Seoul University Hospital, South Korea.
Disanalah dia berbaring, lelaki yang telah mengisi hari-hariku selama tiga tahun ini. Ditengah riuhnya suasana tempat ini, suara tangisan yang menyayat hati, suara orang-orang memanggil namanya dan suara langkah para dokter yang berpacu dengan waktu, hanya satu suara yang tidak terdengar, suara detak jantungnya. Mungkin beginilah dia akan mati.
”Bobby! Bobby! Jangan tinggalkan aku!” Itulah kalimat terakhirku saat dokter menyatakan mereka tidak dapat menyelamatkan orang yang kucintai. Lalu semuanya berubah gelap dan aku kehilangan kesadaranku.
***
London Arts Academy, England. Satu tahun kemudian..
“Nana.. where are you going?”
“I beg your pardon sir but I need to go to the restroom,” Aku beralasan setiap kali aku bosan mengikuti suatu kelas.
“Nana! How dare you leaving me on that class alone!” Sebuah suara yang sangat kukenal memakiku saat aku baru beranjak beberapa langkah di depan ruang kelas. “Kalo mau cabut ajak-ajak dong.”
Aku hanya membalasnya dengan tertawa. Dia sahabat baikku, namanya Jennie. Kami bertemu dan menjadi dekat karena kami sama-sama mencintai musik. Tempat ini, London Arts Academy adalah tempat pilihanku untuk melanjutkan studiku, sekaligus tempat yang kupilih untuk melupakan masa laluku.
Sudah satu tahun sejak kepergiannya dan aku masih belum dapat melupakannya. Aku masih selalu memimpikannya. Mungkin kalau dia masih hidup, kami sudah menikah sekarang. Ya, Bobby mengalami kecelakaan saat mendaki gunung dua hari sebelum dia berencana melamarku. Aku sudah memintanya untuk tidak pergi, tetapi dia tidak mendengarkanku. Menyedihkan bukan? Air mataku masih sering tak tertahankan saat teringat padanya.
“By the way, Na, I saw him! Orang yang ada di foto di dompet kamu! Bobby!” Aku sedang melamun saat tiba-tiba seruan Jennie mengejutkanku.
“Tidak mungkin. You get it wrong. He’s dead. Dia ga punya adik atau kembaran. Bobby ga mungkin ada disini,” sahutku meyakinkan Jennie kalau yang dia lihat bukan Bobby, meskipun dalam hati aku berharap dapat bertemu dengannya lagi.
“No! It’s him! I’m sure!”
Aku hanya terdiam sambil terus berjalan dan kembali masuk kedalam lamunanku.
***
Hangatnya cahaya matahari yang masuk melalui celah jendela kamarku memaksaku untuk membuka mata.
“Good morning.”
“I’m hungry, let’s make some breakfast!”
“You do it. I’m getting back to sleep.”
“Ok, but don’t get angry if your egg got burnt.”
Kata-kata James memaksaku untuk bangun dan bergegas menuju dapur dormitory kami sebelum dia menghancurkan sarapan pagiku. Kami adalah teman sekamar di dormitory ini. Don’t get me wrong, he is straight and so am I. He even has a girlfriend.
“What are you doing today?” tanyanya penuh semangat.
“Classes.. practice room.. the rooftop..?” jawabku sambil berpikir.
“You’re weird. I’m not asking where are you going!” sahut James sambil memukul kepalaku. Aku tahu dia hanya berusaha bercanda, tapi entah mengapa perasaanku sedang tidak baik hari ini dan mengakibatkan wajah tampanku menjadi murung.
“You’re looking for that girl again, aren’t you?”
“Ya, sepertinya begitu,” jawabku dengan bahasa yang mungkin dia tidak mengerti.
“Who is that girl anyway? Why are you trying so hard to find her? Hey man, there’s so many hot girls around here. It doesn’t have to be her, right?”
Aku hanya terdiam dan tidak berminat menjawab pertanyaannya. Nana adalah tugas terakhirku, kataku dalam hati.
Namaku Bobby, tidak, nama asliku Minho, Song Minho. Kau dapat menyebutku impersonator soul. Sebagai impersonator soul, tugasku adalah menyelesaikan pekerjaan orang-orang yang sudah meninggal, yang belum terlaksana, agar mereka tidak mengganggu kehidupan di dunia. Tidak semua orang dapat kutolong dan tidak semua pekerjaan dapat kuselesaikan, hanya pekerjaan yang membawa kebaikan bagi banyak orang. Sebagai info yang membanggakan, aku pernah menyelamatkan sebuah perusahaan dari ancaman kebangkrutan saat sang direktur meninggal dunia. Pekerjaan yang sangat mulia, meskipun saat itu aku harus berubah menjadi seorang kakek tua dengan penyakit parkinson.
Tidak terhitung sudah berapa kali aku berganti rupa. Setiap rupa hanya bertahan maksimal tiga bulan dan setelah itu aku akan menghilang begitu saja. Dalam waktu tiga bulan aku harus menyelesaikan apa yang harus mereka selesaikan. Sudah lima tahun, sebentar lagi akan berakhir. Sebentar lagi aku akan terbebas. Seandainya perempuan ini lebih mudah ditemukan. Ingatanku melayang pada percakapan satu bulan yang lalu.
“Kenapa harus dia? Kenapa aku harus bantu laki-laki itu? Apa kau tidak tahu betapa sulitnya harus menjadi orang lain, mendekati seorang perempuan, dan dalam waktu tiga bulan memintanya menjadi istrimu? Tugas ini terlalu sulit.” Tanyaku protes.
“Kalau kau memutuskan menolak, usahamu selama hampir lima tahun ini akan sia-sia dan kau tidak dapat kembali dengan alasan apapun,” kata-kata penuh wibawa dari seseorang yang sangat berkuasa. Aku tidak mampu melawannya meskipun aku berharap mendapatkan tugas yang lebih ringan.
Sudah satu bulan sejak aku berada di tempat ini, London Arts Academy. Dari atap gedung seni pertunjukan musik ini aku memandang lingkungan sekitar kampus sambil berharap dapat menemukannya. Namun sia-sia. Sejauh mata memandang yang tampak hanya sebuah taman di seberang gedung ini dengan jalanan disekitarnya yang relatif sepi. “Ini tidak biasanya,” pikirku dalam hati. Aku memilih tempat ini untuk mengamati keadaan sekitarku. Pada hari-hari biasa taman di seberang gedung ini akan selalu ramai, tempat itu adalah tempat favorit mahasiswa di kampus ini.
“Nana! What are you doing tonight? Exam is over, let’s have a party with us.” Sebuah suara samar-samar memaksaku untuk berbalik dan mengurungkan niatku untuk beranjak pergi.
“Sorry but I skip. I think I need some rest,” jawab gadis itu.
“Oh come on. For this once only,” sahut temannya memaksa.
“No, but thanks for inviting me,” gadis itu mengakhiri percakapan dan beranjak pergi.
Tanpa sadar aku mengikutinya. Mengikuti setiap langkah yang diambilnya. Ada perasaan lega sekaligus tidak percaya pada diriku. Aku menemukannya. Aku menemukan gadis itu.