home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Regret

Regret

Share:
Author : Anisyaga
Published : 21 Dec 2016, Updated : 28 Jan 2017
Cast : Sung Seo Rim (OC), L aka Kim Myungsoo of Infinite, Shin Sin Ah (OC), Shun Lily (OC), Nam Woohyun of
Tags :
Status : Ongoing
0 Subscribes |2120 Views |1 Loves
Regret
CHAPTER 8 : Ready To Say Goodbye

Myungsoo memasuki rumahnya yang sederhana namun cukup untuk tempat tinggal Ayah, ibu, adik serta dirinya sendiri. Dia memegang tembok sambil melepas sepatu dan kaos kakinya lalu beranjak ke meja kecil ruang keluarganya.

Diliriknya sebuah surat beramlop coklat.

“Eomma, apa ini?” tanyanya sambil meraih surat tersebut.

“ Itu surat pemberitahuan dari kampus Amerika, kau mendapatkan beasiswa disana! Senang?” ucap ibunya berseri-seri sambil keluar dari dapurnya sementara Myung Soo hanya melihatnya penuh tanda tanya.

“Amerika?” tanyanya terkejut. “ Tapi aku tidak mendaftar.”

“ Bukan kau, tapi Lily. Ibu kira kau sudah mengetahuinya.”

Myung Soo memandang amlop coklat itu sekali lagi kemudian meletakannya kembali di meja. Dia berdiri dan beranjak menuju ke kamarnya.

“ Entahlah. Aku pusing!” Jawabnya menutup pintu dengan keras.

“ Myungsoo-yah! Pikirkan baik-baik dulu! Tak salahnya mencoba dulu, kan?” seru ibunya dari balik pintu. Sementara itu di dalam kamar yang redup dan remang-remang itu, Myungsoo merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dipejamkan kedua matanya mencoba untuk rileks dan memutuskan yang terbaik. Namun sial, ia masih saja terbayang dengan hal-hal yang membuatnya ragu.

Dirinya masih tak yakin dengan perasaannya sendiri.

***

Aku berjalan menaiki tangga dengan langkah yang lesu. Bel masuk memang akan berbunyi 5 menit lagi, namun, entah mengapa tungkai dan ototku sama sekali tak bertenaga meski hanya untuk berjalan. Cuaca beberapa hari ini membuatku flu, tambah lagi persiapan ujian akhir semester yang seolah ingin mencekik ku, membuatku tak bisa bernafas.

Kutundukkan kepalaku lalu kuhela nafas berat.

Seseorang tiba-tiba berdiri dihadapanku, membuatku terdongak menatapnya. Seseorang itu adalah Shun Lily.

" Annyeong (Halo).”

Aku hanya mengangguk. “ Ne. Annyeong.” Aku balik menyapanya.

“ Bisa bicara denganku sebentar?”

Aku hanya diam, menatapnya lama.

Namun, beberapa saat kemudian, aku mengangguk.

***

Lily berlari menuju Myung Soo yang berjalan sendiri di koridor sekolah. “ Myung Soo-yah!” serunya. Myung Soo menoleh kearahnya. Wanita itu berjalan menjajarinya. “ Kau sudah terima suratnya?”

“ne.” jawabnya datar.

Mendengar nadanya yang tak peduli, Lily hanya menyipitkan matanya heran. “ Kau tidak senang?” tanyanya merasa tak enak.

Myung Soo memandangnya.

“Kau seharusnya beritahu aku dulu. Aku tak suka dengan caramu ini.” Sambarnya.

Lily hanya menunduk. “Mian. Bukankah kau ingin sekali sekolah disana? Kupikir ini akan menjadi kejutan.”

Myung Soo menarik nafas pajang. “ Ne. Tapi, aku harus memutuskannya sendiri!”

Lily mendongak membalas tatapan Myung Soo. “ Apa lagi yang membuatmu ragu?”

“ Tidak ada. Hanya saja ini terlalu cepat. Aku belum bisa memutuskannya.”

“ Apanya yang terlalu cepat! Bukankah kau menginginkannya!?” Lily menyahut tegas, nadanya memaksa. Ia mengalihkan pandangannya ke depan, lalu kembali mengatakan dengan suara parau, “ Apa ada seseorang yang membuatmu ragu?”

“ Maksudmu?”

“ Sung Seorim misalnya.”

“ Jangan asal bicara.” sahut Myungsoo cepat, mengingkarinya.

