Seoul Medical Centre, South Korea.
“Minho! Minho! Apa kau dapat mendengarku?” Sebuah suara memanggil namaku saat aku baru membuka mataku.
“Syukurlah kau sudah sadar.”
“Apa yang terjadi? Dimana aku?”
“Tenanglah, kau akan baik-baik saja.”
“Dia tersadar dari tidur panjangnya selama lebih dari lima tahun, dia laki-laki yang luar biasa.”
Aku tersenyum sambil memandang orang-orang disekelilingku, namun pandanganku kembali kabur dan aku kembali jatuh tertidur.
***
London Arts Academy, satu tahun kemudian...
“Oh yeah, this is the one and only Song Minho! Congratulations, bud, you get that full scholarship. I envy you.”
“Haha, thanks! And I envy you for your girlfriend.”
“Don’t you dare!”
“I’m just kidding. I have another place to go. See you later.”
Aku berjalan meninggalkan papan pengumuman yang menampilkan namaku sebagai penerima beasiswa penuh institusi ini untuk dua tahun kedepan dan segera menuju tempat favoritku.
Aku memandang anak tangga dihadapanku, setelah berjalan beberapa menit akhirnya aku tiba di depan sebuah pintu. Aku membuka pintu di hadapanku dan tampak sebuah ruang terbuka yang cukup luas. Dari tempat ini kau dapat memperhatikan lingkungan disekitarmu dengan leluasa. Ya, kau dapat melakukannya, sama seperti yang kulakukan satu tahun yang lalu, aku memandang gadis itu dari tempat ini. Dan sekarang aku telah kembali kesini. Nana, aku sangat merindukanmu, apa kau juga merindukanku? Tanyaku dalam hati.
Suara dentingan piano menyadarkanku dari lamunan panjangku. Aku terdiam sejenak dan akhirnya memutuskan untuk kembali sambil mencari sumber suara itu.
Sebuah ruang kecil disamping gedung pertunjukan utama masih tertata dengan rapi. Cat di dindingnya, perabotan di dalamnya, dan sebuah piano tua yang masih menghasilkan suara yang merdu, masih persis sama seperti dalam ingatanku satu tahun yang lalu.
Lalu aku melihat gadis itu sedang duduk di depan piano. Jari-jari lincahnya berlarian kesana kemari di atas tuts-tuts piano. Senyum tersungging di wajahnya. Nana. Gadis itu ada disini. Aku tidak mempercayai penglihatanku sendiri. Aku menatapnya, sesaat dia tersadar dan berbalik menatapku. Mata kami bertemu. Ada keheningan yang seketika tercipta.
“Oh sorry, do I know you?” Tanyanya memecah keheningan.
“Nana?” Aku balik bertanya.
“Ya, dan kau..?”
“Sudah berapa lama kau ada disini? Berapa lama lagi waktu yang kau punya?” Aku bertanya untuk memastikan kalau-kalau dia seorang impersonator sepertiku dulu.
“Tunggu! Kau bisa berbahasa Korea? Siapa kau? Apa maksudmu? Kau mahasiswa baru? Aku sudah disini jauh lebih lama dari...”
Aku mengenal ekspresi itu. Ekspresi yang selalu penuh tanya. Sebelum ia sempat menyelesaikan kata-katanya, aku mendekat dan memeluknya erat.
“Minho?.. Song.. Minho?” Tanyanya ragu-ragu.
Aku menjawab dengan anggukan. Dia masih mengingatku sama seperti aku mengingatnya.
“Tapi bagaimana mungkin? Kau masih hidup?” Nana memandangku dengan tatapan tidak percaya.
“Aku juga ingin menanyakan hal yang sama padamu.”
Untuk sesaat kami melupakan apa yang telah terjadi, kami berpelukan erat untuk melepas kerinduan yang telah lama ada.
“Apa kau ingin aku menceritakan kisahku?” Tanyaku, “Baiklah, tapi kau harus berjanji kau tidak akan berteriak ketakutan, ataupun jatuh pingsan saat mendengarnya.” Aku tersenyum menggodanya.
“Mudah saja, aku tidak akan memercayaimu kalau menurutku ceritamu tidak masuk akal.” Nana berbalik menggodaku dengan senyumnya. Aku tidak merasa keberatan sama sekali.
Selama satu hari penuh kami saling bercanda sambil bertukar cerita. Dimulai dari apa yang terjadi satu tahun yang lalu, hingga saat ini.
“Jadi, Orangtuaku menyuruh Jennie memberitahumu aku sudah meninggal agar kau tidak mencariku lagi?” Matanya terbelalak tidak percaya.
“Hanya itu kemungkinan yang dapat kupikirkan, kecuali.. kau yang tidak ingin bertemu denganku lagi.” Aku menatapnya.
“Kau tahu itu tidak mungkin,” Nana mencubitku sambil tertawa. “Oh ya, dan menurutku kau.. tidak seburuk yang kuduga.”
“Apa maksudmu? Kau mau mengatakan aku buruk rupa?”
“Tidak, tidak, maksudku..”
Aku mencium bibirnya sebelum dia sempat menyelesaikan kata-katanya. Dan sekarang aku menyiapkan telingaku untuk mendengarkan makiannya.