“Hyuna-ya, bagaimana kakimu?” tanya Haelmoni sembari duduk di sofa.
“Tidak lebih baik,” jawabku rendah. “Haelmoni, bagaimana ini, dua bulan lagi aku ada pertandingan antar universitas,” rengekku sembari memeluk Haelmoni.
“Ah, tapi kenapa kau harus ditabrak Kyuhyun?” tanya Haelmoni, tidak mengacuhkan keluh kesahku.
Aku menghela napas berlebihan lalu menggeleng pelan.
“Bukankah akan lebih baik jika Siwon yang menabrakmu? Haelmoni akan dengan senang hati 'menyiksanya' untuk bertanggungjawab, sehingga bisa selalu bertemu dengannya!” seru Haelmoni dengan mata berbinar.
Kuhela napas sekali lagi. Aku sungguh bingung dengan kenyataan ini. Apa mungkin aku dan Haelmoni adalah dua orang yang lahir di tahun yang salah? Sepertinya Haelmoni lebih cocok menempati tubuhku yang berusia dua puluh tahun daripada yang berusia enam puluh sembilan tahun.
“Haelmoni! Bisakah Haelmoni berharap cucumu ini baik-baik saja? Ditabrak Siwon tidak lebih baik dari ini!” seruku kesal.
Haelmoni menyengir canggung, terlihat merasa bersalah dengan pemikirannya barusan.
“Argh, kenapa Kyuhyun masih belum tiba?! Kuliahku sebentar lagi akan dimulai!” keluhku seraya melirik jam dinding yang bergantung tepat di depan ranjang.
“Coba kau telepon,” saran Haelmoni yang dengan cepat kusetujui.
Kutekan angka empat yang kujadikan speed dial nomor ponsel Kyuhyun – yang kudapat sebelum pria itu pulang. Empat adalah angka yang bagus untuk pria menyebalkan itu. Angka sial untuk pria pembawa petaka!
Ketika nada sambung sedang berbunyi, kuremas ponsel yang tengah kupegang dengan geram saat terdengar nada sambungan diputuskan. Kucoba sekali lagi dan benar saja, pria itu mematikan sambungan teleponku.
“Sial! Padahal hari ini adalah giliranku melakukan presentasi mata kuliah Mr. Yoo! Kyuhyun sialan! Mati kau!” erangku tertahan.
Aku benci keadaan seperti ini. Tak berdaya. Jengah harus bergantung pada orang lain. Apalagi pada pria brengsek seperti Kyuhyun!
Citranya di mataku semakin buruk dengan tak munculnya pria itu di waktu yang telah dijanjikan.
Argh. Matilah aku. Mr. Yoo tidak pernah memberi toleransi untuk kasus apa pun jika tidak hadir di kelasnya.
Ting tong!
Bunyi bel langsung membuatku menghela napas lega. Spontan, aku menoleh pada jam dinding. Mendapati waktuku tak lagi banyak. Risiko mengulang mata kuliah Mr. Yoo telah terbayang di depan matanya.
Haelmoni menggandengku bangkit dari sofa dan berjalan pelan menuju pintu utama.
Segala sumpah serapah telah kusiapkan di ujung lidah. Siap menyambar muka pria menyebalkan itu.
Tapi...
Argh!
Kenapa malah pria yang jauh lebih menyebalkan itu yang muncul di depan pintu rumahku?!
Aku mengingat wajahnya. Juga namanya. Dan masih terekam dengan jelas, betapa bawelnya pria itu.
Dan dia jauh lebih menyebalkan daripada Kyuhyun!
“Annyeong haseyo,” sapa Sungmin seraya membungkukkan tubuhnya.
Sebentuk senyum langsung terbit di wajah Haelmoni ketika kulirik.
“Aigo, Sungmin!” seru Haelmoni antusias. “Apa yang membuatmu kemari?”
Sungmin memamerkan senyum terbaiknya – berusaha terlihat baik dan tulus. Diliriknya kaki kiriku yang digips.
“Aku datang untuk mengantar Hyuna ke kampus,” jawab Sungmin dengan nada sopan.
Haelmoni mengangguk-angguk senang. Namun tak sampai dua detik, raut wajahnya berubah. Dimiringkannya kepala, memandang Sungmin dengan intens.
“Eh? Bukankah Kyuhyun yang seharusnya mengantar Hyuna?”
“Haelmoni, tanyanya nanti saja. Aku buru-buru berangkat,” selaku saat Sungmin baru saja akan menjawab. Kucium pipi Haelmoni sekilas lalu berusaha melangkahkan kaki mendekati mobil sedan putih.
“Aku bisa sendiri!” seruku seraya menepis tangan Sungmin ketika ia berinisiatif menggandengku.
Kutumpu semua beban tubuhku pada kaki kanan dan berjalan pincang. Sungguh, aku rindu memacu kedua kakiku melawan angin.
*
“Maaf, aku terlambat. Aku agak kesulitan mencari alamatmu,” kata Sungmin mengawali pembicaraan sambil menyalakan mesin mobilnya.
“...”
“Kau sudah sarapan?”
“Sudah.”
Hening.
