Heeyeon
Konser, tugas terbesar ku bulan ini. Aku tak ingin mengecewakan orang tuaku, guru ku, dan teman-teman ku. Tapi tetap saja aku merasa gugup. Ku coba menarik nafas dalam – dalam dan menghembuskannya perlahan. Ku pandangi meja belajar ku, partitur – partitur berserakan di atasnya. Semua kertas partitur itu penuh coretan tangan, entah aku mencoret satu nada yang menurutku tidak perlu atau mengganti nada yang ku coret itu dengan yang nada lain yang terasa lebih merdu di telinga dari pada nada sebelumnya.
Aku tahu ini bukan konser solo ku, dan aku juga tahu ini bukan konser ku yang pertama. Tapi tetap saja konser ini membuat ku gugup. Entahlah, tapi ini adalah konser besar pertama ku. Setelah lulus sekolah menengah aku memutuskan untuk melanjutkan studi ku dengan masuk ke sekolah musik, karena bagiku musik adalah nafas yang ku hirup setiap detiknya. Tapi tetap saja rasa gugup ini belum hilang juga. Lalu ku sandarkan kepala ku ke atas meja.
“Heeyeon! Sampai berapa lama kau mendekam di kamar? Eunhye sudah kelaparan, cepat turun! Makanannya mulai dingin.” Gongju berteriak dari ruang makan.
Ku lirik jam yang ada di atas meja belajar ku, waktu sudah menunjukan pukul delapan malam. Pantas saja Eunhye sudah kelaparan, semua kegiatan yang diikutinya selalu menguras tenaganya sehingga dia butuh banyak asupan makanan. Aku berdiri dengan agak malas dari kursi, berjalan lunglai ke luar kamar dan menuruni tangga menuju meja makan.
“Ya! Heeyeon, cepet makan. Laper nih.” Ku lihat seulas cengiran tergambar diwajah Eunhye. Tergambar jelas di wajahnya bahwa lapar yang dideritanya sudah ke tahap stadium akhir.
Dengan lemasnya ku hempaskan tubuhku ke kursi. Ku lihat di atas meja makan sudah terhidang sepanci besar ramyeon dan semangkuk kimchi di sebelahnya. Lalu ku teringat kejadian tadi sore, laki – laki aneh itu yang membuat ku telat berbelanja. Seharusnya malamini bisa makan makanan lain selain ramyeon.
“Heeyeon, jangan melamun.” Gongju menjentikan jarinya tepat di depan mata ku, aku hanya tersentak kaget. “Gak apa – apa kok malam ini kita cuma makan ramyeon.”
“Bener tuh, ramyeon enak juga kok. Kalau gitu tugas belanja mu kita berdua yang gantiin dulu deh sampai konser mu berakhir. Pasti kamu mau fokus dulu kan sama konser.” Eunhye menimpali setelah memasukan seporsi besar kimchi dan ramyeon ke mulutnya dengan sumpit.
“Iya gak apa – apa kok Yeon-i~.” lalu Gongju menunagkan air ke gelas ku.
Lalu makan malam itu berlanjut dalam hening. Eunhye sudah mengambil ronde keduanya untuk makan ramyeon sementara itu Gongju makan dengan perlahan sambil membaca sebuah majalah atau terkadang bermain dengan ponselnya. Sementara aku hanya mengaduk – aduk makananku. Entah kenapa aku tidak bernafsu makan malam ini.
“HEEYEON!” seketika aku tersentak, begitu pun Gongju. Ku lihat Eunhye menunjuk ke arah sikut ku. “Itu kenapa Heeyeon?”
Aku hanya terdiam dan memandangi luka yang ada di sikutku itu. Yang terfikirkan di kepala ku lagi – lagi pria berjas itu. Maniak aneh menyebalkan yang merusak hari ku.
