Aku masih belum dapat meredakan ketakjubanku tentang bagaimana Haelmoni mendapatkan kartu akses SM Entertainment. Bagaimana tidak, ternyata pemilik SM Entertainment yang bernama Lee Sooman dulunya adalah anak asuh Haelmoni! Wew... Entah harus bangga atau khawatir. Bangga tentu karena ternyata keluarga kami bisa punya semacam kenalan seorang pengusaha kondang sekelas Lee Sooman. Tetapi aku juga khawatir Haelmoni akan lebih sering mengajakku bertemu idolanya - Super Junior! Yah, karena usianya yang sudah tidak muda, Haelmoni membutuhkanku sebagai tamengnya agar tak terlihat seperti Haelmoni aneh yang masih mengidolakan penyanyi muda. Atau mungkin aku harus mencemaskan kemungkinan terburuk tentang –
“Ya! Kau kemarin juga ke Super Show?!” seru Hee Joo ketika tiba di bangku di sebelah kananku.
Telah bersahabat lama dengannya membuat jantungku cukup kebal untuk hal-hal mengejutkan. Seruan dengan nada sepuluh oktaf di atas nada bicara pada umumnya tak lagi membuatku terlonjak kaget. Aku nyaris lupa bagaimana rasanya terkejut.
“Begitulah,” jawabku tanpa minat.
“Hahaha! Akhirnya kau menjadi Elf juga!” tuduh Hee Joo.
“Ya! Menonton konser bukan berarti aku mengidolakan mereka! Aku hanya menemani Haelmoni.”
Hee Joo memicingkan matanya, melirikku penuh curiga kemudian tertawa jahil. “Sudah, akui saja. Jangan jadikan Haelmoni sebagai tamengmu. Bilang saja kau malu mengakuinya.”
Aku menghela napas berlebihan kemudian membongkar tas slempangku dan mengeluarkan sebuah novel. Lebih baik membunuh waktu dengan tenggelam dalam duniaku daripada meladeni ocehan Hee Joo yang selalu semena-mena.
Kulirik sekilas jam tanganku dan menyadari waktu latihan lari masih setengah jam.
“Ya!”
“Hee Joo-ya, aku benar-benar tidak menyukai idol grup manapun. Kau lupa tentang Changmin?” kataku dengan nada datar.
Hee Joo terdiam lalu mengangguk pelan. “Baiklah. Ehm, kau mau minum apa? Mau kupesankan cappuccino?” tawarnya.
Aku mengangguk tanpa memalingkan pandangan dari bukuku.
Tiba-tiba saja rasanya hati diremas keras. Pedih ini kembali mendera. Setelah enam tahun tidak pernah menyebut namanya, hari ini kubuka luka lama itu lagi.
Kututup novel dengan kasar lalu bangkit dari bangku kantin lalu pergi.
“Hyuna-ya, kau mau ke mana?!” seru Hee Joo dari stand cafetaria.
Tak lagi kupedulikan panggilan Hee Joo. Sakit ini tiba-tiba saja menguasaiku. Apa begitu sulit mengabaikan nama itu? Bahkan telah lebih dari dua ribu hari kulalui tanpanya, mengapa sakit ini masih terasa sama?
Kupacu kedua tungkaiku makin cepat, melebihi rekor terakhirku yang dicatat oleh Park Songsaengnim. Mataku mulai basah. Dan tidak akan kubiarkan siapapun melihatnya! Aku hanya perlu berlari ke lapangan parkir dan bersembunyi di dalam mobilku, tempat teraman.
Namun...
Ketika jarakku dengan mobil hanya tinggal beberapa meter lagi, mendadak sebuah sedan hitam dengan kecepatan sedang melaju di depanku. Kecepatan kakiku tak lagi mampu dikendalikan hingga kemudian kurasakan tubuhku melayang rendah sebelum akhirnya menghantam aspal lapangan parkir.
Aku meringis sembari berusaha bangkit. Ah, beberapa luka kecil menghiasi siku dan lututku.
