Dua bulan berlalu, aku hanya memiliki sisa waktu satu bulan lagi. Sejak satu bulan yang lalu, hal yang dapat kulakukan hanya memandanginya dari kejauhan, tepatnya sejak aku melihatnya menangis di gedung pertunjukan musik. Aku berusaha untuk tidak berpapasan dengannya, aku selalu bersembunyi. Aku tidak ingin mengorek luka lama itu lagi. Dia telah mengalami banyak hal menyedihkan, mungkin aku hanya harus bersabar. Entah sampai kapan.
Aku melihat kalender yang tergantung di dinding kamarku. Hari ini adalah hari pertunjukan amal kampus kami. Aku memikirkannya sejak semalam apakah aku akan datang atau tidak, apakah Nana akan terkejut saat melihatku, apakah sikapnya akan tetap dingin seperti sebelumnya, terlalu banyak pikiran berkecamuk di dalam benakku. Ah, wanita memang selalu rumit. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku berusaha mendekati seorang gadis.. ya, mungkin aku lelah karena terlalu sering menjadi orang lain, hingga aku melupakan diriku sendiri..
Aku memutuskan untuk datang. Aku akan menemuinya, bukan sebagai kekasihnya tetapi sebagai diriku sendiri. Setidaknya kalau aku akan gagal dalam tugas terakhirku, aku akan menikmati sisa hidupku sebagai diriku sendiri, bukan sebagai orang lain.
Tak lama setelah aku duduk di bangku penonton, mata kami beradu. Tiba-tiba aku merasakan jantungku berdebar-debar. Aku tersenyum dan memberinya semangat, dia membalasku dengan tersenyum. Untuk sesaat aku tidak tahu apa yang sedang terjadi.
***
Mungkin dia masih peduli kepadaku. Tidak, maksudku mungkin dia masih peduli pada kekasihnya. Aku bergumam dalam hati.
“Hai,” Sebuah suara yang kukenal menyapaku.
“Pertunjukan yang luar biasa! Kau benar-benar hebat!”
“Kau berlebihan,” sahutnya, “Terima kasih kau mau datang.”
Suasana membingungkan masih menyelimuti kami.
“Aku.. minta maaf. Hari itu aku terlalu berlebihan. Mungkin karena aku terlalu terkejut melihatmu. Aku bahkan tidak mengenalmu.” Pintanya penuh penyesalan.
“Baiklah, aku akan memaafkanmu tetapi dengan satu syarat, kita harus berkenalan. Kenalkan, namaku Bobby,” Sahutku sambil tersenyum usil.
“Baiklah, setidaknya aku bisa memanggilmu Bobby. Meskipun aku tidak sepenuhnya mempercayaimu,” dia membalas senyumanku.
“Here you are! We’ve been looking for you anywhere!” Seorang teman Nana yang kukenali sebagai pemain biola pada pertunjukkan tadi datang menghampiri kami.
“Sorry. Shall we go now?”
“We’re going to the book store, are you coming with us?”
“No, I’m fine. I’ll see you later.” Sahutku memberi jawaban. Aku merasa tidak enak badan dan memutuskan untuk kembali ke dormitoryku.
***
Aku bukan seorang kutu buku. Aku lebih senang bermain musik daripada membaca buku untuk mengisi waktu senggangku. Hari ini pun aku terpaksa menepati janji pada temanku untuk menemaninya ke toko buku, sebagai ganti alasan-alasan yang kuberikan untuk tidak mengikuti pelajaran di kelas.
“I’m coming this way. Let’s meet here in one hour, okay?”
Kami berpisah karena aku bukan penyuka sastra. Belajar sastra dalam bahasaku sendiri sudah cukup sulit, aku tidak ingin menambah beban otakku dengan belajar sastra Bahasa Inggris. Tidak, tidak. Aku lebih memilih melihat-lihat tumpukan buku-buku dengan genre non-fiksi. Sesaat mataku memindai kalau-kalau ada buku yang menarik perhatianku. Dan disanalah buku itu berada, diatas sebuah rak tua berwarna cokelat yang hampir tertutup seluruhnya oleh debu. Mungkin buku-buku di rak ini bukan favorit pembeli. Aku bergumam dalam hati.
Buku itu berjudul THE IMPERSONATOR. Pada sampul buku itu tergambar sesosok bayangan menyerupai manusia tetapi bersayap seperti malaikat dan di bawah kakinya terdapat tumpukan topeng berwajah manusia. Aku melihat halaman terakhir buku itu untuk membaca ringkasan ceritanya. Satu kalimat yang menyentak dalam benakku.
“Pernahkan kau bertemu dengan seseorang yang sudah meninggal? Mungkin itu dia! Kau bertemu sang Impersonator.”
Aku terkejut dengan apa yang kubaca, hingga akhirnya aku memutuskan untuk membeli buku itu. Sepanjang perjalanan pulang aku terus memikirkannya.
Aku membaca buku itu dengan sangat seksama, setiap halaman, setiap lembarnya, aku memastikan tidak melewatkan informasi apapun. Semakin banyak aku membaca aku semakin yakin Bobby adalah seorang impersonator. Aku tak tahu siapa nama aslinya, aku tahu apa yang dikerjakannya. Dia berusaha menyelesaikan keinginan Bobby. Tapi apa?
“Seorang impersonator tidak dapat menyatakan dirinya di hadapan orang lain.”
Saat itu aku menyadari mustahil bagiku untuk menanyakan apakah dia benar-benar seorang impersonator. Aku bingung. Sangat bingung. Apa yang harus kulakukan?
***
Perasaanku tidak enak. Jantungku berdetak sangat cepat. Sepertinya aku tidak dapat bertahan lebih lama lagi.