"Bagaimana keadaannya dok?", gumam Jimin pada dokter yang baru saja selesai memeriksa saudara sepupunya, Seokjin.
"Tidak terlalu baik dan tidak juga terlalu buruk", ujar sang dokter.
"Apa maksudmu?", Jimin bertanya lagi.
"Secara fisik, kondisinya sudah mulai membaik...hanya saja....sepertinya ia mengalami sedikit trauma akan apa yang menimpanya....hal itu sedikit menghambat kesembuhannya", ujar dokter.
Jimin mengangguk pelan. "Lalu....bagaimana dengan...eung....kepalanya?", tanya Jimin hati-hati.
"Ne?", gumam sang dokter tak mengerti.
"Ah...maksudku...apa ada gangguan pada otaknya atau...", gumam Jimin berpikir mencari ungkapan yang tepat.
"Maksudmu...gangguan otak seperti amnesia?", sambar sang dokter.
“Ah majayo!”, ujar Jimin.
“Bagaimana mungkin ia mengalami amnesia? Ia hanya tercebur ke dalam danau….waeyo?”, Tanya dokter.
“Aniyo….jika ia tak menderita amnesia….bagaimana bisa ia lupa dengan siapa dirinya sendiri? Ia bahkan tak bisa mengingatku…”, gumam Jimin berpikir.
“Mungkin itu efek dari rasa trauma yang kini dirasakannya…..biarkan ia beristirahat total selama beberapa hari…mungkin saja semua akan kembali normal”, ujar dokter.
“Algesseumnida….neomu kamsahamnida”, ujar Jimin sopan.
“Ne…hubungi aku jika sesuatu terjadi padanya”, ujar dokter sembari berpamitan pada Jimin. Namja itu mengantar sang dokter hingga ke pintu keluar. Di saat bersamaan, mereka berpapasan dengan dengan seorang pria lainnya. Pria itu membungkuk sedikit menyapa dokter dan Jimin. “Na kalkkeyo”, ujar sang dokter berpamitan dan bergegas pergi.
“Bagaimana keadaan tuan muda Kim?”, Tanya pria yang baru saja datang tersebut.
Jimin menghela nafas pelan. “Moreugesseoyo….yang terpenting kita harus membiarkannya istirahat total selama beberapa hari ini….”, ujar Jimin.
“Bukankah seharusnya kita membawanya ke rumah sakit?”, Tanya pria tersebut.
“Aniyo….itu hanya akan menambah masalah baru”, ujar Jimin yang kini berubah serius. “Aku tak ingin mereka mengetahui keadaan Seokjin hyung dan memanfaatkan kondisinya untuk mendapatkan apa yang mereka mau”, sambung Jimin tegas.
“Lalu…bagaimana dengan tuan besar Park?”, Tanya pria itu lagi.
“Aku yang akan memberitahu appa dan eomma perihal kondisi hyung….dan…aku ingin Paman Choi terus mengabariku perihal wanita itu dan keluarganya…tetap informasikan padaku tentang apa yang akan mereka perbuat…karena hanya Paman Choi yang mereka percaya saat ini”, ujar Jimin pada Paman Choi yang merupakan tangan kanan Seokjin dan keluarga mereka. “Kau tak perlu mengkhawatirkanku dan Seokjin hyung…kami bisa mengurus diri kami sendiri”, sambung Jimin tersenyum.
“Ne algesseumnida”, ujar Paman Choi.
“Pergilah…aku ingin berjalan jalan sebentar….aku tak mau mengganggu Seokjin hyung”, ujar Jimin.
