“Hey, Bobby! Someone’s looking for you!”
“Where?”
“I’m not sure. But she’s here.. until ten minutes ago.”
Aku tidak menghiraukannya dan berlalu pergi sambil memikirkan rencanaku berikutnya. Aku tahu Nana sudah tidak marah padaku. Dia sudah dapat menerima keberadaanku. Namun tetap saja, dalam sisa waktuku yang kurang dari satu bulan aku harus melamarnya dan mendapat jawaban “ya,” suatu hal yang hampir mustahil dapat kulakukan.
Langkahku terhenti setelah melihat sosok yang kukenal. Nana sedang duduk melamun seorang diri di bangku taman. Raut wajahnya tidak menunjukkan keceriaan seperti yang ditunjukkannya saat pertunjukan siang tadi. Raut wajahnya dipenuhi kebingungan.
“Hai, kau mencariku?” Perkataanku yang tiba-tiba sangat mengejutkannya.
“Oh, tidak, aku hanya..” Sepertinya gadis itu ingin mengatakan sesuatu.
“Kau merindukanku?” Pertanyaanku membuatnya semakin terbelalak tak percaya.
Dia memperhatikanku dengan sangat seksama lalu kemudian dia berkata, “Hanya karena kita telah berbaikan tidak berarti aku akan merindukanmu.” Nada jengkelnya sedikit menggodaku.
“Baiklah nona cantik, kau tidak perlu merindukanku tetapi kau juga tak perlu menekuk wajahmu seperti itu,” Kata-kataku berhasil menyunggingkan senyum diwajahnya. Aku tahu kau masih mencintai Bobby, kataku dalam hati. Ada perasaan senang tetapi sekaligus sedih di dalam hatiku.
Kami berbicara dan bercanda sampai malam tiba dan akhirnya berpisah. Sekembalinya aku ke dalam kamarku, James kembali menghujaniku dengan ocehannya.
“Have you met her?”
“Why?”
“I know you had! See? You’re smiling! I see you’re so happy everytime you meet her.”
“You’re wrong.”
“You’re falling for her. Watchout! There’s a boy falling in love in this room!”
“Hey you, shut up!”
Aku melemparkan bantal ke arahnya dan menarik selimut menutupi tubuhku. Sambil berbaring, aku memikirkannya. Aku menyukainya? Tidak, tidak, aku hanya melakukan tugasku.
***
Kau tahu, perasaan paling tidak menyenangkan bagiku adalah saat aku menyimpan rasa penasaran tetapi tidak dapat menanyakan langsung kepada orang yang dimaksud.
Aku sedang duduk di bangku taman sambil membiarkan pikiranku melayang dengan bebas saat tiba-tiba dia menyapaku. Aku sangat terkejut. Tanganku gemetar dan mulutku membeku saat aku memikirkan kalau-kalau yang kubaca tentang dirinya adalah benar. Siapa dia sebenarnya?
Ketidaksanggupanku menanyakan identitasnya membawaku lebih jauh mengenalnya. Kami bercengkrama sepanjang sore. Walaupun ada perasaan takut yang tidak masuk akal dalam diriku, tapi pada akhirnya aku menyadari dia tidak menyeramkan seperti yang kubaca, dia hanya seorang laki-laki biasa. Dan semakin aku mengenalnya, semakin dia tidak tampak seperti Bobby.
Mulai dari sifat dan sikapnya, kepribadiannya, cara berbicara, cara berjalan, cara dia menatapku, dia menggunakan caranya sendiri. Kau ini aneh, bagaimana kau dapat meniru seseorang kalau kau tidak mempelajari kepribadiannya, kata-kataku tertahan di dalam hati.
“Kau melamun lagi!” Seruan Jennie lagi-lagi mengejutkanku.
“Bisakah kau berhenti mengejutkanku? Aku bisa jantungan kalau kau terus melakukan ini.” Jawabku bernada kesal.
“Kau yang seharusnya berhenti melamun. Melamun tidak akan menyelesaikan tugas-tugasmu,” Serunya sambil menunjuk ke arah mejaku.
Aku memandang setumpuk kertas berisi tugas-tugasku yang seharusnya sudah kuselesaikan sejak tadi sore. Namun karena pikiranku sedang kacau, aku urung mengerjakannya. Beginilah akibatnya, mungkin malam ini aku terpaksa kurang tidur.
“Kau pasti menyukainya, Bobby, laki-laki itu, ya, kau pasti menyukainya.”