“Nih, bersihin dulu lukanya baru pakai plester.” Gongju memberikan sebotol alkhohol dan sekotak plester bergambar sekembalinya dia dari pencarian obat di kotak P3K
“Lain kali hati-hati Yeon-i. Yaudah kau tidur lebih dulu sana. Istirahat. Aku tahu konser tinggal satu minggu lagi. Tapi dibawa santai aja, okay?” ku lihat raut wajah Eunhye berubah khawatir sambil melihat ke arah ku, tapi tetap saja aku hanya terdiam. Aku merasa malas bicara sekarang.
“Oh iya, tadi kita dapat kiriman ini.” Gongju membawa sesuatu dari ruang tamu.
“Apa itu?” Tanya ku.
“Tada~! Lihat ini poster untuk konser mu minggu depan, desainnya keren.” Kata Eunhye sambil membuka gulungan yang dibawa Gongju.
“Main yang bagus oke? Kita berdua pasti nonton kok.” Ujar Gongju.
Aku hanya mengangguk dalam diam. Memandangi poster itu, melihat deretan nama pengisi acara satu per satu dan menemukan nama ku pada baris ke tiga. Ayah pasti bangga saat melihat poster ini. Ku harap dia tidak terlambat datang saat konser nanti bersama ibu.
“Aku ke atas dulu ya. Gak tau kenapa udah ngantuk aja.” Ujar ku pada kedua temanku, mereka hanya membalas dengan anggukan.
Setibanya di kamar aku mulai membereskan partitur – partitur di atas meja belajar. Mengurutkan lembar demi lembar satu buah lagu. Saat semuanya sudah rapih tapi aku tak bisa menemukan lembar partitur pertama dari lagu favoritku.
“Dimana yah partiturnya?” aku mulai panik. Ku mulai menggeledah kamar ku tapi tak dapat menemukan lembaran pertama lagu favoritku yang berjudul Only Tears yang sudah susah payah aku aransemen ulang.
Lalu ku bongkar map file ku yang aku bawa tadi, didalamnya juga tidak ada. Aku terduduk lemas di atas kasur sambil memegangi map file ku.
“Jangan – jangan …” kalimatku terhenti.
Teringat kembali kejadian tadi sore, ketika pria aneh maniak James Bond itu menabrak ku, membuat map file ku terpental, mengeluarkan isinya dan ada beberapa yang berterbangan ke berbagai arah.
“Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Lembaran itu tidak boleh hilang. Argh! Itu masterpiece ku.” Ku acak – acak rambutku. Kesal itu yang aku rasakan sekarang.
Ku ambil kertas partitur kosong dan sebatang pensil. Aku berjaln menuju piano yang ada di sudut kamar ku. Lalu membuka kain penutupnya. Ku lemaskan jari – jari ku lalu menarik nafas dalam – dalam.
“Harus mulai lagi dari awal. Pria sialan. Kalau bertemu lagi tak akan ku maafkan. Akan ku buat dahinya berdarah lagi.”
Lalu aku mulai terhanyut dengan piano ku. Aku tak tahu sudah berapa lama waktu berlalu. Tapi tiba – tiba seseorang mengetuk pintu kamar ku. Lalu pintu itu perlahan terbuka, ku lihat Gongju ada di balik pintu.
“Yeon-i, sebaiknya kau tidur dan istirahat. Ini sudah jam 3 pagi. Bukannya kau punya jadwal kelas jam delapan?” lalu ku lirik jam dinding yang ada di kamar, benar saja jam menunjukan pukul 3.09 pagi. Lalu ku alihkan pandangan ku dari jam dinding ke arah Gongju, lalu dia tersenyum hangat. “Tidurlah.”
“Thanks Gongju-ya~.” Lalu aku tersenyum kecil padanya. Gongju kembali menutup pintu dan aku mendengar suara langkah kakinya menjauh dari kamar ku.
Dia benar, sepertinya aku butuh tidur karena baru saja aku menguap lebar. Ku tinggalkan piano lalu berjalan dan menghempaskan tubuh ku ke atas kasur. Tak lama kemudian aku terlelap.