Paman Choi pun berpamitan pada Jimin dan bergegas pergi. Jimin menoleh sejenak ke arah kamar Seokjin lalu menghela nafas pelan. Ia pun kemudian melangkahkan kakinya dan berjalan keluar dari apartemen mereka. Langkahnya membawanya berhenti tepat di seberang sebuah toko kosmetik. Ia memperhatikan toko kosmetik tersebut dengan seksama. Hanya ada sekitar tiga karyawan wanita di dalam toko itu saat itu. Matanya memperhatikan setiap sosok karyawan tersebut seperti sedang mencari cari sesuatu. Ia lalu menghela nafas pelan ketika ia tak menemukan apa yang dicarinya. "Eobseo?", gumamnya pelan pada dirinya sendiri. Ia pun melangkah dengan lesu kembali menuju apartemennya.
***
The next day...
12 PM
Kim Seokjin's POV
Aku duduk di bagian belakang mobil dengan 'Adik' ku, yang baru kuketahui namanya, Bae Seulgi, duduk di sampingku. Serta 'Ibu' dan juga 'Ayah' yang duduk di bagian depan mobil. Hari ini, aku diizinkan pulang dari rumah sakit karena kondisiku sudah mulai membaik.
"Aku sungguh tak percaya....kau sampai rela mengorbankan nyawamu hanya demi seekor kucing", sungut eomma di kursi depan. Entah sudah berapa kali ia mengulang kalimat tersebut sejak sepuluh menit yang lalu.
"Jweisonghamnida", gumamku tertunduk. Hanya itu yang bisa kukatakan karena sesungguhnya aku tak tahu apa yang dibicarakannya sejak tadi. Sejujurnya, masih tak mudah bagiku untuk menyesuaikan diri dengan ini semua. Tak mungkin juga bagiku memberitahu orang orang ini bahwa kini seorang namja asing mengambil alih tubuh putri sulung mereka setelah berhutang nyawa padanya dua hari yang lalu. Bisa kurasakan Seulgi menatapku dengan penuh tanya setelah mendengar jawabanku pada Eomma tadi. Kurasa ia satu satunya orang yang menyadari bahwa kakak perempuannya ini kini mulai bersikap aneh. Namun aku cukup beruntung ketika Seulgi memilih untuk diam dan tak membahas apapun. Menit demi menit berlalu hingga akhirnya mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah."Kita sampai....", gumam Seulgi. Ia lalu menoleh padaku. "Di sini dimana biasa kau tinggal sehari hari", ujar Seulgi bergegas turun dari mobil. Aku bergegas mengikutinya dan kini di hadapanku berdiri sebuah rumah berukuran sedang. Tidak besar dan tidak juga kecil dengan sebuah taman kecil menghiasi halaman depan rumah. Aku mengikuti Seulgi memasuki rumah. Yeoja itu membimbingku menuju sebuah ruangan, yaitu kamar tidur. Kamar tidur itu berukuran cukup besar. Ruangan itu diisi oleh dua tempat tidur yang di pisahkan oleh dua meja belajar. Terdapat sebuah tirai yang memisahkan kedua meja belajar tersebut seolah menegaskan bahwa Seulgi dan Juhyun memiliki wilayah pribadi masing masing di kamar mereka. 'Wilayah' Seulgi terlihat rapi dengan ornamen orname lucu ala yeoja yang menghiasi meja belajarnya. Sementara Juhyun.......hm...bagaimana aku harus mengatakannya? Sepertinya kedua kakak beradik ini memiliki kepribadian yang bertolak belakang. 'Wilayah' Juhyun tidaklah terlalu rapi. Banyak kulihat memo memo yang tertempel di sebuah papan kecil yang menempel di dinding di meja belajarnya. Buku buku tebal juga tersusun di atas meja belajarnya. Aku mencoba menebak keseharian Juhyun berdasarkan 'wilayah' pribadi yeoja ini. "Apa.....aku ini seorang mahasiswa?", gumamku sembari menatap meja belajar Juhyun.
"Ne....majayo", jawab Seulgi. "Kau mengambil jurusan teknik komputer".
