Kakiku sungguh pegal setelah berdiri selama setengah jam di luar ruangan VIP Super Junior. Seperti yang Sungmin katakan tadi, tidak ada kursi di sepanjang koridor bercat putih dengan penerangan minim. Sialnya, tidak ada satu pun staf yang memedulikanku. Mereka terlihat sibuk dengan pekerjaan pasca konser sehingga memilih untuk mengabaikan orang asing yang sejak tadi berdiri di sekitar ruangan ekslusif Super Junior. Kurasa karena mereka pun berpikir aku pasti sudah lolos dari pemeriksaan bodyguard sehingga bisa berada di sekitar sini.
“Haelmoni benar-benar telah melupakanku!” omelku sembari meniup poni kesal dan menendang-nendang angin.
Kumasukkan kedua tangan ke saku jaket sembari menutup kepalaku dengan hoodie. Sejak tadi, kegiatan konyolku hanyalah menarik hoodie lalu lima menit kemudian memakaikannya kembali di kepala, begitu seterusnya setiap beberapa menit sekali. Tidak ada yang dapat kulakukan demi membunuh bosan. Ponselku mati total karena kehabisan baterai. Komik yang selalu ada di tasku pun tak terbawa karena Haelmoni mendadak menarikku pergi tanpa meminta persetujuanku. Aku yakin, Haelmoni pasti sudah tahu aku akan mengeluarkan seribu satu alasan jika beliau memberitahuku ke mana ia akan pergi. Dan jeniusnya, cara Haelmoni berhasil! Beliau berhasil menjebloskanku ke dalam gedung Olympic dan nyaris tenggelam dalam lautan manusia!
Aku refleks menoleh ketika mendengar pintu ruangan VIP Super Junior terbuka. Tanpa sadar, kuhela napas lega karena akhirnya Haelmoni ingat waktu dan cucu tunggalnya ini.
Mataku membelalak. Bukan Haelmoni yang keluar dari ruangan itu. Melainkan pria sok imut bernama Sungmin yang keluar sendirian dan berjalan ke arahku. Kedua sudut bibirnya terus terangkat, memamerkan senyum yang nyaris membuat kaki pegalku lumpuh! Bukan! Bukan karena aku terpesona, melainkan karena sisa energiku langsung habis begitu melihat senyum sok imutnya itu. Terlihat feminim dan… menjijikkan!
“Aku paling benci tipe pria imut yang terlihat lemah! Cih, dia harus mendapatkan pacar tomboi untuk mengimbangi kefeminimannya sekaligus melindunginya dari marabahaya,” gumamku sembari tersenyum melecehkan.
Ups. Aku pasti akan langsung muncul di koran dan TV jika sampai ada yang mendengarku. Siapa yang tidak tahu kefanatikan ELF terhadap Super Junior.
Tapi, aku harus jujur, Sungmin terlihat aneh untuk ukuran pria. Kulitnya terlalu putih bening. Hidungnya mancung dan mungil. Giginya seperti gigi kelinci. Matanya bening seperti perempuan. Astaga! Handuk pink yang bertengger di pundaknya serta jaket baseball berwarna peach makin membuat citra feminimnya semakin kental. Kurasa, member Super Junior yang paling berotot itu – ugh, aku sama sekali tidak tahu siapa namanya! – harus selalu siaga untuk melindungi Sungmin jika mereka sedang bersama dan tidak dalam pengawasan bodyguard.
“Agashi, Haelmoni memintamu untuk masuk,” kata Sungmin sopan sembari tersenyum.
Aku meringis. Memintaku masuk berarti Haelmoni masih akan sangat lama di dalam! Huh.
“Tidak perlu. Katakan pada Haelmoni, aku tetap menunggunya di sini,” jawabku seraya melempar senyum tanggung.
Sungmin mengangguk paham lalu membalikkan tubuhnya, kembali ke ruang VIP tersebut. Melihatnya telah menghilang di balik pintu, langsung kutendang angin demi melampiaskan kekesalan.
Masih harus berapa lama lagi?! Haelmoni benar-benar keterlaluan!
Kusandarkan tubuh di dinding, membagi beban kedua tungkaiku pada tembok bercat putih di belakangku. Dan aksi menendang angin masih menjadi favoritku dalam membunuh bosan.
Selang tiga menit, Sungmin kembali dengan boneka Hello Kitty berukuran standar di pelukannya, berjalan ke arahku. Dahiku berkerut. Untuk apa dia kembali lagi?! Yang kuinginkan hanya Haelmoni! Kakiku nyaris mati rasa karena terlalu lama berdiri – apalagi setelah tiga jam di gedung penuh sesak tadi.
“Ini untukmu,” kata Sungmin tiba-tiba sembari menyodorkan boneka Hello Kitty ke depan hidungku sembari tersenyum ramah – senyum yang sangat terlihat jelas hanya untuk sebuah pencitraan.