“Aku tak asal bicara! Aku tahu dia menyukaimu!” ucap Lily tiba-tiba. Pernyataan itu seketika membuat Myung Soo amat terkejut mendengarnya. Namun, ia memilih untuk tetap diam dan tak berkomentar.

Selama beberapa menit, suasana hening menyelimuti mereka.

Sesaat kemudian, Lily menghentikan langkahnya.“ Tapi—“ Lily kembali membuka mulut. Kata-katanya terhenti untuk sesaat. “ Tapi bagaimana dengan perasaanmu?”

Myungsoo ikut menghentikan langkahnya. Sekali lagi dia diam tanpa menjawab pertanyaan Lily. Hal itu sungguh membuat Lily semakin ingin tahu perasaan Myung Soo yang sebenarnya.

Dia terlalu misterius. Hatinya bagai samudra yang luas nan dalam, menyulitkannya untuk menyelaminya. Ia tak sanggup mencari isi hati yang seolah dilindunginya dengan dinding baja yang tebal. Sama sekali tak tertembus, tak ingin seorang pun tahu perasaannya. Tak terkecuali Lily.

“ Bagaimana perasaanmu padanya?” Tanya Lily sekali lagi.

“ Bukan seperti yang kau kira.”

“ Lalu, bagaimana perasaanmu terhadapku?”

Myungsoo kembali diam untuk waktu yang lama. Ia tak merespon seditipun dan kembali melangkah pergi meninggalkan Lily yang masih tertunduk menanti jawabnnya. Jawaban yang mungkin tak akan pernah didapatkannya dari bibir Myungsoo.

Remuk sudah hati Lily. Ia tahu, tak ada yang special diantara mereka selain hubungan pertemaan. Tapi, salahkan dirinya jika menganggapnya lebih?

Yang pasti, Lily tak akan semudah itu untuk menyerah!

“ Myungsoo-yah, kaulah satu-satunya yang membuatku bertahan.”

***

Aku berjalan menuruni anak tangga dengan lemas.  Sekarang, bukan hanya karena cuaca ekstrem saja yang membuat tubuhku begitu lemah tak berdaya, terlebih-lebih karena kekhawatiran-kekhawatiran yang terus hinggap di kepalaku. Banyak sekali hal yang membuat ku stress akhir- akhir ini, membuat mood-ku selalu jelek berhari-hari.

Kepalaku terdongak begitu kulihat langkah kaki yang mendekat. Huh! Bahkan penglihatkanku pun kini mengabur dan buram.

“ Seo Rim-ah. “ panggil Jae Ha Songsaengnim, seorang guru pria yang selama setahun ini menjabat sebagai wali kelasku. Ia berjalan mendekat dan berhenti di depanku “ Neo gwenchana?” Dia bertanya dengan nada khawatir.

Aku mengangguk. “ Gwenchana.” jawabku pendek.

Dia mengerutkan dahinya, tampak ragu dengan ucapanku. Segera kutarik seulum senyum tipis dan kembali mengangguk, “ Jinja. Gwenchana, songsaengnim.” jawabku mencoba terlihat baik-baik saja.

Jae Ha Songsaengnim hanya mengangguk. Sambil memegang pundak ku dia mengatakan, “ Gure. Tapi kau harus segera ke ruang kesehatan jika kondisimu memburuk.” katanya mengingatkan. “ Lihat wajahmu sangat pucat.”

“ Ne.” Aku menjawab lagi. Kubungkukkan badanku saat  dia kembali melangkah, pergi untuk mengajar.

Begitu sosoknya tak tampak lagi di mataku, aku hanya menghela nafas berat. Namun, langkahku kembali tertahan bagitu Sin Ah tiba-tiba saja berdiri di hadapanku. Aku hanya memandangnya, tanpa menyapanya.

“ Kau sakit?” tanyanya khawatir.

Aku menggeleng. “ Tidak. Aku tidak sakit.” jawabku pendek.

Sesaat aku mulai beranjak, lagi-lagi ia menghentikanku dengan menarik lenganku. Membuatku semakin tak nyaman, sesungguhnya aku semakin pusing dan ingin ambruk saja.

“ Ayo, kuantar ke Ruang kesehatan!” Dia memaksa.

Segera kutepiskan pegangannya. Aku ingin, tapi aku tak mau membolos. Aku tak bisa meninggalkan latihan Ujian yang akan diadakan hari ini!

“ Tidak perlu! Aku tak bisa meninggalkan latihan ujiannya!”

“ YA! Kau sakit! Sejak kapan kau peduli dengan nilai, sih!”

Aku terdiam. Kubalikkan tubuhku menghadapnya dan menatapnya dengan tajam.

