Heejoo langsung menodongku dengan berbagai pertanyaan, bertubi-tubi. Intinya, dia ingin kuceritakan detail tentang kejadian kemarin ditabrak Kyuhyun dan munculnya pria misterius yang menggendongku sampai ke depan kelas.
Astaga, apa yang perlu dihebohkan tentang kesialan kuadrat tersebut? Ditabrak Kyuhyun tidak lebih baik dari segi mana pun! Justru merupakan malapetaka berlipat ganda.
“Katakan padaku, bagaimana wajah Kyuhyun dari dekat? Kudengar, dia bahkan langsung menggendongmu ke mobilnya ya?” Itu salah satu pertanyaan konyol Heejoo. Matanya berbinar. Rasanya dapat kulihat bintang-bintang bertebaran di kedua bola matanya.
“Dia punya dua mata. Hidungnya satu. Bibirnya satu. Susunannya masih sama dengan manusia pada umumnya,” jelasku tanpa minat. Kuserumput cappuccino yang sejak tadi diabaikan akibat sederet pertanyaan tak bermutu sahabatku.
Heejoo mendengus sebal. “Kau tahu, kau benar-benar seperti alien yang tersesat di bumi.”
“Ya! Kaki sahabatmu terluka, dan kau lebih mementingkan bagaimana pengalamanku digendong pria menyebalkan itu?” kunaikkan sedikit nada bicaraku. Emosiku terpancing.
“Maaf,” kata Heejoo seraya menyengir. “Ah! Bukankah dua bulan lagi kau akan ada pertandingan?”
Kuhela napas berlebihan. Kemudian diam. Aku bahkan belum menemui Park Songsaengnim. Apa yang harus kulakukan? Baru satu hari tidak melihat lapangan saja sudah membuatku rindu setengah mati. Bagaimana mungkin memintaku untuk vakum selama enam bulan? Sama saja dengan mencabut selembar nyawaku pergi.
Tanpa banyak bicara, Heejoo mendekatkan kursinya ke arahku lalu merangkul bahuku. “Masih ada pertandingan berikutnya. Jangan sedih ya!” katanya seraya menepuk bahuku pelan.
Aku mengangguk pelan.
Tak sampai dua detik setelah kuanggukkan kepala, Heejoo langsung menjauhkan kursinya. Kemudian menatapku jahil. Aku curiga.
“Lalu, ceritakan padaku, siapa yang tadi menggendongmu ke kelas?” tanyanya.
“Sungmin,” jawabku datar seraya menyerumput cappuccino.
Dari sudut mata, kulihat kedua bola mata Heejoo nyaris keluar dari kelopaknya. Dua detik kemudian, ia mengerjap berkali-kali. Mulutnya menganga lebar. Lalu mengguncang tubuhku dengan kekuatan yang sama dengan gempa berskala sepuluh richter.
“Apa? Sungmin? Sungmin Super Junior?” pekiknya tertahan. Untung saja Heejoo tidak berteriak nyaring. Bisa-bisa dalam waktu sekian detik saja tubuhku rata dengan tanah karena diserbu puluhan perempuan yang mendengar nama Sungmin. Tak dapat dielakkan, berita tentang diriku yang digendong seorang pria misterius sukses menyebar hingga ke fakultas lain dalam waktu kurang dari satu jam. Terbukti, temanku yang kuliah di fakultas seni langsung mengirim pesan singkat menanyakan kebenarannya.
Aku mengangguk tanpa minat. Tak merasa ada yang spesial dari kesialan bertumpuk itu selain kakiku yang mendadak harus istirahat dari dunia atletik.
Aku tak habis pikir, mengapa Heejoo begitu mengidolakan Sungmin dan Super Junior. Padahal mereka manusia biasa seperti kami. Tidak ada yang istimewa - misalnya memiliki sayap seperti peri.
“Argh! Hyuna-ya! Kau benar-benar membuatku iri setengah mati!” pekik Heejoo sambil memejamkan mata, mengekspresikan keantusiasannya.
“Kau ingin mengalami tulang kaki retak?” sindirku.
“Ya! Tentu saja bukan itu!”
“Aku bisa digendong Kyuhyun dan Sungmin karena kakiku terluka.”
“Benar juga,” desah Heejoo kecewa.
Ketika kudapati jam telah menunjukkan pukul sebelas, aku segera mengamit lengan Heejoo untuk mengajaknya kembali ke kelas.
*
Aku mendengus kesal ketika membaca pesan singkat yang dikirim oleh Kyuhyun.
Kyuhyun: Tunggu aku di kelas.
Aku: Tidak perlu. Aku bisa menunggumu di parkiran.
Kyuhyun: Jangan. Kau mau aku terlihat jahat di depan publik?!
Sudah kuduga!
