Aku tidak dapat tertidur. Kepalaku rasanya sakit, perasaanku pun tidak menentu. Semua karena gadis itu. Aku teringat pada raut wajahnya saat aku mengatakan kepadanya bahwa aku adalah kekasihnya. Dia menatapku dengan penuh tanda tanya. Semua tergambar jelas pada ekspresi matanya yang terbelalak saat menatapku. Namun tetap saja dia tidak menghiraukanku dan berlalu begitu saja.
Mungkin dia butuh waktu, begitu kataku dalam hati. Bagaimana kalau besok aku berpapasan dengannya? Apa dia akan memarahiku? Apa dia akan memperhatikanku? Apa dia tidak akan peduli dengan apa yang terjadi? Atau dia akan berpura-pura aku tidak ada? Sebaiknya aku mencoba untuk tertidur, sebelum aku semakin memikirkanya.
***
“See?! Orang yang aku lihat bener dia kan? And he’s.. pretty much alive,” ocehan Jennie tak berakhir bahkan setelah kami tiba di dormitory. Malam ini Jennie akan menginap di kamarku.
“Tapi ga mungkin, ini ga masuk akal. There’s no way this is happening...” Aku masih berusaha menyangkalnya.
“Terkadang hal yang paling tidak masuk akal bisa jadi hal yang paling membahagiakan loh,” Sahut Jennie sambil tersenyum usil dari balik selimut yang menutupi tubuhnya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.
Aku membuka dompetku. Sebuah dompet kulit berwarna cokelat terang, hadiah pemberian Bobby pada hari ulang tahunku. Didalamnya terdapat banyak kenangan kami bersama. Foto-foto yang nampak lusuh tidak terawat masih selalu menyegarkan ingatanku akan senyumnya yang menawan. Meskipun berulang kali aku berniat membuang semua foto itu namun pada akhirnya aku masih belum sanggup melakukannya.
Aku memandang wajah yang ada pada foto dalam genggamanku. Wajah yang sama dengan wajah lelaki yang memandangku di pesta itu satu jam yang lalu. Bagaimana mungkin ada orang yang sama persis denganmu? Pikirku dalam hati. Sambil memandanginya, tanpa sadar aku terlelap dan untuk pertama kalinya sejak aku berada di tempat ini, aku tidak memimpikannya.
***
Matahari pagi menyapaku saat aku baru saja melangkahkan kakiku keluar dari dormitory dan berjalan menuju gedung seni pertunjukan musik. Suasana hari ini sangat sepi, libur musim panas dimulai hari ini. Sebagian mahasiswa sedang berlibur, sementara aku yang tidak mempunyai tempat tujuan berlibur, memutuskan untuk berlatih piano untuk pertunjukan amal kami bulan depan.
Aku sedang memainkan piano disebuah ruangan disamping gedung pertunjukan utama saat seorang laki-laki tiba-tiba saja masuk. Bobby. Tidak, dia bukan Bobby. Bagaimana dia bisa tahu aku ada disini? Apa dia mengikutiku? Pikiran buruk seketika melandaku. Laki-laki itu sepertinya memahami rasa takutku.
“Aku.. sedang berada di atap gedung ini dan samar-samar kudengar seseorang bermain piano, lalu.. aku.. berusaha mencari tahu,” Sahutnya berusaha menjelaskan keberadaannya.
“Aku tidak tahu siapa kau dan aku tidak peduli apa yang kau lakukan! Asal kau tahu, kau tidak akan pernah menjadi Bobby! Dia sudah meninggal setahun yang lalu... dan sekarang.. aku sangat membencinya..” Suaraku bergetar, nada suaraku semakin meninggi. Aku berusaha menahan air mata yang akan mengalir. Aku melihat laki-laki itu melangkah mendekatiku.
“Jangan dekati aku!” Seruku.
Kemudian dia berhenti mendekat. Aku membereskan barang-barangku dan hendak meninggalkan ruangan itu saat dia memanggilku.
“Nana. Tunggu dulu. Kau membutuhkan tempat ini. Aku yang seharusnya pergi. Maaf aku telah mengganggumu.”
Aku yang seharusnya pergi...
Kata-kata itu terus terngiang dibenakku hingga rasanya sangat menyesakkan. Aku memandangnya berlalu meninggalkanku seorang diri. Air mataku pun jatuh tak tertahankan. Jauh didalam hatiku aku merindukannya.
***
Satu bulan berlalu dan aku tidak lagi melihat keberadaannya di sekitarku, tapi perasaanku mengatakan dia selalu mengawasiku. Aku sadar sikapku kepadanya terlalu berlebihan. Aku merasakan sakit hati yang luar biasa saat Bobby meninggalkanku, mungkin itulah mengapa aku melampiaskannya kembali pada laki-laki itu.
“Hey! Ngelamun aja daritadi. Mikirin siapa sih?” Jennie menggodaku.
Aku tidak menjawabnya.
“I knew it! You’re thinking about him?”
“What? Him? Why? No..”
“See! You’re smiling.”
“I think I wasn’t supposed to say that.”
“Then go! Apologize to him!”
“I don’t even know where he is.”
Hari ini adalah hari pertunjukan amal kami. Ada sebagian dari diriku yang mengharapkan dirinya untuk datang. Pertunjukan kami hampir dimulai dan saat harapan itu mulai menghilang, aku melihat sosoknya di bangku penonton. Aku tidak mempercayai apa yang kulihat. Dia tersenyum memandangku dan aku bisa membaca gerak bibirnya dengan jelas, dia berkata, “Semangat Nana, kau pasti bisa,” sambil mengacungkan kedua ibu jarinya.
Aku membalas senyumnya dan untuk pertama kali sejak bertemu dengannya aku ingin mengenalnya.