Hari ini adalah pertama Taehyung bekerja. Sesekali aku meliriknya ketika aku mengantarkan pesanan demi pesanan ke ruang makan. Dia selalu tersenyum kepada pelanggan, terkadang dia juga menyelipkan sedikit candaan pada pelanggan dan membuat beberapa dari mereka yang sedang memesan tertawa dibuatnya.
Memang hampir semua rekan kerjaku menerima Taehyung dengan baik, tapi ada juga beberapa di antara mereka yang sedikit menjaga jarak dengan Taehyung. Ketika Taehyung pergi ke dalam, anggap saja ke kamar mandi, aku menginitp dan melihat dua rekan kerjaku yang bekerja sebagai pencuci piring selalu terkejut dan sedikit menjauh darinya.
“Kalian kenapa?” kau bertanya kepada dua rekan kerjaku.
“Kami… kami sedikit takut dengan Taehyun,” jawab salah satu di antara mereka.
“Taehyung,” aku membenarkan.
“Ah! Iya!” mereka menyahut.
Biar kutebak, pasti alasannya karena Taehyung sangat mirip dengan mendiang Jeongmin. “Memangnya kenapa?” aku bertanya sambil duduk di atas meja dekat mereka.
Merek saling bertukar pandang, bingung sebelum akhirnya menatapku lagi. “Kau tahu,” salah satu di antara mereka berkata.
“Hei,” aku berujar. “Jeongmin dan Taehyung berbeda, mereka hanya mirip secara fisik, well, mungkin juga sebagaian sifat mereka. Jeongmin sudah tenang sekarang dan kini Taehyung yang menjadi anggota baru keluarga kita. Kalian tidak mau, kan, dia tidak nyaman bekerja di sini hanya gara-gara anggapan kalian?”
Mereka menghela nafas, mencoba memikirkan ucapanku barangkali. “Mianhae, Eunhwa-ah,” mereka berkata sambil kembali mencuci piring dan gelas kotor.
“Tidak apa-apa,” aku menjawab. “Semangat kerjanya!”
Mereka mengangguk dan aku kembali bekerja.
Berjam-jam telah berlalu dan tak terasa hari sudah mulai gelap dan ketika aku menoleh ke arah jam dinding, jam menunjukkan pukul sembilan malam. Waktunya restoran ini ditutup. Satu per satu, perlahan-lahan pelanggan mulai berdiri, meninggalkan meja mereka dan keluar dari restoran ini.
Aku berjalan menuju pintu dan membalikkan tanda ‘Open’ menjadi ‘Close’ setelah pelanggan benar-benar sudah pulang semua, juga teman-teman kerjaku. Aku kembali ke belakang dan tiba-tiba melihat Eomma terduduk di lantai dengan memegang kepalanya. Aku buru-buru berjalan mendekatinya.
“Eomma, gwaenchanaeyo? (Ibu, kamu tidak apa-apa?)” kau bertanya.
“Entah, Yoo Eun, aku merasa sangat pusing,” wanita itu berujar.
“Kau harus cepat-cepat pulang,” ujarku membantunya berdiri.
“Tapi hari ini tugasku membersihkan ruangan.”
“Aku yang akan bersihkan,” jawabku.
Dia menatapku ragu. “Kau yakin? Ruang makan di depan cukup besar, Nak.”
“Aku tidak akan tega jika kau yang mengerjakannya,” jawabku. Aku berbalik dan melihat salah satu rekan kerjaku yang sudah memakai jaket, bersiap untuk pulang. “Hei, bisa minta tolong?”
Namja berambut hitam itu berjalan mendekatiku. “Ada apa?”
“Eomma tiba-tiba sakit. Bisa kau antar dia pulang?”
“Oh! Tentu saja! Ayo, Eomma, kuantar kau pulang,” dia pun menggandeng lengan chef senior kami untuk ikut pulang bersamanya.
Aku pun kembali ke ruang makan dengan sapu, dua kain dan dua pembersih kaca. Taehyung, yang muncul dari belakang dan siap untuk pulang, melihatku yang sudah sibuk membersihkan meja. Dia meletakkan tasnya dan berjalan mendekatiku.
“Kau tidak pulang?” dia bertanya, membuatku sedikit terkejut.
“Belum,” jawabku.
Taehyung menoleh ke arah salah satu papan yang merupakan jadwal piket alias pembagian tugas kami masing-masing. “Tapi, kan malam ini bukan giliranmu piket malam,” dia kembali menatapku.
“Eomma tiba-tiba sakit, aku tidak tega melihatnya, jadi aku suruh dia pulang lebih cepat.”
“Oh,” Taehyung paham. “Boleh kubantu?”
Aku menoleh ke arahnya dengan sedikit ragu. “Kau yakin? Ini hari pertamamu bekerja dan aku tidak ingin kau kelelahan,” aku meragukan niatnya.
“Tidak apa-apa. Laki-laki macam apa aku ini kalau tega meninggalkan perempuan sendirian malam-malam begini?” dia berujar sambil mengambil salah satu kain dan pembersih kaca dariku.
Aku terdiam, sedikit terpaku dengan senyum tipisnya. Dia pun berjalan ke arah salah satu jendela dan mulai membersihkannya. Mudah baginya membersihkan kaca bagian atas karena dia sangatlah tinggi, sementara aku harus naik ke atas kursi untuk dapat membersihkannya.