"Mworago? Naneun-", aku terkejut ketika aku menoleh ke arah Seulgi, yeoja itu terlihat akan mengganti bajunya. "Aish...cham...", gumamku tak tahu harus berbuat apa. Aku refleks berbalik membelakanginya. Aku lupa jika kini aku sedang hidup sebagai Juhyun, seorang yeoja yang berbagi kamar dengan adik perempuannya. Bisa kurasakan wajahku menghangat karena mencoba untuk tetap tenang. Karena jika aku bereaksi sesuatu, pasti Seulgi akan semakin mencurigaiku. Biarpun kini aku hidup sebagai seorang yeoja, aku tetaplah seorang namja. Jadi bisa kau bayangkan betapa sulitnya hidupku kali ini.
"J-Jadi...kita...berbagi kamar seperti ini setiap harinya?", gumamku mencoba untuk menekan rasa maluku.
"Pssh...mwoya...lalu kau mau tidur dimana? Bersama eomma dan appa?", balas Seulgi santai. Ia sungguh tak menyadari jika kini wajahku sudah seperti udang rebus karena dirinya.
"Ah...g-geuraeyo?", gumamku masih belum berani menoleh ke arah Seulgi.
"Mwohae?", tanya Seulgi yang kini menyadari bahwa aku berdiri membelakanginya sejak tadi. Aku menoleh sejenak ke arahnya dan syukurlah ia sudah selesai berganti baju. Aku bernafas lega.
"A-Ani!", BUK! BUK! Aku memukul mukul kasur di depanku. "Auw....kasurku auw....bogoshipda...kasurku lebih nyaman dibandingkan kasurku di rumah sakit kemarin!", seruku berpura pura merapikan kasurku agar sikapku tak terlalu terlihat mencolok di depan Seulgi.
"Psh...mandi dan beristirahatlah….kau belum mandi sejak kemarin", ujar Seulgi lalu bergegas keluar dari kamar. Sekali lagi aku bernafas lega. Aku membenamkan wajahku di kasur. Mungkin sebaiknya aku membersihkan diriku dan beristirahat. Aku kembali bergegas bangun dan menghampiri sebuah lemari baju berukuran sedang mirip Juhyun. Lagi lagi aku terkejut ketika melihat isi lemari Juhyun. Sejauh yang kuketahui, seorang yeoja pada umumnya memiliki berbagai macam model baju. Tapi tidak dengan Juhyun. Lemarinya penuh dengan jaket hoodie dalam berbagai warna. Tak sekalipun aku menemukan rok yang biasa dipakai wanita. Hanya t-shirt dan jaket memenuhi isi lemari yeoja bernama Bae Juhyun ini. "Molla...", gumamku sembari mengambil salah satu t-shirt, mencoba untuk tak peduli dengan isi lemari Juhyun. Lalu aku terhenti sejenak ketika melihat setumpuk underwear di salah satu sudut lemari pakaian tersebut. Haaa....ini sungguh akan benar benar sulit bagiku. Aku membayangkan diriku memakai benda itu dan bisa kubayangkan akan betapa tak nyamannya hal tersebut. Aku tak punya pilihan lagi. Aku tetap harus menjalani hidupku sebagai Juhyun sembari mencari cara bagaimana agar aku kembali ke tubuh asliku. "Ah molla!", sungutku mengambil salah satu underwear tersebut dengan mata terpejam lalu bergegas menuju kamar mandi.
***
Seoul,
Emerald Penthouse
12 PM
Bae Juhyun's POV
Aku duduk termenung di atas kasur. Sudah kira kira 24 jam berlalu semenjak aku tak sadarkan diri untuk yang kedua kalinya. Aku masih belum bisa mengerti mengapa kini aku terbangun dalam tubuh seorang namja. Bahkan terkadang aku berpikir ini memang hanya lah mimpi. Tapi ternyata tidak...ini benar benar terjadi padaku. Apa ini hukuman yang harus ku terima setelah aku mengatakan bahwa aku membenci hidupku?. Aniya! Aku harus mencari cara untuk kembali ke tubuh asliku!. Jika kini aku mengambil alih tubuh namja ini?, lalu bagaimana dengan namja ini? Apa ia juga mengambil alih tubuhku?. Jika memang iya, maka tak ada cara lain selain menemuinya!. Aku menoleh ke sisi kananku dan kulihat sebuah ponsel tergeletak di dekat lampu yang terletak di samping tempat tidur. “Ini pasti ponsel milik namja itu”, gumamku dalam hati. Tanpa ragu, segera kuambil ponsel tersebut dan segera aku menyalakannya. Sebuah wallpaper yang berupa foto seseorang muncul di layar.
