Berbulan-bulan sudah berlalu dan aku mulai bisa mengikhlaskan sosok Jeongmin. Aku mulai kembali bersemangat, mulai tidak mudah menangis jika mengingat mendiang Jeongmin. Cincin yang diberikan Jeongmin padaku sudah aku kembalikan, aku letakkan di atas makamnya. Aku sudah mulai tidak mudah depresi mengingat kepergian Jeongmin.
Pekerjaan hari ini berlangsung lancar. Semua pelanggan antri dengan rapi dan tidak ada yang menyerobot. Tiap kali aku mengantarkan makanan dari meja ke meja, para pelanggan selalu tersenyum dan tidak pernah lupa mengucapkan terima kasih. Hal sederhana seperti itu saja sudah membuatku senang dan lebih baik, mungkin membuatku lupa bahwa aku kehilangan Jeongmin beberapa bulan yang lalu.
Semua berjalan mulus sampai Aku terus sibuk mengantar pesanan dari meja ke meja sampai tidak sadar, tidak mendengar gemerincing bel pintu terdengar, menandakan ada pelanggan yang masuk. Pelanggan laki-laki itu berjalan melewatiku yang sedang sibuk membersihkan meja. Dia berjalan lurus ke kasir.
“Selamat siang. Anda mau…” Sojin, yang bekerja di kasir, terhenti bicaranya ketika pria itu berdiri tepat di depannya. “…pesan apa?”
“Saya mau pesan lasagna dan vanilla late coffe,” jawab pria itu.
“B… Baik,” Sojin menulis pesananan dan memberitahu harganya. Pria itu pun membayarnya dan Sojin memberinya nomor meja. “Pesanan Anda akan datang sepuluh menit lagi. Terima kasih.”
Laki-laki itu tersenyum dan mengangguk, lalu berjalan ke mejanya, meja nomor sepuluh.
Aku, yang baru saja selesai mengangkat piring kotor, berbalik badan dan tiba-tiba melihat laki-laki itu berjalan lurus ke arahku. Terkejut dengan sosoknya kemudian berseru “APA?!” lalu terpeleset, disertai suara pecahan gelas dan piring yang langsung menarik perhatian seisi restoran.
“Omaya… (Astaga…)” aku berbisik, menahan malu sambil membersihkan pecahan kaca di atas lantai. Sungguh memalukan!
“Gwaenchana?” laki-laki itu bertanya sambil menunduk.
Aku menatapnya dan terpaku ketika sadar bahwa laki-laki sangatlah mirip dengan mendiang Jeongmin. Lengkap dengan tahi lalat di hidungnya dan di bawah bibirnya. What the hell?
“Hey?” dia melambaikan tangannya di hadapanku. “Nona?”
Aku mengerjap-erjapkan mataku, kembali ke alam sadarku. “Ah! Ne, naneun gwaenchana (Iya, aku baik-baik saja),” jawabku sambil melanjutkan membersihkan pecahan yang masih tersisa. “Anda bisa duduk di meja Anda.”
“Yakin tidak mau dibantu?”
Aku tersenyum tipis. “Iya, saya yakin. Anda bisa duduk di meja Anda sekarang dan saya akan antarkan pesanan Anda.”
Dia mengangguk dan berjalan menuju tempat duduknya.
“Kau lihat dia?!” Sojin bertanya tepat saat aku masuk ke dapur.
“Iya! Dia… dia sangat mirip dengan Jeongmin!” aku berseru.
Kami sama sekali tidak percaya dengan apa yang baru saja kami lihat, kami baru saja melihat orang yang sama persis dengan Jeongmin. “Apa Jeongmin punya saudara kembar?” Sojin bertanya.
“Jika dia punya saudara kembar, aku pasti sudah tahu sejak dulu, sejak aku mengenal Jeongmin,” aku menjelaskan. “Jeongmin itu anak tunggal, dia tidak punya kakak atau adik.”
“Ahhh~ kau benar,” Sojin berkata.
Kami terdiam selama beberapa saat, memikirkan apa yang baru saja terjadi. “Sebenarnya ada apa, sih?” aku berujar.
DING! DING! DING! Lonceng dibunyikan.