“Kau tidak apa-apa?” tanya seseorang dengan suara bass yang rasanya familiar. Dari nada bicaranya, sama sekali tak terdengar sedikitpun rasa bersalah atau khawatir. Hanya kalimat tanya basa-basi yang memuakkan.
“Aku baik-baik saja,” jawabku sambil berusaha bangkit dengan kemampuan sendiri. Cih, pria itu bahkan tidak mengulurkan tangannya untuk membantuku bangun.
“Oppa!” pekik beberapa gadis di sekitar kami, terdengar terkejut, lalu beberapa detik kemudian langsung membentuk kerumunan sesak dari orang-orang dengan rasa ingin tahu yang tinggi.
Apa mereka pikir kecelakaan seperti ini layak dijadikan tontonan?!
Entah karena melihatku terlalu payah mengumpulkan tenaga di kedua kaki atau karena tidak enak ditonton terlalu banyak orang, akhirnya pria itu mengulurkan tangannya ke depan wajahku.
Kuabaikan uluran tangannya dan kembali berfokus pada kedua kakiku yang entah mengapa sulit diajak bekerjasama.
Apa mungkin?
Tidak! Tidak mungkin! Pertandingan atletik antar universitas tinggal dua bulan lagi, kakiku tidak boleh –
“Kyaaa!” seru gadis-gadis yang tengah menonton kami, bersamaan dengan terangkatnya tubuhku ke udara.
Mataku membelalak dan otomatis menoleh ke kanan. Mataku mengerjap dua kali ketika manik mata kami bertemu dalam jarak yang terlalu dekat.
Walau tidak menyukainya, tetapi karena baru kemarin menontonnya selama empat jam, mau tak mau otakku mengingatnya. Namun aku tidak tahu siapa namanya. Pantas saja mereka yang menonton kami menatap dengan berbagai ekspresi. Ada yang kaget, sedih dan… ada yang iri? Yang benar saja!
Tanpa ekspresi berlebihan, pria itu langsung menggendongku ke mobilnya.
*
“Aku bisa berjalan sendiri!” seruku ketika pria itu hendak menggendongku lagi saat kami telah tiba di rumah sakit.
“Kakimu terluka.”
“Aku masih bisa jalan sendiri!” pekikku kesal.
“Ya! Kau mau aku terlihat seperti pria jahat karena membiarkan gadis yang terluka berjalan sendiri?”
“Aku bisa jalan sendiri!” Aku masih ngotot.
“Tidak!” serunya tegas lalu mengangkat tubuhku ke depan dadanya. “Kau boleh keras kepala, tapi saat ini kau terluka. Dan aku tidak akan membuat wartawan menulis berita buruk tentangku.”
Bingo! Ini alasan sebenarnya mengapa ia ngotot ingin menggendongku ke ruang UGD.
*
Mataku nyaris tak mampu berkedip ketika dokter mengatakan tulang kaki kiriku retak. Rasanya seluruh tulang di tubuhku remuk seketika saat dokter menyarankanku untuk istirahat total dari latihan atletik selama enam bulan.
Sama saja dengan memintaku menyerah pada pertandingan nanti.
“Semua gara-gara kau,” desisku saat kami telah dalam perjalanan pulang, dengan kaki yang telah digips .
“Ya! Kau sendiri yang berlari ke arah mobilku!” elaknya tak terima.
“Apa mobilmu tidak punya rem?!” bentakku frustrasi.
“Ya! Jangan menyalahkanku! Kau yang berlari kencang ke arah mobilku. Mana sempat aku menginjak rem kalau larimu secepat kilat begitu!”
“Refleksmu payah!” desisku.
“Ya!” teriaknya tak terima. “Masih untung aku mau mengantarmu ke rumah sakit.”
“Yah, demi image,” sindirku lalu memalingkan wajah ke luar jendela.