“Eo? Jimin?”, gumamku ketika melihat foto Jimin dan diriku saat ini, Kim Seokjin, sebagai wallpaper handphone. Berdasarkan foto tersebut serta bagaimana Jimin memperlakukanku selama 24 jam terakhir ini, maka aku berasumsi bahwa mereka sangat dekat. Aku menggelengkan kepalaku sejenak, mencoba kembali fokus akan apa yang ingin kulakukan. Aku bergegas mengetik nomor handphone ku sendiri. Aku berasumsi, jika kini namja bernama Seokjin ini mengambil alih tubuhku, pasti ia juga akan mengakses handphoneku. Segera kusentuh tombol “Call”, dan menunggu. Jantungku berdegup kencang ketika menunggu ponsel itu tersambung dengan ponselku dan………..“Maaf, nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi”. Aku tertunduk lesu ketika mendengar bahwa voice mail lah yang menjawab panggilanku. “HAAAAAA!! MICHIGETDAAAA!!!”, aku berseru sambil mengacak acak rambutku sendiri, frustasi dengan apa yang terjadi hingga aku tak menyadari bahwa Jimin sudah berada di ambang pintu kamarku dan menyaksikan tingkah anehku. “Ah...ehm...J-Jimin-ah”, gumamku mencoba kembali terlihat normal.
“Pffthh”, Jimin menghampiriku sembari menahan tawa setelah melihat tingkahku. “Mwohaeyo hyung?”
“Eo-eobseo…”, jawabku salah tingkah. Kulirik Jimin sekali lagi. Namja itu sudah terlihat begitu rapi. “Kau...mau keluar?”
“Ne hyung….aku harus ke kampus...ada kuliah hari ini”, ujar Jimin tersenyum. “Aku kemari hanya ingin memastikan bahwa kondisimu sudah membaik. Melihat apa yang kau lakukan tadi….hmm….aku berasumsi bahwa kondisimu sudah jauh lebih baik..matchyo?”, ledek Jimin tersenyum. Aku baru menyadari bahwa namja ini terlihat begitu lucu ketika ia tersenyum. Kedua matanya membentuk Eye smile dan itu membuatnya terlihat lucu. Aniya! Apa yang kau lakukan?! Kau tak boleh seperti ini!. Biar bagaimanapun juga, kini aku hidup sebagai seorang namja dan namja ini adalah sepupu kandung dari Jimin. “Hyung?”, Jimin membuyarkan lamunanku.
“Ne?”, jawabku.
“Gwenchanayo?”, tanya Jimin khawatir.
“Eo! Ne! Nan gwenchana…..kau bisa pergi. Nanti kau terlambat”, ujarku tak ingin membuat namja ini terus mengkhawatirkanku.
“Arasseo...aku sudah membuatkan bubur untukmu...aku meletakkannya di meja makan...tapi...eum….”, gumam Jimin salah tingkah.
“Wae?”
“Kuharap kau bisa memakluminya jika rasanya….eum...kurang bersahabat heheh”, gumam Jimin terkekeh. “Aku tak pandai memasak sepertimu! Jadi kuharap kau bisa mengerti posisiku”.
