Ckit…
Bus yang kutumpangi mengerem mendadak. Salahku juga sih, aku terlalu panik saat memencet bel. Halte tempatku biasanya turun sudah terlewat sekitar lima meter, itu karena aku terus melamun sepanjang perjalanan. Memikirkan berbagai hal dalam diam memang membuatku sama sekali tak bisa konsentrasi.
Kulangkahkan kakiku menuruni bus. Sesaat setelah aku menapak jalan, segera kubungkukkan badanku, terus berkata maaf pada sang pengemudi sekaligus seluruh penumpang yang terkejut dengan suara decitan ban. Mereka hanya menatapku tanpa peduli dan bus itu pun kembali melaju dengan kecepatan rata-rata. Kendaraan umum disini, sangat pantang menurunkan orang di jalan. Untunglah aku tak harus terlewat jauh di depan sana.
Aku kembali berjalan, masuk melalui gerbang dan menyusuri koridor-koridor gedung lalu berbelok tepat di kelasku.
Aku mendongak, melihat seseorang di dalam sana.
“ Kenapa wajahmu seperti itu?”
Sin Ah mendongak, agak terkejut dengan kehadiranku.
“ Ah, kau sudah sampai?” Tanyanya tak menjawab pertanyaanku.
Aku mengangguk lalu duduk di depannya. “ Aku kepagian.” Jawabku seadanya.
Kulihat dia hanya menghela nafas. Helaannya terdengar berat. Entah apa yang membuatnya tampak tertekan seperti ini. Tak biasanya aku melihatnya putus asa.
“ Wae??” Tanyaku ingin tahu.
“ Ani. Gwenchana.”
“ Waeee!? Cepat katakan!!” Paksaku membuatnya buka mulut.
Ia kembali menoleh, menatapku untuk beberapa detik.
Sesaat kemudian, dia kembali berkata, “ Menyedihkan sekaligus menyebalkan!!” Geramnya tiba-tiba kesal. “ Apa kau tahu, kemarin aku mengatakan perasaanku pada Myungsoo!?”
Aku tampak sedikit terkejut dengan entah itu pertanyaan atau pernyataan sebenarnya. Namun aku hanya menggeleng. “ Belum. Kau—“ Kataku menggantungkan kalimatku.
Namun, aku kembali melanjutkannya meski tak yakin dengan jawabannya, “ Kau benar-benar mengatakan semuanya?”
“ Ne.” Jawabnya lemah sambil menunduk.
“ Lalu? Jawabannya?”
Ia mendongak. Menatapku garang, “ Aish!!! Neo paboya!? Wajahku saja seperti ini dan kau masih tanyakan jawabannya!? Tak mungkin kan dia menerimaku!!” Cerocosnya semakin kesal.
“ Mian.” Kataku ngeri.
“ Dan kau tahu apa yang membuatku kesal dan semakin kesal!?” Lanjutnya kembali.
Lagi-lagi aku menggeleng. Entah teman macam apa aku ini hingga sama sekali tak tahu apa-apa tentangnya.
Saat itu juga ia membuang mukanya, mengalihkan pandangannya menatap lapangan diluar sana.
Tanpa menatapku, ia kembali bicara. “Myungsoo dan Lily sudah berkencan.”
Aku hanya bisa menunduk meski merasa sedikit terkejut. Kali ini, aku tak mampu berkata-kata lagi. Seketika, pikiranku terisi penuh dengan pertanyaan demi pertanyaan. Pertanyaan itu terus mengganggu pikiranku meski setiap detik ingin kuenyahkan. Pertanyaan tentang pembicaraan kami berdua pada saat itu.
Aku mendongak. Menatap Sin Ah yang putus asa membuatku sedikit prihatin padanya.
Dasar menyebalkan!!
Apa baginya semua perasaan orang hanya mainan untuknya!!!?
***
“ Eomma (ibu)! Appa (ayah)!!” Lily berseru kesal. Dihentakkan kakinya geram mendengar ucapan orang diseberang telepon sana. Sambil terus memohon, ia kembali mengatakan, “ Aku benar-benar sakit!! Sangat sakit! Tapi, kenapa kalian sam sekali tak ingin menjengukku!!? Aku ingin kalian pulang!! Hanya itu saja!!”
