Beberapa jam kemudian, Taehyung dan aku sedang menuju halte, sudah siap untuk menghadiri upacara pemakaman Eomma di salah satu rumah duka. Di tengah-tengah langkah kami, tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh. Aku mendongak dan melihat langit memang semakin mendung. Perlahan-lahan air hujan mulai menetes, kemudian tetesannya semakin banyak dan turun dengan cepat, tapi aku tidak memperdulikannya, aku ingin melihat Eomma untuk yang terakhir kalinya. Aku mempercepat langkah dan tak terasa aku mendahului Taehyung.
“Yah! Yah!” Taehyung berseru sambil mengejarku.
Aku tetap berjalan, tidak memperdulikannya. Tapi aku kalah cepat, Taehyung berhasil memegang lenganku dan menyeretku menuju pinggir jalan, tempat di mana kami bisa berteduh.
“Oppa, lepaskan tanganku, kumohon!” aku mencoba melepas genggamannya.
“Yah! Apa yang kau pikirkan?” Taehyung bertanya.
“Apalagi kalau bukan melihat Eomma,” aku menjawab.
“Tapi ini hujan! Kau tidak lihat?”
“Tapi aku ingin melihat Eomma, aku ingin melihat dia untuk terakhir kalinya.”
“Tapi hujan turus dengan lebat dan kau ingin membuat dirimu sakit?” Taehyung menaikkan nadanya. “Kau sudah lupa pesan Eomma untukmu agar kamu menjaga dirimu baik-baik? Kau lupa kalau kita harus saling menjaga satu sama lain?”
Aku terdiam dibuatnya, apa yang dikatakan Taehyung barusan adalah benar.
“Aku hanya ingin melakukan apa yang Eomma berikan padaku. Dia… dia menyuruhku untuk menjagamu.”
Aku terdiam dan menarik tanganku dengan kasar, lepas dari genggamannya.
Kami berdiam di pinggir jalan selama hampir satu jam. Hujan turun sangat lebat dan kami terjebak di sini. Aku berdiri di samping Taehyung dan kami sama sekali tidak membicarakan apapun. Aku hanya memikirkan Eomma. Sudah pasti aku tidak bisa melihat Eomma di rumah duka.
Aku mendongak dan melihat hujan yang turun membasahi bumi. Memoriku kembali ketika aku menghadiri pemakaman Jeongmin. Di pemakaman hujan juga turun. Dan sekarang, Eomma meninggal dunia bersamaan dengan turunnya hujan. Aku melirik ke arah Taehyung, dia sekarang tampak sebagai Jeongmin sekarang. Aku menunduk dan menangis.
Tiba-tiba aku menghentakkan kakiku dengan keras, membuat Taehyung melonjak kaget. Aku membalikkan badan dan menangis. Taehyung dengan lembut memegang punggung dan membelainya.
“Aku tahu perasaanmu kehilangan Eomma,” dia berkata.
Bukan, ini bukan tentang Eomma! Ini tentang saudara kembarmu, Jeongmin!
Dua jam sudah berlalu dan kami akhirnya sampai di rumah duka. Kulihat sebuah mobil hitam sudah berlalu dan aku bingung dibuatnya.
“Apa itu mobil yang mengantar Eomma ke pemakaman?” tanya Taehyung.
“Taehyung! Eunhwa!” sebuah suara memanggilku.
Kami menoleh dan melihat salah satu rekanku berlari ke arah kami. “Kenapa kalian datang terlambat?”
“Kami terjebak hujan,” jawabku.
Temanku mengeluh. “Ya sudah, sekarang kita ke mobil dan menuju pemakaman.”
Kami bertiga pun bergegas menuju mobil yang sudah dipersiapkan. Perjalanan menuju ke pemakaman membutuhkan waktu lima belas menit. Selama perjalanan aku duduk di samping Taehyung sambil menyandarkan bahuku pada bahunya, terdiam dan merasa sedikit menyesal karena aku tidak bisa melihat Eomma untuk terakhir kalinya.
Upacara sudah selesai dilaksanakan dan kini saatnya Eomma, yang sudah ada di dalam peti, dimasukkan ke liang lahat. Aku melihat seluruh rekan kerjaku menangis dan aku bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Aku melihat perlahan peti dimasukkan dan aku merasa air mataku kembali menetes.
Taehyung merangkul bahuku, merangkulku dalam dekapanannya dan aku menangis tersedu-sedu sambil menyembunyikan wajahku di dadanya. Taehyung mengusap-usap bahuku ketika tangisku semakin keras dan nafasku tersengal-sengal.
“Kita doakan yang terbaik untuk Eomma,” Taehyung berbisik.
Untuk beberapa saat aku dan Taehyung berlutut di samping makam Eomma. Untuk kesekian kalinya, aku tidak percaya Eomma benar-benar meninggalkan kami, meninggalkanku. Dia ibu keduaku di sini. Dia yang merawatku ketika aku sakit di tengah-tengah pekerjaan, dia yang mau mendengarkan seluruh isi hatiku di waktu tertentu. Tiba-tiba wajah Eomma yang terlihat beberapa tahun lebih muda tergambar jelas dalam ingatanku.