Di sela-sela kesibukan masing-masing, diam-diam aku meliriknya. Lagi-lagi aku merasa takjub dan tidak percaya bahwa dia mirip dengan Jeongmin, semua yang ada pada dirinya sangatlah mirip. Itu alasan pertama, alasan kedua adalah aku masih tidak percaya sekarang kami menjadi teman kerja, menjalin hubungan baru dan…
…kami akan lebih sering menghabiskan waktu bersama.
Setengah jam sudah berlalu dan pekerjaan ‘dadakan’ kami akhirnya selesai. Kami mengembalikan alat-alat kebersihan dan aku mematikan lampu restoran kemudian keluar, mengunci pintu restoran.
“Terima kasih sudah membantu,” ujarku.
Taehyung mengangguk. “Tidak masalah.”
Tiba-tiba perutku berbunyi, bunyi keroncongan itu terdengar begitu jelas sampai kami mendengarnya. Aku menatapnya dengan mata terbuka lebar, aku merasa pipiku memerah dan aku merasa malu setengah mati berdiri di hadapannya.
Dia tertawa sedikit. “Neo baegophae? (Kau lapar?)”
“He he…” aku nyengir bego. “Ya, begitulah.”
“Ayo, kutrakir kau makan,” dia berujar, mulai mengambil langkah. “Nanti kuantar kau pulang.”
“Eh? Kau yakin?” aku bertanya sambil menyusul langkah panjangnya.
“Iya, kalau kau pingsan di tengah jalan bagaimana? Apa jadinya perempuan kelayapan malam-malam begini?”
Aku menghela nafas, menuruti kemauannya.
Langkah demi langkah sudah kami lampaui dan akhirnya kami berhenti di salahs satu food court kecil di pinggir jalan. Aku memesan jjajangmyeon sementara Taehyung memesan bibimpap. Kami duduk berhadapan namun aku merasa sedikit canggung di hadapannya.
“Kamu kenapa? Kedinginan?” Taehyung memecah keheningan.
Aku tersenyum dan menggeleng. “Kau terlalu baik. Kau tahu?”
Dia tertawa singkat. “Sudahlah, anggap saja ini perayaan kecil-kecilan aku mendapat pekerjaan dan mendapat teman dekat baru,” dia menjawab.
Aku ikut tertawa dan sadar jika kata-kata manisnya.
Pesanan kami datang dan aku tidak langsung memakannya sementara Taehyung sudah makan duluan. Taehyung melihatku yang hanya terdiam dan bertanya, “Kau kenapa?”
“Kau terlalu berlebihan,” aku menutup wajahku, tertawa menahan malu.
“Kau lucu sekali,” dia berkomentar. “Hei, kau sudah harus membiasakan diri denganku yang suka mentraktir orang. Aku suka sekali mentraktir orang makan bersama.”
“Jinjja?”
Dia mengangguk. “Aku senang membuat orang bahagia dan ceria.”
Aku tersenyum dan mulai memakan pesanananku.
“Gomawo, Taehyung,” aku berujar ketika kami pergi dari food court beberapa menit kemudian.
Dia mengangguk. “Kuantar kau pulang, ya?”
Aku menatapnya dan menaikkan salah satu alis, seolah bertanya ‘Kau yakin?’
“Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi. Kau masih ingat, kan, kasus pembunuhan di Gangnam setengah bulan yang lalu?”
Aku tahu betul berita itu dan langsung merinding. Aku mudah merasa takut dan khawatir, apalagi dua minggu terakhir ini banyak kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual yang terjadi di Korea Selatan juga beberapa negara di kawasan Asia. “Kumohon, jangan ingatkan aku berita aku,” aku memeluk diriku sendiri. “Aku mudah merasa takut.”
Taehyung tertawa singkat dan menelepon taksi. Beberapa menit kemudian, taksi datang.
Ketika sampai di rumah, Taehyung membayar dan ikut turun, membuatku bingung. Yang membuatku semakin bingung dia membiarkan taksi melaju pergi. Aku menatap ke arahnya dengan bingung ketika dia berdiri tepat di sampingku. “Mwo?” dia bertanya.
“Kau pulang naik apa?”
“Oh, aku belum bilang, ya?” dia tersenyum. “Rumahku tidak jauh dari rumahmu. Rumahku hanya beberapa blok dari sini. Aku baru pindah beberapa hari yang lalu.”
Aku tersenyum dan tertawa senang mendengarnya, tidak percaya jika sekarang kami juga menjadi tetangga. “Waaw…” aku berujar takjub.
“Kita jadi tetangga, deh,” Taehyung berujar dan aku tertawa.
“Terima kasih sudah membayar semuanya, juga mengantarku pulang. Kau kelewat baik,” ujarku dan dia hanya tersenyum. “Aku masuk ke dalam, ya.”
Taehyung mengangguk dan membungkukkan badan. “Annyeong.”
Aku balas membungkuk. “Annyeong.”
Kemudian kami jalan masing-masing. Ketika membuka pintu, aku menoleh ke arah Taehyung yang jaraknya sudah sedikit jauh, berjalan mundur lalu melambaikan tangannya ke arahku. Aku tersenyum dan membalasnya dengan lambaian tangan yang sama.