“Berhenti menggodaku, atau aku akan menjodohkannya denganmu.”
“Kau yakin? Menurutku dia lumayan. Kau tidak akan menyesal?”
“Aku.. tidak.. “
“Kena kau!” Jennie tertawa terbahak-bahak.
Penghapusku melayang dan mendarat tepat di dahinya dan seketika dia berhenti tertawa, Jennie menunjukkan wajah kesal yang dibuat-buat, lalu masuk kedalam selimutku. Aku tidak menghiraukannya, aku mengambil alat tulis lalu mulai mengerjakan tugasku.
Aku menyukainya? Tidak, tidak, aku hanya merasa penasaran. Hanya itu.
***
Dua minggu kemudian...
Sial. Pagi ini aku terlambat bangun. Alarmku memutuskan untuk tidak membangunkanku hari ini. Menyebalkan sekali, aku akan menggantimu sepulang kuliah nanti.
Sir Nichols adalah seorang yang sangat taat aturan. Dia tidak akan membiarkan siswa yang terlambat masuk ke kelas dan mengikuti pelajarannya. Sebelum aku dimaki di hadapan seisi kelas, aku memutuskan untuk berbalik dan tidak melanjutkan langkahku menuju ruang kelas. Aku menaiki tangga yang terletak beseberangan dengan sebuah pintu menuju sebuah ruang kecil tempat dulu aku biasa melihat Nana memainkan pianonya. Tak banyak yang tahu ada sebuah ruangan di bawah tangga itu, dulu aku menggunakan ruang itu untuk bersembunyi sambil memperhatikan Nana berlatih piano. Sekarang aku sudah tidak melakukannya lagi, karena kami sudah tidak lagi bermain petak umpet seperti anak kecil.
Pertemuanku dengan Nana menjadi semakin sering, baik sengaja maupun tidak sengaja. Dalam sebagian besar pertemuan kami, bukan dia yang pertama mencariku, tetapi aku yang pertama mencarinya. Semakin aku mengenalnya semakin aku menyadari dia adalah sosok yang ramah dan menyenangkan, setidaknya sampai sebelum Bobby meninggalkannya.
Kami bahkan sering bertukar pesan singkat. Dan dari isi pesan singkat kami aku merasa Nana masih menyimpan perasaan pada kekasihnya ini. Ada perasaan tidak nyaman yang kurasakan sekarang. Entahlah. Mungkin aku cemburu pada kekasihnya.
Rasanya tangga-tangga ini tidak ada habisnya. Aku kelelahan sesaat setelah mencapai pintu menuju atap gedung. Beberapa hari ini kondisi fisikku semakin tidak baik, aku menjadi mudah lelah, perasaanku pun menjadi sangat tidak menentu. Mungkin ini suatu pertanda.
“Ahh segarnya!” Aku menghirup udara yang ada di hadapanku dalam-dalam. Sambil merenung, aku teringat pada mimpiku semalam. Aku bermimpi ada disebuah ruangan sempit tanpa udara. Rasanya sesak dan sangat sulit untuk bernapas. Ada kesunyian yang mencekam, tidak ada suara, dan aku hanya bisa mencium aroma wewangian yang dibalurkan pada tubuhku. Dari sebuah jendela kaca aku dapat melihat Nana sedang berdiri bersandar pada dinding sambil menangis, dia berusaha menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Dihadapannya terdapat sebuah foto, aku tidak yakin siapa yang ada di dalam foto itu. Sebelum aku sempat mendekatinya, aku terbangun dari tidurku.
Perasaan sedih seketika melandaku. Namun aku tidak mau berlarut-larut. Aku harus menyelesaikan apa yang harus ku selesaikan. Aku harus melamarnya.
Aku memikirkan segala kemungkinan yang dapat terjadi. Jika Nana menolak lamaranku, untuk mempertahankan gengsiku aku akan mengatakan padanya aku hanya bercanda... tetapi tetap saja itu artinya aku telah gagal, dan jika Nana menerima lamaranku, tidak, gadis itu pasti gila jika dia menerimanya, kami baru saja berkenalan. Tapi tunggu dulu, jika.. hanya jika dia menerimanya artinya tugasku berhasil.. lalu aku akan pergi begitu saja... aku akan menghilang ditengah kebahagiaannya.. dan aku akan menghancurkan hatinya lagi. Keraguan menghampiriku. Apa yang harus kulakukan?