Aku terdiam sejenak. Ah….anak ini baik sekali….berbeda sekali dengan adikku...zzz…..dan...apa yang dikatakannya tadi? Namja bernama Kim Seokjin pandai memasak?. Haaa….jangankan memasak...memotong bawang putih saja aku tak sanggup. “Ah...g-gwenchana! Haha! Lagipula...eum...aku...belum bisa mengingat banyak hal….nado mianhae….mungkin aku tak bisa memasakkan makanan untukmu”, ujarku beralasan.
Jimin mengangguk pelan.. “Sayang sekali…”, gumamnya tersenyum prihatin. “Aku harus berangkat hyung...paman Choi akan tiba sebentar lagi untuk menemanimu...Ia adalah orang kepercayaanmu selain diriku. Katakan apa yang kau butuhkan padanya...maka ia akan menolongmu”, ujar Jimin tersenyum.
“Ah….gurae? A-Aku punya orang kepercayaan?”, gumamku terkagum kagum dengan kehidupan elit namja bernama Kim Seok Jin ini.
Jimin hanya tertawa pelan mendengar ucapanku. “Jika terjadi sesuatu kau bisa menghubungiku atau Paman Choi...dan….jika ada orang asing menemuimu atau bicara hal hal aneh padamu….”, gumam Jimin terdiam sesaat. “Abaikan saja dan jangan bicara apapun pada mereka”, ujar Jimin.
Aku terdiam sejenak. Wae? Apa ada orang orang yang tengah memburu namja bernama Kim Seok Jin ini?. Aku ingin bertanya banyak hal pada Jimin, tapi sayangnya ia harus segera pergi. “Na Kalkkeyo hyung….”, ujar Jimin berpamitan padaku.
Selepas kepergian Jimin, aku beranjak dari kasur besarku. Memperhatikan setiap sudut ruangan yang kini ku tinggali. Gurae...aku tak punya pilihan untuk saat ini selain menjalani hidupku sebagai seorang namja bernama Kim Seok Jin. Aku harus belajar bagaimana menjalani hidup sebagai dirinya. Mungkin aku bisa sedikit mempelajarinya mulai dari ruangan ini….kamar pribadi Kim Seok Jin.
Aku melangkah mengelilingi ruangan yang mungkin ukurannya dua kali lebih besar dari kamarku dan Seulgi. Aku mendekati jendela besar yang terletak di sisi kiri tempat tidur dan bisa kulihat pemandangan kota Seoul terlihat begitu indah dari atas sini. “Woah…”, gumamku tak henti hentinya mengagumi kehidupan mewah Kim Seokjin. Tok tok! tiba tiba kudengar ketukan di pintu kamar. Aku menoleh dan mendapati sosok seorang namja kira kira berusia 40 tahun, namun ia masih telrihat cukup muda dan tampan. “Annyeonghaseyo….nan...Choi Won Young imnida”, ucap pria tersebut membungkuk pelan padaku. Ah! Ia pasti Paman Choi yang diceritakan Jimin tadi!. “Ah ne annyeonghaseyo”, ujarku balas membungkuk.
“Sejujurnya...agak sedikit aneh bagiku memperkenalkan diriku seperti ini padamu”, ujar Paman Choi.
“Ah...jweisonghamnida...aku juga tak bisa berbuat banyak”, ujarku tak enak hati.
Paman Choi tertawa pelan mendengar ucapanku. “Gwenchanayo….ngomong-ngomong...apa ada sesuatu yang bisa kulakukan untukmu?”
Aku terdiam berpikir sejenak. Sejak tadi aku berpikir bagaimana aku bisa menghubungi tubuh asliku yang kini didiami Kim Seokjin. Jika aku tak bisa menghubunginya lewat ponsel maka…..”Eum….apakah kau bisa mengantarku ke Myungjin university?”, tanyaku hati hati pada Paman Choi. Ia terlihat sedikit terkejut akan permintaanku.
“Myungjin?”, tanya Paman Choi memastikan ucapanku sekali lagi.
“N-Ne? Apa ada yang salah dengan ucapanku?”, tanya ku was was.