Hah! Begini rupanya cara mereka menjaring fans? Berusaha terlihat ramah alami agar si target – yang kali ini adalah aku – menyukainya lalu mencari tahu tentangnya atau mereka. Berharap si target meleleh akibat perhatiannya lalu mulai menceritakan ‘pengalaman langka’ tersebut pada teman-temannya dan ketika mereka merilis album, si target dan teman-temannya itu akan dengan senang hati membeli album agar popularitas – dan otomatis uang mereka – menggunung. Sungguh cara yang licik!
“Tidak perlu,” jawabku singkat sembari menyunggingkan senyum tanggung, sekali lagi.
“Tidak apa-apa. Setidaknya agar kau tidak bosan sendirian di sini.”
Aku menggeleng cepat. “Aku tidak suka Hello Kitty.”
Sungmin membulatkan mulutnya lalu mengangguk tanda mengerti. Pria itu kemudian menyandarkan tubuhnya di dinding, menjiplak poseku dengan memasukkan kedua tangannya ke saku jaket. Dahiku berkerut bingung. Mau apa lagi dia?!
“Kalau begitu, biarkan aku menemanimu di sini.”
Sungmin menundukkan kepala ketika menyadari aku tengah memperhatikannya dengan intens. Bukan. Bukan karena aku tersentuh dengan aksinya. Dia sungguh mengganggu! Daripada ditemani olehnya, akan lebih baik jika aku sendiri.
Apa kepekaannya tidak berfungsi dengan baik? Kurasa sejak pertemuan pertama di depan pintu tadi, dengan sangat jelas kutunjukkan sikap tidak sukaku padanya – pada mereka.
“Tidak perlu.”
“Aku benci sendiri,” katanya, membuatku menoleh ke arahnya, sekali lagi, lalu memiringkan kepala tanda tak mengerti apa maksudnya.
“Sendiri membuat kita tidak tahu harus berbuat apa. Aku tahu bagaimana tidak nyamannya seorang diri di tempat asing. Maka biarkan aku menemanimu.”
Aku terdiam.
Jika kau menebak aku mulai luluh, jawabannya tidak. Aku malah merasa Sungmin sedang latihan atau mungkin ingin memamerkan kemampuan aktingnya di depanku. Kata-katanya terdengar fiktif. Terlalu nyaman untuk didengar sehingga aku mulai merasa di depanku telah berkumpul sutradara, kameraman, penata rias, dan kru lainnya, tengah memperhatikan scene yang sedang direkam. Seharusnya, sebentar lagi akan ada teriakan ‘cut!’ yang menandakan akhir dari syuting.
“Oh ya, perkenalkan, namaku Sungmin. Lee Sungmin,” kata Sungmin tiba-tiba setelah jeda hening beberapa menit sambil menyodorkan tangan kanannya.
“Aku sudah tahu,” jawabku singkat tanpa menyambut uluran tangannya.
Sungmin menatap tangannya yang masih di udara lalu menariknya canggung.
Seonggok kesal tengah bercokol di dada. Bisakah dia tidak bersikap sok ramah seperti ini? Sungguh memuakkan! Kupandangi sekeliling yang terlihat sepi. Sesekali ada satu atau dua orang staf yang berlari melintasi koridor, terlihat buru-buru hingga tidak menyadari Sungmin yang tengah berdiri bersamaku.
“Boleh kutahu namamu?” tanyanya sopan.
“Hyuna. Im Hyuna.”
Sungmin mengangguk sambil bergumam tak jelas. Kemudian hening kembali meyelimuti kami. Kurasa ia mulai kehabisan akal untuk mencari topik pembicaraan atau mungkin malu karena sedari tadi tak kutanggapi ajakan mengobrolnya. Sementara aku memang tidak berminat untuk mengenalnya.
Kubuka hoodie yang menutupi kepala lalu menoleh ke arah pintu ruang VIP – tempat di mana Haelmoni tiba-tiba terserang amnesia – lalu menghela napas berat. Harus berapa lama lagi aku menunggu?
“Haelmoni sangat energik. Hehehe. Pasti akan sangat menyenangkan jika ada Haelmoni yang sangat berjiwa muda.” Sungmin kembali berceloteh sambil menoleh padaku, sepertinya masih belum menyerah untuk membuka obrolan.
“Yah, terlalu berjiwa muda sampai melupakan cucunya,” jawabku sambil mendengus kesal.
Sungmin terkekeh. “Aku heran. Biasanya justru gadis seusiamu yang mengidolakan kami. Tetapi justru kau terlihat begitu membenci kami sementara Haelmoni begitu mengidolakan kami.”
“Entah.”
“Boleh aku tahu kenapa kau begitu membenci aku – atau kami?” tanyanya penasaran.
“Apa aku harus menyukaimu – menyukai kalian?” tanyaku skeptis.
Sungmin tertawa lalu menundukkan kepalanya, mungkin malu atas pertanyaannya sendiri.
“Kau sangat menyenangkan,” katanya sembari tersenyum kemudian menatapku.
Menyenangkan? Dia menyindirku?