“ Lily! Kau ini sudah besar! Dewasalah sedikit! Eomma dan Appa sibuk di Jepang. Turuti saja kata dokter. Untuk biaya rumah sakit, Eomma yang akan mengurusnya!”
Tut…
Hubungan telepon pun terputus secara sepihak.
Perlahan, air mata Lily menetes membasahi pipinya. Digenggamnya ponsel miliknya dengan erat. Giginya bergemertak. Ia sudah bosan dengan semua jawaban yang didengarnya. Ia sudah lelah dengan semua ini. Percuma! Tak akan ada yang menginginkannya meski dia berjuang setengah mati demi mendapatkan perhatian kedua orang tuanya. Dia selalu merasa sendiri, seperti angin yang berhembus. Lewat begitu saja tanpa ada yang memperhatikan. Dunia ini terlalu dingin hingga membuatnya selalu menggigil.
Brak!!
Ia melempar ponselnya tepat mengenai kaca, membuat benda itu retak. Hancur, sehancur hatinya.
“ ARGHHHHHH!!!!!!” Lily berteriak kalut, mencengkram kepalanya erat. Seolah beban pikiran yang memberatkan tubuhnya ingin dilepaskan saat itu juga.
Tanpa ia ketahui, Myungsoo yang telah mendengar semuanya segera masuk kedalam dan berjalan kearahnya. Dipeluknya gadis itu erat, mencoba menghiburnya meski sebenarnya ia juga tak tahu cara membuat Lily agar lebih tenang.
“ Arghhh!!!!” Dia kembali berteriak di pelukan Myungsoo. “ Aku tak tahan lagi!!! Mengapa bibi malah menyelamatkanku!! Mengapa dia tidak membiarkanku mendingin saja disana!!!” Lanjutnya berucap ditengah isakkan tangisnya.
Myungsoo hanya terdiam, menepuk punggungnya lembut. Bukan pertama kalinya dia melihat Lily putus asa seperti ini, bahkan sudah berkali-kali. Jika sudah begini, ia hanya bisa diam, membiarkan Lily menangis sepuasnya, setidaknya itu membuat sedikit beban pikirannya berkurang.
“ Aku tak tahu lagi harus bagaimana!! Aku putus asa! Mereka tak akan peduli meski aku kesakitan sekalipun!!” Rancaunya semakin terisak
Myungsoo melepaskan pelukannya. Digenggamnya erat kedua lengan Lily sambil menatapnya lekat. “ YA! Jika kau mengatakan itu lagi, aku yang akan menghukummu!!” Katanya lirih.
Lily hanya tertunduk lesu, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Semenit kemudian, dia kembali mengatakan, “ Aku selalu sendiri di sini.”
Pria di depannya menggeleng pelan.
“Sudah ribuan kali kukatakan bahwa aku akan berada disampingmu.”
Lily mendongak, membalas tatapan Myungsoo. Matanya masih sembab dengan jejak air yang masih basah. Meski agak ragu, namun pada akhirnya ia mencoba percaya. Bukankah selama ini Myungsoo selalu menepati janjinya?
“ G-gomawo…” Katanya lirih.
***
Seminggu kemudian. Setelah mendengar pernyataan Sin Ah pagi itu, aku semakin jarang datang ke klub. Aku hanya dapat menghabiskan waktuku di coffee shop dekat sekolah atau di perpustakaan sekolah sepanjang sore dan baru pulang pada malam hari.
Sore itu aku menikmati White Coffee kesukaanku sambil membaca sebuah novel ditanganku. Sesekali ku lirik hujan yang akhir-akhir ini sering turun. Ditengah kesenanganku saat itu, Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Aku segera menolehkan kepalaku kearah orang tersebut.
“Sung Kyu-yah…” Sapa ku.
Ia tersenyum simpul dan duduk di depanku.