“Ah aniyo aniyo! Hanya saja….jika kau ingin ke Myungjin, seharusnya kita bisa berangkat bersama Tuan muda Park”, ujar Paman Choi.
“Ahh!! Jimin berkuliah di Myungjin?!”, aku berseru menyadari apa yang terjadi. “Ah...apa ia akan marah jika aku menyusulnya ke kampus?”
Paman Choi tersenyum. “Aniyo...kampus itu cukup besar dan Tuan muda Park juga sudah pasti akan disibukkan dengan kegiatan kuliahnya...jadi kurasa sulit baginya untuk menemui anda”, ujar Paman Choi. “Tapi jika kau tetap ingin ke sana, aku bisa mengantarmu”
“Ah...guraeyo? Arasseo! Aku akan bersiap-siap”, seru ku bersemangat. Paman Choi pun izin untuk meninggalkan kamarku sejenak sembari menungguku berganti pakaian.
10 Minutes later….
Aku keluar dari kamar dan menyusul Paman Choi yang sudah menungguku di ruang tamu. “Ayo kita berangkat!”, ujarku bersemangat.
“Ne Tuan-”, Paman Choi menoleh ke arahku dan lagi lagi ia terlihat begitu terkejut ketika melihatku.
“Waeyo paman?”, tanyaku tak mengerti.
“A-Aniyo...hanya saja...anda terlihat…..”, gumam Paman Choi sembari memikirkan kata yang tepat. “Berbeda”, sambungnya.
“Ah...g-geuraeyo?”, ujarku sambil memperhatikan penampilanku sendiri yang memakai sebuah jaket denim berwarna biru muda, dengan dalaman kaos oblong putih dan kacamata berframe bulat. Ah….ini pasti bukan style Kim Seok Jin. Aku baru menyadari kebodohanku. Selama ini aku terbiasa berpakaian santai bahkan saat ke kampus sekalipun. “Aku akan berganti baju”, ujarku namun Paman Choi menahanku.
“Ani gwenchanayo”, sela Paman Choi. “Kau...terlihat lebih..santai”, ujar Paman Choi tersenyum. “Kaja”, ujar Paman Choi membimbingku menuju parkiran. Ia bahkan membukakan pintu belakang mobil untukku. Aku sedikit salah tingkah dengan perlakuan ini. Seumur hidup, aku terbiasa berlari menuju halte atau berlari mengejar bus yang meninggalkanku jika aku terlambat. Tapi kali ini aku akan berkendara dengan sebuah mobil mewah yang mungkin harga mobil ini setara (atau bahkan lebih mahal) dari harga rumahku. “K-Kamsahamnida”, ujarku membungkuk mencoba tetap menunjukkan rasa hormatku pada Paman Choi. Paman Choi menutup pintu mobil dan bergegas menuju kursi supir dan mobil pun bergegas pergi.
“Bagaimana keadaanmu hari ini?”, tanya Paman Choi.
“Nan gwenchanayo...kurasa aku sudah merasa sedikit lebih baik”, jawabku. Lalu aku teringat ucapan Jimin sebelum ia berangkat ke kampus. Aku menceritakan hal itu pada Paman Choi. “Nan moreugesseoyo….apa...ada orang orang yang mengincarku?”,aku mencoba bertanya pada Paman Choi. Aku yakin sebagai tangan kanannya, ia pasti cukup mengetahui seperti apa seorang Kim Seokjin.
Paman Choi terdiam sejenak seolah berpikir. “Majayo….mereka bukan mengincarmu….tapi mereka mengincar apa yang kau miliki”, ujar Paman Choi menerawang. “Aku mengerti pasti sulit bagimu saat ini, mengingat….kau seolah kehilangan memorimu begitu saja”, sambung Paman Choi.
Aku tertunduk lesu. Entah bagaimana aku harus menanggapi ucapan Paman Choi. Seandainya ia tahu bahwa Seokjin tak pernah sekalipun kehilangan memorinya, melainkan kini ada orang asing yang hidup di dalam dirinya. “Jweisonghamnida...Paman”, gumamku lesu.