Dia bukannya mengkhawatirkan kakiku, melainkan imagenya di depan publik. Pria bernama Kyuhyun tak lebih dari serigala berbulu domba.
Aku heran mengapa banyak sekali yang mengidolakannya. Tidak ada yang istimewa dari wajahnya. Sangat tampan? Tidak. Sangat jelek? Juga tidak.
Ketika cekikikan dari bangku di sebelahku terdengar, aku langsung mendelik sebal. Kupicingkan mata, menikam Heejoo dengan tatapanku.
“Jangan bilang kau—“
“Maaf, aku pergi dulu!” serunya seraya bangkit dari bangku dan berlari meninggalkan kelas.
“Sial!” umpatku sebal.
“Hyuna, kau mau kubantu?” tanya Jin Young dengan nada lembut. Membuatku nyaris muntah dengan sikap sok pahlawannya. Pria bernama Go Jinyoung itu berwajah persegi dengan mata segaris. Tipikal wajahnya nyaris kukategorikan jelek. Namun parahnya, tingkat kenarsisannya tak mampu dihajar tsunami sekalipun. Ia selalu merasa siapapun yang memandangnya sedang memuji ketampanannya.
Aku menoleh. Berpikir sejenak.
Dipapah Jinyoung yang jelek dan narsis. Atau Kyuhyun yang lumayan tapi sok tenar?
Tidak ada pilihan yang lebih baik.
Tetapi...
“Baiklah. Antarkan aku ke parkiran,” kataku akhirnya.
Lebih baik meminta bantuan Jinyoung daripada menjadi alat bagi Kyuhyun untuk menaikkan popularitasnya. Anggap saja aku beramal untuk Jinyoung hari ini. Memberinya kesempatan untuk bahagia karena mengira aku mengakui ketampanannya.
“Siap!” serunya seraya menaikkan telapak tangannya ke atas alis, seperti memberi hormat. “Kau memang tidak salah memilih pria tampan sepertiku untuk membantumu,” lanjutnya seraya terkekeh.
Aku nyaris memuntahkan nasi goreng kimchi yang tadi kumakan.
*
Kyuhyun menghentikan langkah Jinyoung. Membuat pria bermata segaris itu mengerutkan dahi.
“Ada apa?” tanyanya bingung.
“Biar aku yang memapah Hyuna,” kata suara bass itu.
“Tidak apa, tidak jauh lagi sudah sampai,” tolak Jinyoung seraya tersenyum ramah lalu mengajakku melanjutkan langkah.
Aku diam. Lebih tepatnya tak tahu harus memilih yang mana. Keduanya sama-sama menyebalkan.
Baru satu langkah maju, tiba-tiba saja tubuhku terangkat. Jantungku yang normal mendadak saja hiperaktif karena kaget. Mataku membelalak kemudian melirik sekeliling. Tak butuh tiga detik untuk mengumpulkan puluhan pasang mata dan menjadikanku tontonan gratis.
Sial, umpatku dalam hati.
“Maaf, aku akan bertanggungjawab atas apa yang telah kulakukan,” kata Kyuhyun pada Jinyoung yang masih mengerjap-ngerjapkannya karena kaget.
Tak lama, suara gemuruh dari mahasiswi di sekitar membahana. Mirip jejeritan yang kudengar saat di konser waktu itu.
Sial!
Kulirik wajah Kyuhyun yang hanya berjarak belasan senti dariku.
Seperti tahu aku sedang menatapnya, pria itu kemudian berbisik. “Jangan terpesona padaku. Semua ini hanya untuk menaikkan popularitasku saja.”
Astaga!
Apa dia pikir aku tersentuh dengan aksi gendongan ini? Murahan sekali!
*
“Kenapa berhenti di sini?!” protesku ketika menyadari Kyuhyun memarkir mobilnya di salah satu kedai .
“Aku lapar,” jawabnya singkat.
“Kau bisa makan setelah mengantarku pulang!” seruku sebal. Tubuhku lelah. Aku hanya ingin cepat bertemu dengan ranjang empukku.
“Sajangnim (direktur) memintaku untuk sering muncul di publik bersamamu.”
Mataku membelalak. Apa aku tidak salah dengar? Sajangnim? Maksudnya Lee Sooman yang merupakan anak asuh Haelmoni?
Otakku dengan cepat mulai menyusun potongan puzzle yang kukumpulkan. Namun sayang, tak ada gambaran yang dapat kudapat. Melainkan pusing berlipat ganda.
“Untuk?” tanyaku bodoh. Tentu saja aku tahu jawabannya.
“Tentu saja untuk menaikkan popularitasku sebagai idol yang bertanggungjawab dan ramah.”
Dan darahku kembali mendidih.
