Sore ini aku menyempatkan diri untuk mengunjungi makam Jeongmin sepulang kerja. Kulihat di atas makamnya terdapat taburan bunga yang masih segar, itu berarti baru saja ada orang yang mengunjungi tempat ini.
Aku berlutut di samping makam Jeongmin. Aku menyentuh dan mengelus salib berwarna abu-abu itu. “Hei, Jeongmin-ah,” aku menyapanya. “Apa kabar di sana? Lebih baik daripada di sini, kan?”
Aku terdiam selama beberapa detik.
“Kau tahu? Dua hari ini aku bertemu dengan pelanggan yang wajahnya sangat mirip denganmu. Semuanya mirip denganmu, mata, hidung bahkan suaranya mirip denganmu. Kira-kira… kira-kira dia siapa, ya?”
Aku menghela nafas dan terdiam, seolah menunggu jawaban darinya. “Apa kamu merencanakan sesuatu untukku?”
Aku berada di sini selama beberapa menit, termenung sambil mengelus salib dengan pikiran yang melayang ke mana-mana. Aku mencium salibnya kemudian berdiri, tersenyum ke arahnya dan pergi.
Beberapa minggu sudah terlewati dan entah kenapa aku selalu menunggu kehadiran laki-laki itu. Aku semakin sering mengintip dari jendela setelah mengantar makanan, berjalan beberapa langkah ketika aku mengantar makanan di meja luar atau mengintip suasana ruang makan dari dalam dapur, mencari keberadaannya. Merasa hopeless alias tidak ada harapan, akhirnya aku melupakan keinginan untuk bertemu dengan laki-lak itu lagi.
“Barangkali dia cuma turis,” aku bergumam
Pagi ini, entah kenapa kepala restoran memintaku, mungkin juga teman-teman kerjaku, untuk datang lebih awal sebelum restoran dibuka. Aku langsung berpikir macam-macam. Ada apa ini? Apakah aku dalam masalah? Apakah aku melakukan kesalahan ketika bekerja? Apakah insiden aku terpeleset dan memecahkan piring dan gelas itu masih diingat oleh kepala restoran. “Yah~ itu kan dua minggu yang lalu. Masa dia masih mempermasalahkannya?” aku bergumam sambil bersiap diri kemudian berangkat ke tempat kerja.
Turun dari bus, aku melihat salah satu rekanku yang bekerja sebagai waiters. Kami pun berjalan bersama menuju restoran. “Apakah kita melakukan kesalahan hingga dipanggil begini?” aku bertanya padanya.
“Tidak, kita tidak melakukan kesalahan,” jawabnya.
“Lalu?”
“Katanya akan ada karyawan baru yang menggantikan Sojin.”
Kedua mataku terbelalak. “Apa?”
Sesampainya di sana, semua karyawan restoran kecil ini sudah berkumpul di ruang makan bersama kepala restoran kami. Aku langsung berdiri di sebelah ahjumma yang bekerja sebagai chef yang biasa kupanggil ‘eomma’ itu. “Eomma?” aku berbisik. “Katanya ada karyawan baru, ya?”
Wanita berusia empat puluh lima tahun itu mengangguk. “Kau pasti cocok dengannya.”
Aku menatapnya heran, benar-benar heran dan bingung. “Hah?”
“Selamat pagi semua!” kepala restoran kami menyapa dan kami menyapa dengan ucapan yang sama. “Jadi, saya ingin mengucapkan terima kasih karena kalian datang tepat waktu pagi ini. Tujuan saya pagi ini adalah untuk memperkenalkan kalian tentang karyawan, teman baru kerja kalian.”
Aku langsung penasaran, siapa member baru di sini?
Aku, mungkin juga beberapa teman kerjaku, menghela nafas dan sama-sama terkejut ketika tahu siapa yang menjadi anggota baru di sini. Dari dalam sebuah bilik, muncul laki-laki itu, laki-laki kembaran Jeongmin yang sudah memakai seragam kerja restoran ini. Dia tersenyum ramah kepada kami dan berdiri di samping kepala restoran kami.
“Annyeonghaseo, nae iremeun Kim Taehyung-imnida. Manaseo ban gawoyo. (Selamat pagi, nama saya Kim Taehyung. Senang bertemu dengan kalian,” dia membungkuk, memperkenalkan namanya.
Sedetik pun aku tidak pernah melepaskan pandanganku ke arah laki-laki yang ternyata bernama Taehyung ini. Aku masih tidak percaya dia, yang selalu aku tunggu kedatangannya sebagai ‘pelanggan’, kini akhirnya benar-benar datang dan statusnya berubah menjadi ‘pelayan’ sama sepertiku.