“ Kau juga suka kemari?”tanyanya.
Aku mengangguk. “ Ne. Hanya untuk menghibur diri.”
Seorang pelayan mengantarkan Americano di depan Sung Kyu. Setelahnya pembicaraan kami kembali berlanjut. Tentu saja dia yang memulai.
“ Kenapa akhir-akhir ini aku jarang bertemu denganmu di klub?”
“ Aku tak akan kesana lagi…” Jawabku sekenanya.
“ Mengapa?”
Aku mendongak. Menatap Sungkyu dengan alis terangkat.
“ Kenapa ingin tahu sekali, sih?” Tanyaku sedikit heran.
“ Hanya bertanya.”
Aku diam untuk beberapa saat. Kenapa katanya? Entahlah, sesungguhnya aku pun tak tahu alasanku untuk menghindar dari klub dan Myungsoo. Hanya saja, aku tak ingin perasaan itu terus menggangguku. Yang kuinginkan adalah berada di tempat dimana aku tak akan bertemu dengannya…
Akhirnya, aku hanya mengangkat kedua bahuku. “ Entahlah. Hanya malas saja.”
Sungkyu diam. Tak lagi bertanya. Kini gilirannya untuk meminum kopi dinginnya.
“ Kau tahu Lily?” Tanyanya padaku. Kali ini berganti topik pembicaraan. Aku sempat heran saat mengenalnya. Lucu saja, dia terlalu cerewet dan senang sekali bicara. Mulutnya ringan. Namun, sifatnya yang seperti itu membuatku nyaman saat bicara dengannya.
Aku mengangguk. “ Tahu. Si penyihir?”
“ Penyihir?” Tanyanya mengerutkan dahi. “ Kau memanggilnya seperti itu?”
“ Ani. Setiap orang memanggilnya begitu.”
Sungkyu hanya tersenyum tipis. “ Heh, Kau itu aneh!”
Aku mendongak, menatapnya kesal. Setiap kali aku membaca selalu saja dia menggangguku hingga membuat konsentrasiku terpecah. Memangnya apa yang sebenarnya ingin dia katakana, sih!!?
“ Hei, kau yang aneh. Kau terlalu cerewet!” Kataku jengkel. “ Apa kau senang sekali bergosip!?”
Dia menjitak kepalaku. Membuatku mengaduh.
“ Enak saja!!” Omelnya.
“ Makannya, katakan saja yang ingin kau katakan.”
“ Araa! Kau diamlah dulu!” Gerutunya kesal. Spontan aku terdiam. Sesaat kemudian, dia kembali melanjutkan, “ Myungsoo dan Lily—“
“ Aku sudah tahu. Jadi berhenti mengatakannya.” Potongku cepat. Secepat kilat pula aku segera menunduk, kembali fokus pada novel di depanku.
“ YA!!” Serunya gusar. Namun, aku tak peduli.
“ Dia bukan urusanku!”
Sungkyu menyandarkan punggungnya. Sambil melirikku, dia hanya berkata dengan nada malas. “ Kau itu kenapa, sih? Setiap kali aku bicara tentang Myungsoo, selalu saja mood mu menjadi buruk. Kau menyukainya, ya?” Katanya enteng.
Selama beberapa detik, tiba-tiba saja seluruh tubuhku kaku. Aku terdiam, tak mampu menjawab. Kudongakkan kepalaku menatap Sungkyu yang tampak santai seperti biasa tanpa tahu pertanyaannya itu membuatku kebingungan dibuatnya.
“ Ani. Aku tak akan menyukainya.” Gumamku sangat pelan. Mungkin hanya aku yang mendengar.
Sungkyu menoleh. “ Mworago?” Tanyannya memintaku untuk mengulang ucapanku.
Tapi, Aku hanya menggeleng.
“ Tidak. Bukan apa-apa.”
***
Esoknya…
Aku masuk ke dalam Ruang Klub Musik yang akhir-akhir ini tak pernah kukunjungi. Kulirik jam tanganku yang masih menunjukan pukul 15.00. Masih ada waktu 30 menit sebelum Myung Soo tiba, aku harus menemukan sketsa itu, pikirku seraya menunduk mencari benda itu diantara tumpukan kertas bertulis not balok.
