◑∞⚢
A YEAR LATER
Author’s POV
Boseong, Jeollanam
Perjalanan panjang menuju Boseong ditempuh oleh seorang yeoja berambut pendek, berpakaian casual bermodal sebuah tas selempang dengan sedikit barang di dalamnya. Terjadi keterlambatan pemberangkatan karena beberapa masalah pada terminal bus yang tiba-tiba saja terjadi. Sehingga gadis itu harus bersapa dengan bulan yang sudah berada tinggi didampingi oleh bintang-bintang yang bersinar samar, sebagian mulai menghilang karena awan mendung menyelimuti Boseong malam itu.
Bae Yoobin nama gadis itu. Ia menghela nafas begitu menginjakkan kaki di atas tanah Boseong. Pemandangan indah kebun teh dengan udara dingin menyapa Binnie, begitu yeoja itu biasa disapa. Ia tidak memiliki keluarga yang masih tinggal disana ataupun seorang teman yang ia kenali. Ia datang dalam rangka melakukan penelitian untuk tugas akhirnya. Tidak, bukan penelitian menyulitkan, ia adalah seorang siswa high school bidang music yang sedang mencari pencerahan juga ketenangan untuk menciptakan karya untuk tugas akhirnya.
Bukan tanpa alasan Yoobin memilih Boseong, tepatnya desa Beolgyo sebagai tempat persinggahan. Desa tersebut memiliki banyak kenangan tentang dirinya dan sang Ibu yang telah meninggalkannya 5 tahun lalu. Ia dilahirkan disana, meski besar di ibu kota, seoul. Secarik kertas di tangan Yoobin menyita perhatiannya setelah keindahan boseong sempat membuat Yoobin lupa akan berbagai masalah dan bebannya.
“Sallyeojuseyo”
Kertas tersebut adalah lembar ke 20 dari paket-paket yang diterima Yoobin. Paket yang ditujukan untuknya, alamat pengirim berasal dari Beolgyo, Boseong, yang juga menjadi alasan lain mengapa Yoobin memilih untuk datang ke Beolgyo.
Yoobin melangkahkan kaki memasuki perbatasan desa yang tak terlalu jauh dari halte tempat ia turun tadi. Resah sedikit membayangi Yoobin. Bukan hanya karena kondisi desa yang sudah sepi meski jam pada ponselnya baru menunjukkan pukul 20.30, namun juga karena.. ia merasa seseorang yang tadi turun dari bus bersamaan dengannya masih mengikuti dirinya. Ia dapat mendengar suara langkah orang tersebut. Diperkirakan jarak antara ia dan orang tersebut tak lebih dari 4 meter saja.
Kilatan dari langit terlihat menakutkan. Di susul dengan gemuruh juga suara petir menyambar menandakan hujan mungkin akan segera turun. Yoobin berjalan lebih cepat, tapi langkah seseorang di belakangnya juga terdengar semakin cepat. Degup jantung Yoobin berdebar akibat situasi yang dialaminya. Satu persatu butiran hujan berjatuhan dari atas langit. Takdir baik nampak kurang berpihak pada Yoobin.
Yoobin berlari sekuat yang ia bisa. Menghindari hujan juga menghindari seseorang yang terus mengikutinya. Ia berlari tanpa arah yang jelas, banyak yang berubah dari desa tersebut membuatnya buta akan seluk beluk desa. Masih ia dengar suara langkah kaki mengikuti dirinya. Hatinya yang semakin kalut membuat ia kurang hati-hati.. dan..
BRUKKKKK..
Yoobin menabrak sesuatu di hadapannya. Lebih tepat disebut... “Gwenchanayo?” seorang namja. Yoobin mengangkat kepala, nafasnya terengah, ia tak mampu bicara apapun karena terlalu tegang dan panik. Sampai namja dihadapan Yoobin sekali lagi bertanya “Gwenchanayo?”
“Ah.. n.. Ne” Jawabnya terbata “Jweiseonghabnida” Yoobin memberanikan diri untuk melihat kebelakang. Memastikan siapa sebenarnya yang sejak tadi mengikutinya. Tetapi... tak ada seorangpun disana. Pelupuk mata Yoobin melebar, ia melihat ke arah kanan dan kiri dan tetap tak menemukan siapapun.
“Agashi” Panggil namja dihadapannya. Namja berwajah tampan dengan tubuh tinggi dan terhitung sangat kurus untuk ukuran anak laki-laki itu menaruh heran atas sikap Yoobin. Ia juga tak pernah bertemu dengan Yoobin sebelumnya.
“Jweisonghabnida” Ujar Yoobin sekali lagi. Yoobin adalah seorang yeoja pemalu, apalagi dengan orang asing. Bahkan dengan teman-teman sekolahnya sekalipun ia jarang sekali bicara. Tidak semua orang dirasa nyaman untuk sekedar menjadi teman baginya, Ia ingin bicara banyak tentang ia merasa seseorang mengikutinya juga hal lainnya pada namja dihadapannya, tapi bibir Yoobin berakhir dengan tetap tertutup rapat.
“Gwenchansebnida” Ujar Namja itu “Ah.. Chega.. Choi Hyungwon imnida” Namja bernama Hyungwon itu menjulurkan tangan ramah menyapa Yoobin yang masih termenung memperhatikannya dengan raut ketakutan. Hyungwon menunggu beberapa detik. Hingga ia menarik kembali tangannya merasa tertolak. Hyungwon berusaha memecah suasana awkward diantara mereka. “Aku baru pertama kali melihat mu disini. Apa kau tersesat? Ada yang dapat ku bantu?”
Yoobin mengangguk.
Hyungwon tersenyum canggung. Ia berfikir tentang apa yang harus ia katakan pada Yoobin. Sesaat ia terdiam. “Ah, ini sudah malam, apa kau berniat tinggal? Setidaknya untuk malam ini. Karena sudah tidak akan ada bus menuju tempat lain. Bus terakhir pergi dan berangkat biasanya hanya sampai pukul 8 malam.”
Yoobin akhirnya membuka suara. Ia tidak tahu lagi harus meminta tolong kepada siapa saat ini “Geugae.. Aku.. berniat untuk tinggal beberapa bulan. Aku bukan tersesat.. eung, mungkin juga aku tersesat ..” Jawab Yoobin, ia menggaruk kepala “Bagaimana harus ku jelaskan” gumamnya.
“Aku menangkap maksud mu” Jawab Hyungwon “Kau bukan tersesat dalam artian kau tidak memiliki tujuan. Kau memang bertujuan untuk tinggal disini, tapi kau belum mengenal daerah sekitar sini, begitu maksud mu?” Hyungwoon mendapat sebuah anggukan dari Yoobin “Kalau begitu ikutlah, mungkin salah satu teman ku bisa membantu mu” Tawar Hyungwoon. Terlihat jelas raut tak yakin tergambar di wajah Yoobin. “Aku bukan orang jahat, percayalah”