*
Seperti yang sudah kuduga, artis memang penuh makhluk bertopeng yang memuakkan. Lihat saja sekarang, Kyuhyun mengajakku ke sebuah kedai samgyupsal yang sederhana. Dapat kutebak dengan tingkat keakuratan 1000%, pemilihan tempat ini juga agar citranya sebagai idol yang ‘membumi’ atau tidak sombong. Dan tentunya, karena tempat-tempat seperti inilah berkumpul puluhan siswa dan mahasiswa yang memang menjadi target penjualan album dan tiket konsernya!
Tak usah kuceritakan bagaimana hebohnya suasana kedai sederhana yang kami masuki. Persis seperti di kampus tadi. Tak sedikit yang langsung mengeluarkan ponsel dan langsung memotret kami – ah, tidak, maksudku memotret Kyuhyun. Terlebih, saat adegan Kyuhyun membantuku duduk, berhati-hati memastikan kakiku yang digips tidak menekuk. Sial, di kacamata para fansnya, pria itu akan terlihat seperti malaikat tak bersayap!
Kyuhyun tak henti-hentinya menebar senyum palsu di depan para gadis tolol yang langsung menjerit tak keruan.
Aku mual.
Ketika daging dan pemanggang telah tiba di depan kami, Kyuhyun segera menjepit potongan-potongan daging tersebut dan memanggangnya. Aku tetap diam. Memang tak berniat makan, apalagi membantunya memanggang daging. Kukunci bibirku rapat-rapat demi menahan emosi. Untung saja aku masih cukup waras untuk tidak menumpahkan emosiku. Bisa saja Im Hyuna hanya akan tinggal sebuah nama.
Saat daging telah matang, Kyuhyun membungkusnya ke dalam selada. Mataku membelalak ketika tiba-tiba saja pria itu mencondongkan tubuhnya, menipiskan jarak kami yang dihalangi meja.
“Makanlah,” katanya, terdengar lembut. Aku yakin nada suara ini sudah otomatis diatur jika ada di depan fansnya.
“Tidak. Aku masih kenyang,” tolakku, berusaha untuk terdengar normal.
Kyuhyun semakin menipiskan jarak wajah di antara kami. Membuat para gadis di kedai tersebut langsung berbisik-bisik dan menjerit tertahan.
“Jangan pernah mengira aku menyukaimu,” bisiknya. “Berhentilah bersikap jual mahal. Jika kau tidak ingin dibenci para fansku, ikuti saja apa yang kulakukan.”
Aku mendesis kesal. Sungguh tak habis pikir dengan pria di hadapanku ini. Apa benar di dunia ini ada makhluk memuakkan seperti Kyuhyun?
“Ayo, makan!” bisiknya lagi.
Dengan tolol, segera kubuka mulut dan menangkap selada berisi samgyupsal tersebut dan menguyahnya dengan kasar.
“Kyaaa, Kyuhyun Oppa sangat baik!” seru salah satu gadis yang duduk di meja tak jauh dari kami.
Hah! Kau hanya melihat topengnya! seruku dalam hati.
*
Aku yakin, pria bernama Cho Kyuhyun itu sedang mempermainkanku!
Setelah kenyang dengan samgyupsal dan menebar pesona di sana, dengan alasan ketinggalan ipod, ia memutar mobilnya menuju kantor SM Entertainment.
Lalu kapan aku bisa kembali ke rumah?!
“Tenang saja, tidak akan lama.” Begitu katanya ketika aku mulai memprotes.
Kutiup poni demi mengendalikan emosi. Setelah berkali-kali dibuat kesal olehnya, aku mulai merasa tolol jika terus meladeninya. Semakin aku protes, aku yakin pria itu akan semakin senang mem-bully-ku.
“Tunggu aku di sini,” katanya setelah membantuku duduk di kursi panjang lalu berlari menuju lift.
Ia meninggalkanku di ruang tunggu koridor lantai dasar. Sepi. Untunglah… Setidaknya aku tidak perlu susah-susah memasang topeng dan menebar senyum tak penting untuk orang-orang yang tak kukenal.
Hingga tiba-tiba suara derapan langkah mengusikku.
Spontan, aku menoleh.
Napasku tercekat. Bibirku kemudian bergetar. Mataku nyaris tak mampu berkedip.
Keputusan terbodoh yang pernah kulakukan sepanjang tahun ini adalah membiarkan Kyuhyun menyeretku ke kantor SM Entertainment dan menoleh saat hentakan kaki pria berkaki jenjang itu mengusik sepinya koridor.
Kutelan ludah saat manik mata kami bertemu.
Langkahnya terhenti.
Mengapa aku bisa begitu bodoh sampai melupakan bahwa Changmin adalah bagian dari SM Entertainment?!
“Hyuna?” panggilnya dengan nada ragu.