Sudah dua hari ini aku tidak mendengar kabar darinya. Kenapa laki-laki itu tidak mengangkat teleponku, aku menggerutu dalam hati. Pikiran buruk melintas dalam benakku. Apa dia marah padaku? Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya? Bagaimana kalau aku tidak dapat bertemu dengannya lagi? Apa dia sudah menyelesaikan tugasnya? Aku membaca buku itu sampai selesai, dan sejauh yang aku tahu sudah hampir dua bulan aku mengenalnya. Itu berarti sudah tidak banyak waktu yang dia miliki, dan kapan pun dia dapat meninggalkanku. Ah, Seandainya saja dia tahu aku sangat mengkhawatirkannya, sesalku.
Aku berpapasan dengannya saat keluar dari ruangan para pengajar. Aku melihatnya. Dia balas memandangku. Aku terkejut melihatnya menggandeng tangan seorang gadis yang tidak kukenal. Benakku bertanya-tanya, siapa perempuan itu? Mereka saling bercengkrama, lalu dia memeluk gadis itu. Aku seperti berdiri terpaku. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Seketika dadaku rasanya sesak. Aku berusaha menahan air mataku. Jadi begini caramu. Aku mengkhawatirkanmu dan kau malah bersenang-senang dengan gadis itu.
Setelah itu dia kembali memandangku, dan aku melihat perasaan bersalah dalam tatapan matanya. Aku berbalik dan beranjak pergi tanpa menghiraukannya sambil berharap dia akan memanggil namaku. Tapi aku salah. Dia bukan Bobby, dan dia tidak mencintaiku.
“Dimana kunci mobilku?” Tanyaku mengejutkan Jennie, kemarin dia meminjam mobilku untuk pergi bersama kekasihnya.
“Aku meletakkannya di laci mejamu. Kau mau kemana?” Dia balas bertanya.
“Aku perlu menenangkan pikiranku,” Aku melangkah pergi dengan keadaan sangat kacau. Bekas air mata yang mengering masih tergambar jelas di pipiku. Banyak pikiran berkecamuk dalam otakku. Ayah dan ibuku tidak akan mengijinkanku mengemudikan mobil jika melihat keadaanku seperti ini. Tapi kurasa mereka akan baik-baik saja, mereka baru akan tiba disini sore nanti.
***
Aku melihatnya menangis. Aku tidak punya pilihan lain selain melihatnya menangis. Keputusanku sudah bulat untuk tidak menyelesaikan tugasku. Rencanaku berbalik. Aku akan membuat gadis itu membenciku, sehingga akan menjadi lebih mudah baginya untuk melupakanku bila tiba-tiba aku harus meninggalkannya.
Sulit rasanya melihat orang yang kau cintai terluka karena sikapmu terhadapnya. Aku menyukainya, aku menyukai gadis itu. Tapi aku harus menahan egoku, meskipun aku menyesal telah menyakitinya.
Telepon genggamku tiba-tiba berdering. Aku mengangkat teleponku dan mendengar suara seorang perempuan yang berbicara sambil menangis tersedu-sedu. Jennie.
***
Langkah kakiku semakin lama semakin cepat saat aku menyusuri lorong rumah sakit ini. Beberapa kali aku bertanya untuk memastikan aku berada di lorong yang tepat. Sesampainya aku di depan sebuah ruangan bertuliskan “Emergency Room”, aku disambut dengan sebuah ketegangan yang belum dapat kupahami. Aku melihat Jennie sedang menangis di sudut ruang tunggu, dan sepasang pria dan wanita sedang tertunduk lesu menantikan kabar baik dari dalam ruangan itu. Mereka pasti orang tua Nana.
“Apa yang terjadi? Bagaimana dia bisa...?” Aku berusaha bertanya apa yang terjadi. Tetapi tak seorangpun dapat memberikanku jawaban.
Aku berjalan mondar-mandir tak tentu arah. Aku tak ingin kehilangan dia, bukan begini yang seharusnya terjadi, aku memaki diriku sendiri.