“ Aku memang tidak pernah peduli dengan nilai dan sekolah! Kuakui aku tidak sepintar Lily! Tapi, apa itu masalah untukmu! Apa kau tahu bagaimana perasaanku melihat ibuku semakin frustasi kerena diriku dan kelakuan ayahku!” tandas ku tajam.

Kulihat dia tak berkutik dan sama sekali tak berkomentar.

Mungkinkah dia menyesali perkataannya?

Sesaat kemudian, aku kembali bicara, “ Kau tidak akan tahu itu. Jadi diam saja dan tutup mulutmu!” Kataku ketus.

Aku segera kembali melangkah, membuatnya berlari menjajariku.

“ Maaf, bukan itu maksudku!” Sesalnya.

Aku menghentikannya. “ Jangan ganggu aku!” Perintahku tegas lalu kembali berjalan, pergi meninggalkannya.

***

FLASHBACK

Angin menghembuskan anak rambutku, membuatku sedikit mengigil di tengah musim dingin seperti ini. Aku berjalan lurus dan berhenti tepat di tengah atap sekolah. Semakin kurapatkan jas seragam dan jaket ku untuk menghangatkan tubuh ini.

Aku menoleh, memandang kearah Lily yang berjalan menghampiriku.

“ Mengapa ingin bicara di tempat ini?” Tanyaku pada intinya.

Seperti diriku, diapun menjawabnya tanpa basa-basi. Ucapannya terdengar serius hingga membuatku tak mampu berkata untuk menyahut dan menjawab semua pertanyaannya yang seolah mengintrogasiku.

“ Kau menyukai Kim Myungsoo?”

Aku menatapnya tak mengerti. “ Mworago?”

“Sketsa itu. Apa itu tentang perasaanmu yang sesungguhnya? Aku hanya ingin mendengar langsung darimu.”

Aku hanya diam, tak mengatakan sepatah kata pun. Pertanyaan itu seketika membuatku gugup bukan main hingga membuat diriku tak tahu harus menjawab apa. Ini terlalu sulit, tidak mudah dikatakan. Sesuangguhnya diriku pun juga tak mengerti dengan perasaanku sendiri. Aku takut untuk menjawab ‘ya’, namun aku ragu jika ‘tidak’.

“ Bagaimana?” tanyanya terus mendesak.

Kepalaku tertunduk, berpikir sejenak. Namun pada akhirnya aku menggeleng pelan, mengingkarinya.

“ Tidak.” jawabku parau.

Kulihat Lily menghembuskan nafasnya lega. Ia mengusap wajahnya yang penuh keringat, seolah takut dan khawatir dengan jawaban terburuk yang tak ingin didengarnya. Sungguh, ia seperti hampir menangis. Matanya sempat berkaca-kaca.

Ia mengusap kedua matanya lalu mengatakan, “ Gomawo…”

Aku memengang pundaknya. “ Ada apa dengamu?”

“ Kami akan pergi ke Amerika saat lulus nanti. Aku takut dia akan meninggalkanku.” katanya dengan suara lemah. “ Aku takut sekali. Kau tak akan mengerti bagaimana perasaanku. Aku bisa gila jika dia meninggalkanku sendiri lagi…”

Mataku membualat, sangat terkejut. Perlahan, kulepaskan tanganku sambil menatapnya lekat.

“ Kalian akan ke Amerika? Kau dan Myungsoo?”

Lily hanya mengangguk.

Anggukan yang mungkin akan jadi penyesalanku.

FLASHBACK END

Ku telungkupkan kepalaku di meja. Bel istirahat sama sekali tak membuatku bergeming apalagi bersuka ria. Kepalaku sudah terlanjur penuh dengan semua hal yang bisa membuat kepalaku hampir meledak.

Masalah pertengkaran orang tuaku, masalah ujian akhir, hingga masalah dengan Sin Ah dan Myungsoo yang tak kunjung usai. Memang salah ku tak bisa menyapa Sin Ah dengan lebih ramah meski sebenarnya aku menginginkannya. Dia pun terlihat lebih menjaga jarak dan segan bicara padaku lebih dulu.

Sementara pria bernama Kim Myungsoo itu…

Entahlah! Aku juga tak mengerti mengapa namanya terus muncul sejak pembicaraanku dengan Lily di atap tadi. Mengapa hal itu membuatku tidak tenang?

***

Sin Ah menyerot jus kemasannya dengan nikmat. Sementara Woo Hyun hanya menggelengkan kepalanya, heran. Diulurkannya lagi satu jus apel pada Sin Ah. Tampaknya gadis ini sangat kehausan.