Memang, lariku terlalu kencang. Tapi ia juga seharusnya punya refleks yang cepat untuk menginjak rem atau membanting stir. Dan sekarang, aku hanya bisa menerima kenyataan bahwa kakiku baru akan sembuh sekitar tiga bulan. Baru boleh latihan setelah enam bulan! Tidak mungkin!
*
“Kyuhyun?” tanya Haelmoni memastikan ketika melihatku berdiri di ambang pintu sambil dipapah pria berkulit pucat itu.
Pria yang dipanggil Kyuhyun itu mengangguk sambil tersenyum canggung, membuatku yakin kalau Haelmoni tidak salah memanggil namanya.
“Ada apa ini? Kenapa kaki Hyuna digips?” tanya Haelmoni khawatir.
Kupikir Haelmoni akan terpesona pada pria di sampingku itu lalu meremehkan kakiku. Syukurlah, Haelmoni masih ingat akan cucu tunggalnya ini.
“Dia menabrakku!” seruku dan Kyuhyun hampir bersamaan sambil menunjuk satu sama lain.
Haelmoni mengerutkan dahinya. “Siapa yang menabrak siapa?”
“...” Tidak ada yang menjawab.
“Sudahlah, sekarang yang penting, Hyuna harus istirahat,” kata Haelmoni sembari memberi kode pada Kyuhyun untuk memapahku masuk.
Mataku semakin membelalak ketika Haelmoni mengiring kami menuju kamarku.
Astaga!
“Haelmoni!" seruku tertahan dengan mata membulat dan tangan kanan memanjang, memintanya untuk tidak membuka pintu kamarku.
Namun, gerakan Haelmoni sedetik lebih cepat dari seruanku, hingga akhirnya langkahku dan Kyuhyun tiba di depan pintu kamar yang terbuka dengan pemandangan yang ‘indah’.
“Ini kamarmu?” bisik Kyuhyun tepat di telinga kananku.
Aku menyengir kuda, menahan malu, sembari kaki ikut melangkah masuk.
“Hahaha. Maaf, agak berantakan,” kata Haelmoni sembari menyapu pakaian dan bra yang menumpuk di atas ranjang ke lantai.
Aku tertawa sumbang ketika menyadari Kyuhyun tengah menahan tawa.
Susah payah, aku akhirnya dibaringkan di ranjang. “Terima kasih,” kataku seadanya lalu menarik selimut menutupi seluruh tubuh dan memejamkan mata – pura-pura tidur.
Kyuhyun tertawa kecil, sepertinya masih menertawakan insiden bra yang tadi dilihatnya.
“Haelmoni, kalau begitu, aku pamit dulu,” katanya sopan.
Kudengar kakinya melangkah menjauh dari ranjangku ketika tiba-tiba terdengar suara Haelmoni.
“Besok pagi, kembalilah untuk menjemput Hyuna,” kata Haelmoni.
“Ye?” respon Kyuhyun terdengar kaget.
“Apa kau berpikir setelah mengantarnya pulang, tugasmu sudah selesai?” sindir Haelmoni.
“Ye?”
“Kau harus mendampingi Hyuna - menjadi kaki kirinya - sampai dia benar-benar sembuh!” Jelas Haelmoni penuh penekanan.
Mataku segera membulat, otomatis membangkitkan sedikit tubuhku bangun.
“Haelmoni! Aku tidak membutuhkannya!” sergahku.
“Lalu kau akan merepotkan Haelmoni-mu yang telah renta ini?”
Aku terdiam sejenak. “Ada Ajumma yang bisa membantuku,” kataku, merujuk pada pembantu rumah tangga kami.
“Apa Ajumma juga harus mengantarmu ke kampus sementara dia tidak bisa menyetir?”
“...”
“Baiklah, aku akan kembali besok.”
Tiba-tiba kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Kyuhyun, mungkin akhirnya menyerah dengan kengototan Haelmoni atau mungkin untuk meningkatkan popularitasnya sebagai artis yang penuh tanggungjawab.
Argh. Membayangkan diri akan terus bertemu dengannya membuatku benar-benar muak.
*