“Ani...gwenchanayo….ini bukan juga keinginanmu”, ujar Paman Choi. “Hanya saja...ada yang harus kau ingat...bahwa kini kau adalah calon pewaris dari Big Hit company”.
“Neee???!!”, aku hampir saja tersedak ketika mendengar hal tersebut. “B-Big Hit? Bukankah itu perusahaan iklan dan broadcast yang cukup besar?”.
Paman Choi melirikku melalui kaca mobil. “Sedikit aneh ketika kau mengetahui Big hit tapi kau tak tahu bahwa perusahaan itu akan menjadi milikmu”, sindir Paman Choi.
“Ah….haha…...haha….a-amnesiaku tidak lah terlalu akut. Aku masih bisa mengingat beberapa hal”, ujarku salah tingkah.
Paman Choi tersenyum mendengar jawabanku. “Perusahaan itu adalah buah kerjasama dari ayah dan juga bibi mu, Nyonya Kim Sohee”, ujar Paman Choi. Aku menatapnya bingung ketika Paman Choi menceritakan tentang wanita bernama Kim Sohee. “Ia adalah ibu dari Tuan Muda Park”, sambung Paman Choi.
“Ah...geuroguna…”, gumamku mulai memahami apa yang diceritakan Paman Choi. “Tuan besar Park, ayah dari Tuan Muda Park Jimin, menjabat sebagai CEO pertama hingga akhirnya ia memutuskan untuk menyerahkan perusahaan tersebut pada ayahmu. Sedangkan Tuan besar Park dan istrinya memutuskan untuk mengelola cabang perusahaan yang di dirikan di Jepang, sedangkan ayahmu mengelola perusahaan di Korea”, ujar Paman Choi.
“Jadi….kedua orangtua Jimin berada di Jepang?”
“Majayo”, jawab Paman Choi.
“Lalu…...bagaimana dengan...orangtua Kim- m-maksudku…..orangtuaku?”, Aku sedikit tak mengerti dengan hal ini. Sejak aku membuka mataku dan menyadari bahwa kini aku hidup sebagai Kim Seokjin, tak sekalipun aku melihat atau bahkan mendengar segelintir saja tentang kedua orangtua Kim Seokjin.
Paman Choi menghela nafas berat. “Mereka……”, gumam Paman Choi terdiam sejenak. “Mereka sudah tiada…..mereka…mereka tewas dalam sebuah kecelakaan”.
***
12.45 PM
Aku sedang bersantai di kasurku ketika kulihat Seulgi masuk ke dalam kamar sudah dalam keadaan rapi. “Kau mau pergi?”, tanya ku ketika melihat yeoja itu tengah berdandan.
“Eo...aku harus ke kampus….aku ada kuliah pukul tiga nanti”, ujar Seulgi.
“Ah gurae? Di mana kampusmu?”
“Myungjin….itu kampusmu juga”, ujar Seulgi. “Aku masih berada di semester 3 dan kau di semester 5”, sambungnya.
“Geuroguna…”, gumamku terbangun dan bergegas memeriksa jadwal yang tertempel di meja belajar Juhyun. “Ah! Aku memiliki jadwal!”, seru ku terkejut.
“Daebak”, gumam Seulgi kagum.
“Wae?”
“Kau benar benar berbeda”, ujar Seulgi memperhatikanku dengan seksama. “Juhyun onnie yang kukenal...jangankan berteriak...ia bahkan terlihat seperti seseorang yang sudah bosan hidup”.
“Apa maksudmu? Ya! Bagaimana bisa kau bicara begitu pada kakakmu sendiri?”, sungutku kesal.
“Woah...igo bwa”, balas Seulgi. “Kau bahkan tak begitu peduli padaku….pergi ke kampus adalah mimpi buruk bagimu”, ujar Seulgi.
