ciuman pertamaku!”
Mata Changmin melebar tak percaya. Namun beberapa detik kemudian, ia tersenyum cerah. Ditariknya tubuhku merapat padanya. “Kalau begitu, kau harus menjadi kekasihku!” katanya seraya mendekapku lebih erat lagi.
“Apa boleh buat,” jawabku dengan nada acuh tak acuh yang kubuat sedemikian rupa.
Kusembunyikan senyumanku di dadanya.
Apa ini benar-benar kenyataan? Changmin menjadi kekasihku?
Happy ending seperti novel yang biasa kubaca? Seperti drama yang biasa kutonton?
*
Hari-hari yang kami lalui setelah resmi berpacaran rasanya seperti musim semi sepanjang tahun. Changmin persis seperti pangeran di negeri dongeng yang hidup di dunia nyata. Hampir seluruh siswi di sekolah iri setengah mati dengan hubungan kami.
Seminggu dua kali, aku selalu rutin latihan lari di lapangan atletik yang terletak di kanan sekolah. Changmin yang penuh perhatian itu senantiasa menemaniku tanpa menunjukkan gurat bosan sama sekali. Sesekali Eunhye ikut menemaninya. Karena Eunhye mulai dapat beradaptasi, dan tahu diri, gadis itu perlahan menyingkir dari sisi Changmin dan bergaul dengan teman barunya. Walau begitu, aku pun biasa masih sering mengajaknya jalan-jalan bersama.
“Oh ya!” seruku tiba-tiba sesaat setelah duduk di salah satu bangku panjang penonton yang mengelilingi lapangan dan menerima sebotol air mineral dari Changmin. Kubongkar ranselku dan menemukan selembar brosur yang kudapatkan dari seorang Ajusshi yang tiba-tiba saja memberikan lembaran itu padaku.
“Apa itu?” tanya Changmin penasaran.
“Baca ini!” seruku antusias seraya menyerahkan brosur terserbut pada Changmin. Mataku berbinar. Merasa laki-laki itu pasti menyukai informasi yang kuberikan.
Namun tak seperti dugaanku, Changmin menatap lesu lalu menghela napas pelan.
“Ada apa?” tanyaku.
“Suaraku tak sebagus itu untuk ikut audisi,” ujarnya pesimis.
Kutinju lengannya kuat, agar ia sadar akan kemampuannya. “Ya! Suaramu adalah suara terbaik yang pernah kudengar!” seruku lantang, berusaha membangkitkan semangatnya. Kami sering karaoke bersama teman-teman dan semua mengakui Changmin dianugerahi suara emas yang layak untuk ikut audisi label bergengsi seperti SM Entertainment.
Changmin terkekeh. Ia mengelus poniku dengan lembut. “Terima kasih atas pujianmu. Tapi kau harus tahu, untuk menjadi artis tidak semudah yang kau bayangkan...”
Aku menghela napas. “Jangan bohong. Aku pernah melihat buku tulismu. Kau suka menggambar mic atau not balok jika bosan mendengar penjelasan guru. Kau selalu bernyanyi nyaris di setiap kesempatan.”
Changmin tetawa.
“Ayolah, coba sekali saja. Siapa tahu nasibmu bisa berubah dengan menjadi artis. Setidaknya kau tidak perlu melihat Eomoni-mu memanggang roti setiap pagi,” kataku.
Begitu kusinggung soal Eomoni-nya yang telah menjadi single parent, hati Changmin terketuk. Aku tahu betul bagaimana Changmin menyayangi Eomoni-nya. Sejak kematian Abeoji-nya, Eomoni-nya yang bekerja di sebuah toko roti mengharuskannya bangun di subuh hari untuk membuat adonan.
“Baiklah.”
*