Sekejap, aku merasa keawalah mencarinya. Banyak sekali tumpukan berisi berbagai lagu disana. Satu tumpukkan nihil, pindah ketumpukan lain, begitu seterusnya hingga ketumpukan terakhir. Namun, tetap tidak kutemukan dimanapun.
Ku gigit jariku spontan. Aku panik memikirkannya.
“ Dimana benda itu!!” Seruku dengan suara berbisik. “ Apa tak sengaja terbuang? Baguslah kalau memang begitu. Tapi…”
Aku tak melanjutkan kata-kataku. AH! Entah mengapa perasaan ku tetap tidak enak! Seolah hatiku mengatakan bahwa aku harus menemukan kertas itu!!
Tanpa aba-aba lagi, ku langkahkan kakiku menuju dimana biasanya pria itu duduk. Kulirik tumpukan kertas yang menggunung disana. Kutebak, Itu pasti partitur miliknya, sebuah lagu yang dikarangnya sendiri.
Aku berjongkok kemudian menjumput salah satunya, ada dua lembar kertas yang dihekter menjadi satu.
Sesaat setelah membaca covernya, mataku menyipit dengan dahi berkerut.
“ Untuk junior cerewet yang menyebalkan, Seo Rim?” Gumamku lirih. Saat itu juga wajahku berubah masam. “ Apa dia bercanda!!? Seenaknya saja dia mengataiku!!”
“ YA!! Keluarlah jika kau memang ingin berduel denganku!!” Seruku kesal entah pada siapa. Aku kembali menunduk. Ingin kuremas kertas menyebalkan itu, namun segera kuurungkan niatku jika tak ingin membuat masalah dengannya lagi.
Keingintahuanku memuncak saat kembali melihat kertas ditanganku lagi. Aku semakin ingin tahu lagu apa yang ingin ditunjukkannya padaku. Apakah sebuah lagu dengan isi yang menakutkan? Ancaman atau ejekan misalnya?
Aku tak tahu, apa hal seperti itu juga bisa disebut sebagai lagu?
“ Aku benar-benar akan membuangnya jika isinya benar-benar membuatku kesal!!” Ucapku gusar.
Namun, kemarahanan itu tak dapat ku katakana. Aku semakin terkejut begitu melihat isi dari lagu tersebut. Lebih terkejut daripada ketika aku membaca jika lagu ini benar-benar berisi cacian untukku. Tapi, semua salah, bukan cacian dan ejekan isi lagu disana. Bukan. Bahkan tidak sama sekali.
Seketika kakiku lemas. Ku jatuhkan tubuhku hingga terduduk.
One More Time…
Judul itu yang tertulis disana. Sebuah judul yang langsung menyentuh palung hatiku, menyebabkan dadaku berdebar tak karuan begitu membaca semua liriknya hingga usai. Seketika aku mematung, memikirkan satu per satu kemungkinan yang kini seolah membuatku bingung, frustasi, bahkan membuatku ingin lari.
Benarkah lagu ini untukku!?
“ Apa yang kau lakukan!?”
Aku menoleh cepat kearah asal suara. Mulutku terkunci begitu melihat sosoknya yang sudah berdiri tak jauh dariku. Dia melangkah, semakin cepat mendekatiku lantas menarik tangaku membuat tubuhku berdiri.
“ Apa yang kau lakukan, hah!!?”
Aku melepaskan genggamannya dengan kasar. “ Lepaskan!”
Dia menatapku tajam sambil melangkah mendekat, dan semakin mendekat. Sontak aku terdiam, lalu dengan cepat aku menunduk.
“ Apa yang kau lakukan?” Dia mengulangi pertanyaannya.
Aku kelabaan menjawabnya. “ H-hanya—, hanya mencari sesuatu.”
Ia menghela nafasnya berat. “ Keluar!” Usirnya dengan suara tertahan.
“ Shiro!”