“Saya mohon kerja sama kalian dengan Taehyung-sshi. Dia akan bekerja sebagai penjaga kasir di sini. Mengerti?” kepala restoran kami berucap dan kami mengangguk patuh. “Oke. Terima kasih atas kerja sama kalian pagi ini. Selamat bekerja,” kemudian kepala restoran kami meninggalkan kami dan beberapa di antara kami menyambut kedatangan Taehyung dengan ramah serta memperkenalkan diri masing-masing.
Aku masih berdiri di tempat sampai aku sadar jika kini Taehyung melayangkan pandangan ke arahku. Sadar jika dia mendekatiku sambil tersenyum ke arahku, aku langsung menghindari kontak mata selama beberapa detik sebelum akhirnya aku berusaha agar terlihat biasa.
“Hai,” dia menyapaku sambil membungkukkan badan sedikit. “Taehyung-imnida.”
Aku tersenyum dan membungkukkan badan. “Eunhwa-imnida.”
Kami diam selama satu hingga tiga detik sampai aku berkata, “Jadi, apa yang membuatmu ingin kerja di sini?”
“Aku suka restoran ini, besar dan nyaman,” dia menjawab. “Aku juga mulai berpikir untuk menambah uang saku.”
“Well,” aku berujar sambil mengambil nafas, berusaha tenang meskipun sebenarnya aku grogi di hadapannya. “Aku tidak pernah menyangka kamu akan bekerja di sini.”
“Oh? Kau takut aku menyaingimu di sini? Atau kamu tidak suka aku di sini?”
“Apa? Bukan-bukan!” buru-buru aku membenarkan jalan pikirnya. “Maksudku, aku tidak pernah menyangka… Aduh! Bagaimana, ya, menjelaskannya?”
Tiba-tiba dia terkekeh.
Aku menatapnya bingung. “Wae usneun geoya? (Kenapa tertawa?)”
“Aku hanya bercanda, tapi kenapa kamu menanggapinya serius?”
Aku ikut tersenyum dan sedikit tertawa. “By the way,” aku berujar sambil berjalan menuju belakang kasir. “Kau bisa menggunakan mesin ini?”
Taehyung menyusul dan berdiri di sampingku. Dia menganggukkan kepala. “Bisa. Aku dulu juga pernah bekerja di salah satu restoran kecil di Busan dan aku menjadi penjaga kasir.”
“Oh? Kamu keluar atau…”
“Aku dikeluarkan,” dia melanjutkan ucapanku.
“Wae?”
“Aku dituduh mencuri uang. Dan teman-teman kerjaku seperti membenciku tanpa alasan.”
Alasannya lumayan membuatku terkejut. “Maaf.”
“Tidak masalah,” Taehyung tersenyum.
“Taehyung-sshi!” tiba-tiba rekanku yang bekerja sebagai membuat dessert memanggil. “Besok kita makan malam bersama di sini, ya? Hitung-hitung sebagai perayaan kecil menyambut kedatanganmu di sini.”
Taehyung tersenyum. “Ah, benarkah? Apa tidak merepotkan?”
“Tidak sama sekali. Tenang saja.”
Taehyung tertawa dan mengangguk. “Arraseo. Kamsahamnidah.”
“Tenang saja, semua orang di sini ramah dan mudah bergaul. Kau akan nyaman di sini,” ujarku dan dia hanya bisa tersenyum.
“Dulu sebenarnya aku juga ingin bekerja sebagai penjaga kasir,” aku berujar.
“Lalu? Kenapa tidak? Kenapa malah jadi pelayan?”
“Aku sadar diri jika aku suka uang, aku takutnya restoranku bangkrut jika setiap hari aku mengambil uang sedikit demi sedikit,” candaku dan dia tertawa. “Tidak, tidak. Aku hanya bercanda.”
“Astaga,” Taehyung berkata.
“Kau masih ingat perempuan yang bekerja di sini dulu?” aku bertanya dan dia mengangguk. “Dia sahabatku selama aku kerja di sini dan sekarang dia pindah ke Jepang.”
“Kau pasti merindukannya,” Taehyung berujar setelah kami diam selama beberapa detik.
Aku mengangguk.
“Tenang saja,” Taehyung menepuk pundakku. “Aku akan berusaha membuatmu semangat dan ceria lagi.”
Aku menoleh dan tersenyum ke arahnya.
“Tapi dia tetap menjadi sahabat sejatimu, aku tidak tega menggantikan posisinya,” dia tiba-tiba memberi peringatan dan aku tertawa dibuatnya.
“Arraseo,” aku berujar. “Selamat datang, Kim Taehyung.”