“Hei, memang berapa hari kau tidak minum air, heh?” sindirnya.

Sin Ah tak menjawab, malahan kembali minum jus yang baru diterimanya itu. Dan Woohyun pun tak mempermasalahkannya. Ia tidak ingin jawaban. Hanya saja, beberapa hari ini gadis di depannya ini sedikit terganggu mood-nya. Ia sering kesal dan marah marah tanpa sebab. Woohyun tahu, ujian akhir akan dilaksanakan, dan semua orang juga stress dan frustasi menghadapinya.

Ditatapnya Sin Ah yang masih melamun memandang orang yang berlalu-lalang di kantin. Disendokkan sedikit nasi dan disuapkannya pada Sin Ah. Membuat gadis itu terkejut seketika.

Sambil membersihkan nasi yang tertinggal di mulutnya, Sin Ah mengomel, “ Aish! Kau ini menyebalkan, ya!” katanya jengkel.

“ Jangan melamun!”

“ Tidak!” jawabnya bohong. Sin Ah diam sekejap lalu kembali melanjutkan, “ Apa aku menganggumu?” tanyanya tiba-tiba.

Woohyun hanya menatapnya aneh. “ Aigoo! Apa kau sakit?”

“ Aish! Aku tidak sedang bercanda!”

“ Gure, jadi apa yang membuatmu berpikiran seperti itu?”

Gadis itu tertunduk sambil mengaduk-aduk makan siangnya. Ia sama sekali tak memiliki nafsu makan seperti biasanya.

“ Seo Rim. Dia bilang, ‘Jangan ganggu aku!’, begitu.” katanya pada akhirnya.

Woohyun berpikir sebentar. Lalu kembali melanjutkan makan siangnya dengan lahap.

“ Itu artinya, dia sedang ada banyak masalah. Dia butuh waktu untuk sendiri.”

“ Jadi aku harus mencari tahu apa masalahnya?”

Spontan Woohyun mendongak. Menatapnya kemudian menghela nafas berat. “ Bukan seperti itu! Jika kau mengorek masalahnya, dia pasti akan marah lagi! Kau hanya perlu terus berada disisinya begitu dia membutuhkan seseorang dan menunggunya untuk bercerita. Paham?”

Sin Ah tersenyum lebar lantas mengangguk, mengerti. “Aku paham!” jawabnya semangat.

Seketika, kemendungan di wajahnya hilang berganti awan cerah yang menawan. Woohyun ikut tersenyum. Syukurlah, ia tak tahu lagi harus bagaimana jika melihat Sin Ah berwajah muram dan membuatnya selalu kebingungan. Kini, ia merasa puas melihat seulas senyum merekah di bibirnya.

Melihatnya saja sudah membuatnya terpesona.

“ Woohyun-ah, apa—“

Tuk!

Dengan cepat Woohyun memukul dahi Sin Ah pelan, namun mempu membuat gadis itu kesakitan.

“ YA! Apa yang kau lakukan, hah!” protes Sin Ah mengusap dahinya.

“  Aku lebih tua 2 tahun darimu! Panggil aku sunbae!”

Sin Ah tertawa. “ Sunbae? Panggilan itu terdengar lucu untukmu.”

“Terserah kau saja.” sahut Woohyun tak peduli. “ Apa yang ingin kau katakan?”

“ Eng—, kita kan teman, apa kau akan menceritakan semuanya padaku? Seperti masalahmu, rasa senangmu, rasa sedihmu, atau mungkin orang yang kau sukai?” tanya Sin Ah dipenuhi dengan rasa ingin tahu.

Woohyun menikmati sedotan jus terakhirnya. Ia berpikir untuk beberapa saat, sementara Sin Ah masih menunggu jawabnnya.

Saat itu juga, Woohyun berdiri, sambil mengucek rambut Sin Ah gemas, ia menjawab, “ Tidak akan pernah! Mana mungkin aku mengatakan semuanya pada mulut ember sepertimu!” ejeknya tertawa renyah. Dengan segera ia berjalan cepat, pergi meninggalkan Sin Ah yang sudah siap memukulnya.

“ YA!! NAM WOOHYUN!! AWAS KAU, YA!!” Sin Ah berseru kesal.

***     

Ckitttt…

Terdengar suara rem bus yang perlahan menepi di halte tempatku duduk dan menunggu saat ini. Seketika, sebagian besar orang disana langsung berebut naik sehingga dalam sekejap bus yang tadinya hanya berisi sekitar beberapa orang saja, kini terlihat penuh dan sangat sesak. Membuatku enggan untuk menaikinya.