“ Keluar kataku!!” Paksanya kembali menarikku.
Dengan sekuat tenaga aku meronta. “ Shiro!! Shiro!!” Aku berteriak terus memukul punggungnya.
Dilepaskan tanganku dengan kasar. “ Ya! Kau ini wanita tapi pukulanmu sangat menyakitkan!!” Omelnya sambil mengelus pelas punggungnya..
“Ya!! Memang kau siapa, hah!!? Kau tak bisa mengusirku seenaknya!!” Kataku balik mengomelinya.
“ Mworago?”
Aku menggeleng. “Aku hanya ingin tahu, Mengapa di lagumu ada namaku disana!?”
“ Bukan Urusanmu!!” Tandasnya tajam.
Ia kemudian berbalik, menjauh dariku lalu duduk di salah satu kursi disana tanpa menatapku. Menghindari tatapanku lebih tepatnya.
“ Mwo!? Bukan urusanku katamu!?” Tanyaku tak percaya. “ YA! Apa kau tak mengerti? Lily bisa salah paham terhadapku, apa kau tak tahu itu, hah!?”
“ Sudah kubilang itu bukan urusanmu!”
“ ITU URUSANKU!!” Aku berseru kalut. “ Tentu itu urusanku!! Kata-katamu pada waktu itu, ucapanmu pada saat itu—, apa kau tak tahu bahwa apa yang kau katakan tak bisa kulupakan dari pikiranku!? Apa kau tak tahu sekuat tenaga aku mencoba mengenyahkannya!!?”
“ Dan—, dan kali ini kau mengatakan bahwa itu bukan urusanku!?”
Aku terus menatapnya lekat. Namun, ia tetap enggan menatapku. Pada akhirnya, aku menyerah. Aku tak akan membuatnya bicara ataupun menjawabnya. Biarlah itu menjadi rahasianya.
Aku kembali berjongkok mencari kertas itu tanpa memperdulikannya.
“ Apa yang kau lakukan!?” Ia bertanya kembali.
“ Sudah kubilang mencari sesuatu!!”
“ Mencari ini?” Tanyanya sembari melempar sebuah kertas tepat di depan wajahku.
Aku menoleh, terpaku pada kertas yang perlahan jatuh menyentuh lantai.
Saat itu juga, Aku tercekat menatapnya. Kertas itulah yang bergambar sketsa wajah pria itu. Seketika, hatiku remuk melihatnya menjatuhkan kertas itu dengan mudahnya. Menganggap itu sama sekali tak berarti baginya.
Perlahan, air mataku merembes di pelupuk. Namunm aku tak bergeming. Diriku masih menatap lekat kertas itu dilantai.
Entah apa yang kurasakan. Mengapa dadaku terasa sesak dan amat menyakitkan?
Mengapa air mataku tak dapat kutahan untuk mengalir?
Ataukah…
Apakah aku benar-benar telah jatuh cinta padanya?
“ Mengapa kau membuatnya jika kau benar membenciku?” Tanyanya di tengah keheningan.
Kepalaku masih tertunduk. Tanpa menatapnya, aku berkata dengan suara lirih.
“ Apakah—, perasaan orang hanya mainan untukmu?”
“ Mworago.”
Segera kupungut dilantai lalu berdiri sambil mengusap mataku.
Aku menatapnya lantas menggeleng.
“ Ani. Lupakan! Karena itu sama sekali bukan urusanmu!!” Tandasku tajam kemudian kulangkahkan kakiku keluar.
***
Sin Ah menutup mulutnya tak percaya begitu mendengar percakapan mereka. Ia berdiri kaku tepat di depan pintu ruangan sambil mengintip suasana di dalam sana. Spontan, ia menyingkir, bersembunyi di belakang pintu begitu Seo Rim melewatinya begitu saa tanpa sadar akan kehadirannya.
“ Jadi—, benarkah Seo Rim menyukai Myungsoo selama ini?” Gumamnya bertanya-tanya.
Namun pada akhirnya, ia hanya dapat bertanya tanpa tahu jawabannya…
***