Aku terdiam sejenak mendengar ucapan Seulgi. “Wae?”
“Kau akan merasakannya sendiri nanti...untuk saat ini, karena kau belum pulih benar, sebaiknya kau beristirahat saja...kehilangan satu absen saja tak akan berpengaruh besar pada kelanjutan kuliahmu”, ujar Seulgi bangkit dari kursinya dan merapikan bajunya sekali lagi.
Aku berpikir sejenak memikirkan ucapan Seulgi. Tiba tiba muncul keinginan untuk mencari tahu seperti apa kehidupan seorang Bae Juhyun di kampus. Kebetulan aku juga sudah lama tak merasakan suasana kampus setelah lulus setahun yang lalu. “Ah chakkaman!”, seru ku menahan Seulgi. “Aku akan ke kampus hari ini”, ujarku mantap.
“Mworago?!”, seru Seulgi terkejut mendengar keputusanku.
“Aku akan mencari tahu seperti apa diriku ketika di kampus...bukankah itu akan meringankan bebanmu jika aku berusaha mencoba mengembalikan ingatanku lagi?”, ujarku mencoba bernegosiasi dengan Seulgi.
Seulgi menatapku seraya berpikir. “Kau yakin?”
“Eung! Tentu saja”, ujarku mantap.
Seulgi menghela nafas pelan. “Arasseo...cepat bersiap atau aku akan meninggalkanmu”, ujar Seulgi cepat dan bergegas keluar dari kamar.
Aku tersenyum tipis. Segera aku mengganti kaos kebesaranku dengan jaket hoodie berwarna merah. Aku menatap diriku di cermin. “Bagaimana aku harus berdandan?”, gumamku bingung. Lalu, mataku tertuju pada sebuah foto polaroid yang tertempel di salah satu dinding. Foto Juhyun seorang diri. Sepertinya ia bukan tipe yeoja yang suka berdandan, tidak seperti sang adik yang begitu memperhatikan penampilannya. Aku mencoba mengikat rambutku mengikuti gaya rambut Juhyun yang berada di foto tersebut. Bahkan mengikat rambut pun bukanlah perkara mudah bagiku. Butuh dua menit bagiku untuk bisa mengikat rambut panjang Juhyun ini. “Dwaesseo!”, aku berseru senang ketika akhirnya aku bisa menaklukan rambut panjang Juhyun. Segera kupakai kacamatku dan segera kubereskan peralatanku dan menyusul Seulgi yang sudah menunggu.
“Juhyun-ah….apa kau yakin kau ingin memulai kuliah hari ini?”,tanya sang ibu khawatir.
“Nan gwenchanayo eomma...kkokjonghajimaseyo”, ujarku.
“Kaja”, ajak Seulgi. Kami berdua berjalan menuju halte bus dan di saat bersamaan, sebuah bus berhenti di halte. Seulgi menaiki bus itu lebih dulu dan aku segera menyusulnya. Bus terus berjalan hingga akhirnya, sekitar satu jam kemudian, ia berhenti di halte Myungjin university. Cukup banyak mahasiswa yang turun dari bis tersebut termasuk Seulgi dan diriku. “Whoah…”, gumamku terpana melihat kampus yang cukup tenar tersebut.
“Neo jincha gwenchanayo?”, tanya Seulgi sekali lagi. Bisa kulihat kekhawatiran tergambar di wajahnya. Apa yang membuatnya begitu mengkhawatirkanku?. “Oho….ige nuguya?”, sebuah suara menginterupsi percakapanku dan Seulgi. Seorang yeoja berambut panjang lurus, hitam legam, ia juga menggunakan rok pendek dan jaket kulit dengan dalaman tank top berwarna putih menghampiri kami. Menurutku ia cukup cantik dan aku berasumsi ia pasti salah satu yeoja yang cukup terkenal di kampus ini jika kulihat dari tampilannya.
[continued to the next page]