“Apa mata kuliah pertama hari ini?” Ia masih tak menyerah.
Kutiup poniku dengan sebal. “Bisakah kau diam dan fokus menyetir?” tanyaku dengan nada datar akibat kesal yang telah mendidih di puncak kepala.
Aku terus melirik arloji di tangan kiriku. Tinggal setengah jam lagi kuliah akan segera dimulai. Mr. Yoo yang terkenal tepat waktu, membuat kemungkinanku untuk masuk ke kelas sebelum dirinya menjadi nyaris mustahil. Apalagi dengan kakiku yang seperti ini.
Dan kebawelan Sungmin sukses membuatku kesal setengah mati.
*
“Tunggu!” seru Sungmin ketika aku akan keluar dari mobilnya.
Dahiku berkerut ketika melihat pria itu sibuk mengenakan kacamata dan masker. Belum sempat aku bertanya, Sungmin langsung keluar dari mobilnya dan membukakan pintu untukku. Dengan gerakan yang super cepat.
“Aku akan mengantarmu ke kelas,” katanya dengan nada lembut yang memuakkan.
“Tidak perlu. Aku bisa sendiri,” jawabku cepat sambil memutar tubuh lalu mengeluarkan kedua kakiku dengan perlahan.
Sungmin yang melihatku kepayahan langsung menyambut kaki kiriku yang digips. Dengan sangat hati-hati, diletakkannya telapak kakiku ke aspal.
“Hm, kulihat kau sedang terburu-buru,” katanya gantung.
“Maka dari itu jangan terus mengajakku berbicara! Aku perlu konsentrasi untuk berjalan!” bentakku kesal seraya berusaha melangkahkan kaki.
“Jika kau tidak keberatan, aku bisa membantumu agar lebih cepat sampai. Kudengar dari Kyuhyun, kau masuk kuliah pukul sembilan. Sekarang waktunya tinggal sepuluh menit.”
Ah! Benar! Terlambat sama saja dengan tidak masuk kelas. Mr. Yoo mana pernah mengizinkan mahasiswanya untuk masuk jika dirinya lebih dulu tiba.
Sekuat tenaga, kutelan keegoan demi mengatakan, “Jadi bagaimana caranya?”
Tanpa menjawabku, Sungmin langsung meraih tubuhku lalu mengangkatnya di depan dada.
“Ya!” seruku tak terima.
“Jika kau tidak ingin terlambat, percayakan padaku. Tetap tahan kakimu agar tidak menekuk,” katanya lembut, tanpa ada intonasi mengintimidasi sama sekali.
Ah! Sungmin pasti sudah sangat terbiasa melatih nada bicaranya. Demi image.
Tetapi kali ini aku tidak akan memberontak. Aku membutuhkan Sungmin untuk mengantarku ke depan kelas sebelum Mr. Yoo tiba.
Kubiarkan tubuhku digendong oleh pria yang paling tidak ingin kukenal. Pria yang berasal dari kalangan yang sudah ku-blacklist dari daftar orang-orang yang ingin kukenal. Tetapi, kaki sialan ini membuatku tak berdaya!
Sungmin memilih untuk menaiki tangga menuju lantai tiga ketika melihat lift masih bertengger di sembilan.
“Kyaaaa!” seru beberapa teman sekelasku histeris ketika melihatku tiba di depan kelas dengan pose yang paling memalukan sejagat raya.
“Jika mereka bertanya, katakan saja aku sepupumu,” bisiknya seraya menurunkanku dari gendongannya dengan sangat hati-hati.
Hah! Apa dia pikir aku akan dengan tololnya menyebarluaskan kenyataan bahwa Sungmin Super Junior yang baru saja menggendongku? Itu sama saja dengan mempermalukan diri! Apa dia pikir aku bangga diantar oleh member Super Junior yang banyak dielu-elukan para gadis di berbagai penjuru dunia? Jawabannya, tidak.
“Terima kasih,” kataku seadanya kemudian berjalan pincang ke salah satu bangku kosong di sebelah Hee Joo.
Sungmin segera pergi setelah memastikan aku telah duduk. Sementara Hee Joo yang duduk di sisi kananku langsung melirik dengan curiga.
“Siapa dia?” bisik sahabatku. Nadanya penuh curiga.
“Sepupuku,” jawabku spontan. Mengikuti permintaan Sungmin.
Seketika kumaki diri ini. Tolol sekali aku harus menurut dengan apa yang dikatakannya!
“Aku tidak pernah tahu kau punya sepupu di Seoul. Bukankah sepupumu di Jepang dan Jeju? Lagi pula, sepertinya postur tubuh pria tadi tidak asing,” selidik Hee Joo bak polisi.
Aku menghela napas berlebihan. Oke, aku memang tidak mahir berbohong. Terlebih pada sahabatku yang satu ini. Aku yakin, dia mampu mengenali Sungmin, walau pria itu telah menutupi wajahnya dengan masker dan kacamata. Aku sangat hafal ritualnya setiap kali akan memulai kuliah. Ia akan menatap ribuan foto atau video Sungmin yang dikoleksinya di ponsel.
Apa sebaiknya aku jujur?
*