Waktu itu sedang musim dingin dan aku masuk ke dalam restoran tempatku bekerja untuk menghangatkan diri. Waktu itu aku masih SMP kelas dua. Aku memesan susu cokelat panas dan satu sandwich dengan mentega leleh di dalamnya. Aku duduk dan menunggu pesananku datang. Seorang wanita berambut panjang dan berwarna hitam berjalan menghampiriku sambil membawa pesananku. Itulah pertama kalinya aku melihat Eomma, dia masih sedikit lebih bugar dan segar. Kurasa usianya pada waktu itu masih tiga puluhan, sekarang Eomma sudah berusia empat puluh lima tahun.
“Cokelat panas dan sandwich?” dia bertanya dengan sebuah senyum di wajahnya. Suaranya halus dan tenang.
Aku mengangguk. “I… Iya.”
Aku mengucapkan terima kasih dan kami saling mengucapkan salam sebelum Eomma kembali ke belakang. Dia wanita ramah, lebih ramah daripada ibuku malah. Dia wanita yang gesit dan lincah, dia mengantarkan pesanan demi pesanan dengan cepat tanpa kecelakaan sedikit pun. Badannya yang terbilang ramping, untuk ukuran wanita yang sudah memiliki tiga orang anak, itu melewati meja demi meja dengan nampan di kedua tangannya dengan mulus.
Entah kenapa aku punya impian untuk bekerja di sini setelah lulus SMA atau kalau tidak kerja sampingan ketika aku SMA nanti.
Dan impianku terwujud. Setelah lulus SMA aku diterima bekerja di sini dan aku menjadi lebih dekat dengan Eomma.
“Eunhwa?” Taehyung memanggilku, merobek lamunanku.
Aku terkejap dan menatapnya. “Ya?”
“Ayo pulang. Cuaca kembali mendung, aku tidak mau kamu kehujanan lagi.”
Nadanya penuh perhatian dan aku berhasil luluh dibuatnya. Aku mengangguk dan berdiri, berjalan meninggalkan makam Eomma.
Tangan Taehyung merangkul bahuku, menemani langkahku menyusuri pemakaman yang terbilang sejuk ini dan mengisi kekosongan kami dengan sebuah obrolan kecil. Obrolan kecil terus terucap sampai aku melihat sesuatu di ujung sana. Kedua mataku terbuka lebar, focus pada suatu titik, suatu objek yang sudah lama tidak aku lihat.
Taehyung menyadarinya dan mengikuti alur mataku. “Kau melihat nisan itu, Eunhwa?”
Iya. Tepat sekali. Itu makam Jeongmin.
“Aaaaah!” tiba-tiba aku terkejut ketika menoleh dan melihat Taehyung.
Taehyung dua kali lebih terkejut, panik lebih tepatnya. “Ada apa?!”
Tiba-tiba aku melihat Taehyung memakai pakaian terakhir yang dipakai Jeongmin, pakaian yang dia pakai tepat hari di mana dia meninggal. Kini dia bukan Taehyung, melainkan Jeongmin. Aku menarik nafas dan berbisik, “Jeongmin?”
Taehyung mengernyit. “Jeongmin?”
“Eunhwa!” Yeojong, koki kami, tiba-tiba berseru dan berlari mendekatiku.
Aku menatapnya kosong sementara Yeojong sedikit panik ketika menatapku. “Taehyung-shi, kami permisi sebentar,” ujarnya lalu membawaku menjauh beberapa langkah dari Taehyung, meninggalkannya dengan rasa penasaran.
“Eunhwa, sadarlah!” Yeojong berbisik sambil menepuk-nepuk pipiku.
Tepukan itu berhasil membuatku kembali dari halusinasiku. Aku mengambil nafas berkali-kali sebelum akhirnya bisa bernafas dengan normal. Aku menatap Yeojong yang sudah menatapku, menunggu reaksiku. “Kau tidak apa-apa?” dia bertanya.
Aku mengangguk. “Aku baik-baik saja. Aku hanya…” aku menatap Taehyung.
“Dia Taehyung, bukan Jeongmin. Ingat?” Yeojong dengan sabar memberitahu.
Aku mengangguk.
“Bagus,” dia memujiku dan membawaku kembali pada Taehyung.
“Dia kenapa?” Taehyung bertanya.
Aku melirik ke arah Yeojong sudah sudah siap untuk menjawab. “Dia sering berhalusinasi ketika orang-orang yang dia sayang meninggal dunia, dia sangat menyayangi mereka dan tidak ingin kehilangan mereka,” jawab Yeojong penuh keyakinan. Ya, itulah kelebihan Yeojong. “Kurasa… Kurasa kau benar-benar harus menjaganya, Taehyung-shi.”
Taehyung mengangguk. “Kau bisa andalkan aku.”
Yeojong mengangguk lalu berjalan pergi.