Kulirikan pandanganku ke samping. Tampak olehku Myungsoo yang duduk di sampingku tanpa bicara ataupun menyapa. Aku pun tetap diam dan membiarkan dirinya sibuk dengan pikirannya.

Tepat saat itu, ia menoleh. “ Kau tidak naik?” tanyanya padaku tiba-tiba.

Aku menggeleng. “ Tidak. Busnya terlihat penuh.” Jawabku seadanya. “ Kau sendiri, kenapa tidak ke ruang klub?”

“ Hanya malas.”

Aku kembali menoleh, menatapnya yang masih memandang lurus kearah jalanan. Meski agak ragu, secara spontan pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku. Sebenarnya, rasa penasaranku lah yang ingin menanyakannya.

“ Benarkah kau akan ke Amerika?”

 Ia menoleh cepat, tapi tidak terkejut.

“ Kau sudah tahu rupanya.”

“ Ne. Jadi apa itu benar?”

“ Benar.” jawabnya singkat, bahkan sangat singkat.

Kualihkan pandanganku lalu tertunduk menatap tanah.

Dia masih menatapku. Menatap dengan kedua matanya dengan lekat. Sesaat kemudian, ia mengatakan, “Apa kau tak ingin menahanku pergi?”

Seketika mulutku terkunci rapat. Aku tak bisa menjawabnya.

Perlahan, aku menggeleng meski agak ragu. “ Tidak. Mengapa harus menahanmu?”

“ Mungkin itu akan membuatmu tidak menyesal nantinya.”

Ku hembuskan nafasku perlahan. Dadaku terasa sesak sekali. Sebenarnya apa yang kuinginkan?

“ Entahlah.” jawabku pendek, semakin ragu. “ Aku ingin. Tapi, pada akhirnya aku tak akan bisa.”

***

Aku membuka pintu rumah ku yang serba sederhana. Kami bukan dari keluarga yang berada. Bahkan mungkin tidak harmonis. Banyak sekali masalah yang terjadi disini. Maka dari itu, betapa terkejutnya setelah kudapati ibu dan kakakku tampak sibuk mengepak barang demi barang yang ada di sana.

Dengan segera, ku menghampiri mereka berdua.

“Eomma, ada apa ini?” tanyaku heran sambil duduk di samping kakakku yang sedang memasang selotip pada kardus-kardus coklat itu.

Ibu berpaling padaku sambil terus mengerjakan pekerjaan yang melelahkan tersebut. “ Maafkan Ibu. Ibu tak bisa lagi tinggal dengan laki-laki itu! Ibu tak bisa bersabar lagi menghadapinya. Surat cerainya sedang diproses, untuk itu kita harus pergi.” jawabnya enteng. Namun berbeda denganku. Aku malah hampir terjungkal mendengarnya.

Aku memandang Ibu dan kakakku bergantian tak percaya.

“Mwo? Perceraian?” tanyaku tak percaya. “ Eomma! Apa harus seperti itu!? Aku tidak ingin pindah! Kakak, lakukan sesuatu! Bukankah kakak akan menyelesaikan studinya disini!?”

Ibu menghentikan pekerjaannya dan bergeser duduk di depanku. “ Kakakmu tetap tinggal. Ibu sudah menyewa apartemen sederhana untuknya. Yang penting, kakakmu tidak akan tinggal bersama ayahmu!” katanya tegas. Ibu lalu berpaling kearah kakak ku yang hanya diam mendengarkan.

“ Ingat! Kau harus cepat menyelesaikan studimu dan ke Indonesia. Kita tinggal bertiga disana! Arraseo?”

“ Indonesia? Andwae. Mengapa harus pindah jauh sekali?” Aku kembali protes.

“ Ibu lebih tenang jika kita hidup jauh dari Seoul!”

“ Eomma!” panggilku merengek. Namun, ibu sama sekali tak bergeming. Tetap kokoh dengan pendirian dan keputusannya.

“ Sudahlah! Jangan merengek, Seo Rim! Cepat kau kemasi barang-barang mu!”

Aku berdiri. “ Ne...” jawabku singkat. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi, aku menyerah!

“ Ibu harus mengurus surat-suratnya. Kita pindah mungkin setelah kenaikan nanti.”

Aku hanya mengangguk kalem sambil terus melangkah menuju kamar. “ Arraseo!” Aku kembali menjawab sambil menutup keras pintu kamar.

*** TO BE CONTINUE***

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK