“Aaahh hujan! Kenapa tiba-tiba hujan? Musim yang sangat tidak menentu!” gerutu gadis itu.
“Aku membawa payung, kau mau meminjam?” aku tergerak menawarkan bantuan.
Gadis itu menoleh mendengar suara di belakangnya, “Apa? Siapa kau.. Bo..Bob.. Bobby?” suaranya tergagap. Sesaat kemudian suasana berubah menjadi sunyi. Hanya suara hujan menjadi pengiring saat aku berulang kali memanggil namanya. Namun tidak ada jawaban. Gadis itu tidak sadarkan diri dalam dekapanku.
Bukan hal yang aneh bagiku melihat seseorang tidak sadarkan diri setelah melihat rupaku. Seseorang yang kau yakin telah dimakamkan seketika muncul dihadapanmu. Sebagian orang menganggapku hantu, sebagian lagi menganggap dirinya berhalusinasi saat melihatku. Terserah apa tanggapanmu tetapi hari ini jelas bukan hari yang terburuk.
Aku pernah merasakan dimaki, dipukul, dilempar menggunakan sepatu, meja, kursi, bahkan garam saat tiba-tiba muncul di rumah seorang ayah yang kehilangan anak tunggalnya. Itulah mengapa sebagian besar pekerjaanku harus dikerjakan secara diam-diam, untuk menghindari kau berteriak ketakutan bila suatu hari kau bertemu denganku. Pekerjaan yang sangat menarik, bukan?
***
“Nana.. Nana.. kau sudah sadar? Kau bisa mendengarku?” suara Jennie samar-samar membangunkanku. “Apa kau baik-baik saja?”
“Ya, kurasa aku baik-baik saja. Mungkin aku hanya terlalu lelah...” suaraku tertahan saat aku mengingat pertemuanku dengan Bobby. Apakah ini nyata, atau benar-benar hanya halusinasiku.
Aku memandang ke sekeliling ruangan berusaha mencari lelaki itu, namun aku tidak dapat menemukannya. Ya, mungkin aku terlalu merindukannya sampai aku berhalusinasi.
“Ayo, kuantar kau kembali ke kamarmu.”
“Berapa lama aku tidak sadarkan diri?”
“Tidak lama. Sekitar satu jam. Mereka bilang seorang laki-laki membawamu kemari.”
“Laki-laki?...”
“Apa yang kau lakukan ditengah hujan? Kau tidak sengaja melakukannya untuk membuatku khawatir bukan?”
Aku tidak menjawab dan hanya tersenyum kepada sahabatku ini. Kami keluar dari ruang kesehatan dan berjalan di sepanjang koridor menuju dormitory sambil terus berpikir. Saat sesosok bayangan menghentikan langkahku.
“Tunggu, kurasa aku melihat sesuatu.”
“Apa? Dimana?”
“Dibelakang kita, dia mengawasi kita. Sama seperti yang dia lakukan kepadaku, dia mengawasiku.”
“Kau sangat aneh hari ini. Aku tidak yakin dengan ucapanmu. Sepertinya kau memang terlalu lelah.”
Jennie mendorong tubuhku dan memaksaku mengikuti langkahnya, aku tidak mampu berkutik. Oh, Nana, apa yang telah terjadi padamu hari ini.
***
Aku merebahkan tubuhku di ranjang dengan perasaan bingung. Aku hampir tertangkap sedang mengikuti mereka. Gadis itu sangat peka, pikirku dalam hati. Ini tidak masuk akal, bagaimana caranya aku dapat bertemu dengannya lagi dan mengatakan bahwa aku adalah Bobby, kekasihnya. Dia akan berteriak memakiku, melempariku dengan barang, atau bahkan lebih buruk dia akan jatuh tidak sadarkan diri saat melihatku.
“Hey, Bob, are you coming tomorrow?” suara James membuyarkan lamunanku.
“What? Tomorrow?... Aah.. I forgot.. the mask party. Sorry, I don’t think I’m coming.”
“Why? Oh come on, you’re gonna wear a costume, you’re gonna wear a mask, noone’s gonna realize that’s you. You can talk to anyone you want.”
“You’re not cheating your girlfriend, right?”
“How dare you! I’m not that kind of man.”
Pesta topeng yang diadakan kampus kami merupakan acara tahunan untuk semua mahasiswa. Syarat mengikuti pesta ini sangat mudah kau hanya harus menggunakan topeng. Tunggu.. menggunakan topeng.. kalau aku menggunakan topeng, mungkin aku akan dapat berbicara dengan Nana tanpa membuatnya ketakukan atau jatuh pingsan. Mungkin aku perlu mencobanya.
“I’m coming tomorrow.”
“You’re weird man. You’re hiding something.”
Aku tidak berniat menjawab dan hendak kabur sebelum dia bertanya semakin jauh saat tiba-tiba James melingkarkan lengannya yang kekar di leherku serta kakinya mengunci tubuhku sehingga aku tidak dapat bergerak.
“Okay, okay, I’m telling you. Let me go first.”
James melepaskan tubuhku dan aku mulai bercerita. Aku menceritakan pertemuanku dengan gadis itu, bagaimana dia ketakutan melihatku, tentu saja aku tidak menceritakan siapa aku. Kalau aku menceritakannya, James adalah orang berikutnya yang akan berteriak ketakutan.
“Do you really know her?” tanya James di akhir pembicaraan kami
“I can’t even get close to her.” Aku membela diri.
“Have you ever heard about social media?” James menertawakanku.
Pertanyaan terakhir James membuatku merasa menjadi orang yang sangat primitif. Aku menjitak kepalanya dan sesaat kemudian mulai masuk kedalam kesibukanku di depan laptop. Aku mencari segalanya tentang gadis itu, tanggal lahirnya, makanan kesukaannya, warna kesukaannya, kegiatan favoritnya dan segala sesuatu tentang Bobby. Sejenak aku tersadar ini pertama kalinya aku berusaha sekeras ini untuk menjadi orang lain.
***
Bagaimana aku dapat menemukannya? Ruangan ini berisi ratusan orang. Ratusan gadis berpakaian pesta dengan topeng menutupi wajahnya. Seharusnya aku melupakan ide ini sebelum aku terjebak di lautan manusia seperti ini, namun sudah terlambat. Aku mengamati keadaan sekitarku, mengamati setiap orang yang sedang bercengkrama sambil memegang gelas minuman ditangannya, mengamati setiap orang yang sedang menari ditengah lantai dansa, mengamati setiap postur dan gerak tubuh orang-orang yang berlalu-lalang.
“Hey, miss, be careful!” di ujung ruangan tampak seorang gadis yang tersandung kaki seorang pria.
“Oh, I’m so sorry,” jawab gadis itu sambil membungkukkan badan.
Aku rasa aku mengenal suara itu dan gerak tubuh itu. Aku memutuskan untuk mengikutinya. Tidak ada salahnya, siapa tahu perasaanku benar. Langkahku terhenti oleh sebuah pintu dihadapanku. Ada sebuah tulisan di pintu itu : Ladies Restroom. Aku menempelkan telingaku ke pintu dan berharap dapat mencuri dengar pembicaraan dari dalam. Aku pasti terlihat sangat menjijikan sekarang, menguping pembicaraan di toilet wanita.
“Oh God, that guy is so hot! You see him, right?”
“Oh, that one tackling me with his legs.”
“He wants to know you.”
“You’re so funny.”
“Nanaaa I’m so serious. Why don’t you go asking for his name?”
“Why don’t you?”
Suara tawa terdengar dari dalam. Itu dia. Itu pasti Nana. Pintu toilet terbuka tiba-tiba dan sangat mengejutkanku. Dua orang gadis keluar dan aku melihatnya. Mereka balas menatapku, namun beruntung sepertinya mereka tidak menyadari apa yang kulakukan. Aku memutuskan untuk menarik tangan Nana dan membawanya ke sudut ruangan yang sepi.
“Hei, hei, apa-apaan sih?” seru Nana sambil berusaha melepaskan tanganku. “Kamu siapa? Ngapain sih.. “ kata-katanya terhenti saat dia menyadari siapa aku.
“Sstt... Aku cuma mau kamu dengerin aku,” aku mendekapnya sebelum dia sempat berteriak dan aku berbisik kepadanya. “Aku Bobby, Na. Pacar kamu.”