Seorang dokter yang masih menggunakan pakaian operasi keluar dari ruangan dan menemui kami.
“Keadaannya kurang baik, dia mengalami cedera kepala yang cukup parah serta mengalami kesulitan bernapas. Kalau dia dapat bertahan dua atau tiga hari lagi, masih ada kemungkinan dia akan selamat.”
Pasti, dia pasti dapat bertahan, kataku dalam hati. Aku tidak dapat membayangkan kehilangan dia.
Dua hari berlalu dan aku masih terus menunggunya, aku masih menunggunya untuk dapat berbicara lagi denganku, menunggu untuk melihat senyumannya, dan menunggu waktu yang tepat untuk meninggalkannya.
“Dia ingin berbicara denganmu,” Jennie menyuruhku masuk. “Berjanjilah padaku, kau akan memperlakukannya dengan baik.”
Aku mengangguk dan beranjak memasuki sebuah ruangan. Aku tiba disebuah ruang perawatan intensif dan menghentikan langkahku tepat di samping tempat tidurnya. Aku melihat wajahnya dengan dahi dibalut perban. Aku melihat selang-selang yang terpasang pada tubuhnya. Serta sebuah monitor yang menampilkan detak jantungnya. Dia memandangku sambil tersenyum. Aku tidak mampu berkata-kata, berulang kali aku hanya mengucapkan kata maaf dan mengatakan aku mencintainya.
“Siapa namamu?” Tanyanya dengan suara pelan.
Aku hanya tertunduk dan tidak menjawab saat dia melanjutkan pertanyaannya,
“Aku tidak bertanya siapa kau, apakah kau seorang impersonator, aku bertanya siapa namamu.”
Aku sangat terkejut dengan pertanyaannya namun akhirnya aku menjawab, “Minho, namaku Song Min Ho.”
“Akhirnya aku tahu namamu. Setidaknya aku akan dapat mengingatmu saat kau tidak ada,” Sahutnya sambil tersenyum.
Kata-katanya membuat air mataku tak terbendung lagi. Dia tahu siapa aku, tapi sejak kapan, dan kenapa dia tidak mengatakan apa-apa.
“Apa yang dapat kulakukan untuk membantumu?” Nana bertanya lagi.
“Kau tidak perlu melakukan apa-apa. Tapi.. apa kau mau menikah denganku?”
Nana menatapku. Aku tahu ini tiba-tiba, tetapi aku ingin melamarnya, bukan untuk Bobby tetapi untuk diriku sendiri.
“Ya, Aku mau. Aku menyukaimu, Song Minho.”
Bersamaan dengan kata-kata terakhirnya, detak jantungnya tak terdengar lagi. Para dokter dan perawat berlarian berpacu dengan waktu untuk menyelamatkannya.
“Apa yang kau lakukan pada Nana? Kenapa kau melakukan ini? Kenapa kau membiarkannya pergi? Aku tidak ingin melihatmu lagi!”
Kemarahan mereka mengusirku dari ruangan itu. Aku berjalan keluar lorong rumah sakit dengan perasaan sangat sedih. Setiap langkah yang kuambil terasa goyah. Aku tidak menyangka Nana tahu sebanyak ini tentangku, dan dia menyukaiku. Aku menyesal. Tetapi semua sudah terlambat. Aku mungkin akan kehilangan dia selamanya.
***
Sudah satu hari aku mengurung diri dalam kamarku. Aku membereskan semua barang-barangku. Semua peralatan elektronik, buku-buku, sampai telepon genggam dan dompet yang biasa kugunakan. Aku berniat menyingkirkan semua kenangan tentangku dari tempat ini.
Sambil membersihkan semuanya, aku menemukan selembar foto. Fotoku bersama Nana. Mungkin ini satu-satunya foto kami bersama. Aku tidak akan pernah melupakannya, meskipun dia telah meninggalkanku. Ya, kemarin aku mendapat pesan singkat kalau dia telah pergi untuk selamanya. Hatiku hancur mendengarnya.
Dan sekarang sudah waktunya aku meninggalkan tempat ini.