“Pesananan meja nomor lima belas! Lasagna dan vanilla late coffe!” chef berseru.
“Arraseo! (Baik!)” aku berseru ke arah chef kami.
“Hati-hati, jangan terpeleset lagi,” chef itu berkata sambil memberikan menu pesanan sambil tersenyum padaku.
Aku tertawa. “Tenang saja,” jawabku lalu berjalan keluar dari dapur.
“Ah.. meja berapa?” aku bertanya ketika kembali muncul di dapur.
“MEJA NOMOR LIMA BELAS!” seisi dapur, termasuk Sojin, berseru padaku dan aku tertawa, hobi sekali menggoda mereka.
Aku menyapu seluruh ruang makan, mencari meja bernomor lima belas itu. “Nomor lima belas, nomor lima belas,” aku bergumam, “Nomor lima bel- APA?!” aku tercekat ketika sadar siapa yang duduk di meja nomor lima belas. Yang duduk di sana adalah laki-laki yang berwajah sama persis dengan Jeongmin.
Tiba-tiba aku menjadi grogi dan tanganku bergetar ketika berjalan ke arahnya. Astaga, semakin aku mendekatinya, dia semakin mirip dengan Jeongmin. “Permisi?” aku bertanya ketika sampai di meja tersebut.
Laki-laki itu mendongak dan tersenyum ke arahku. Astaga, senyumnya juga mirip, aku berkata dalam hati. “Ummm.. Lasagna dan vanilla late coffe?” aku memastikan pesanannya dan dia mengangguk.
“Ya! Benar.”
Aku tersenyum dan meletakkan pesanannya. “Ada yang lain yang bisa saya bantu?”
“Ah, iya,” jawabnya. “Tolong hati-hati ketika berjalan, aku sangat terkejut ketika kamu jatuh tadi.”
Aku hampir tertawa namun aku menahannya. “Aku juga terkejut gara-gara kamu,” bisikku.
Dan dia mendengarnya. “Apa?”
“Ah! Tidak ada apa-apa!” aku langsung menjawab. “Terima kasih sarannya.”
Dia tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih pesanannya.”
“Silahkan dinikmati hidangannya!”
Dan aku melesat menuju dapur.
Aku terus bekerja, mengantarkan makanan dan minuman dari satu meja ke meja yang lain. Sesekali aku melirik ke arah ‘saudara kembar’ Jeongmin yang menikmati makanannya sambil membaca sebuah buku. Dia sangat mirip dengan Jeongmin, rambutnya, matanya, hidungnya, senyumnya, tawanya dan kurasa semua yang ada pada dirinya.
Ketika aku diam-diam menatapnya, dia tiba-tiba menoleh ke arahku dan tersenyum ke arahku. Salah tingkah, aku buru-buru menghindari kontak matanya dan secara tidak sadar meminum kopi sisa yang kubawa. “Akh! Pahit! Pahit!” aku bergidik, membuat beberapa pelanggan, Sojin yang ada di kasir tertawa melihatku.
Oh? Laki-laki itu juga ikut tertawa.
Bodoh sekali aku, aku berujar sambil ikut tertawa, menahan malu.
Namun entah kenapa aku merasa senang bisa membuat laki-laki itu tertawa.
Beberapa saat kemudian, laki-laki itu menghabiskan makanannya dan berdiri dari tempatnya lalu berjalan keluar. Aku yang sibuk membersihkan meja di luar langsung terkejut ketika dia sudah berada di belakangku, ketika aku berbalik badan. “Astaga!” seruku sambil memegang meja.
“Ummm… Ada yang salah?” dia bertanya sambil tersenyum.
“Tidak, tidak ada apa-apa,” jawabku, berbohong.
“Ada yang salah denganku? Atau wajahku? Kelihatannya kamu selalu terkejut ketika melihatku,” dia berkata lagi.
Aku terkekeh, merasa sedikit canggung. “Tidak, kok, Anda baik-baik saja.”
“Jangan pakai ‘Anda’ atau ‘Saya’,” dia memohon. “Pakai ‘Aku’ ‘Kamu’ saja.”
“Huh? Tapi, kan…”
“Jika kamu melakukannya, aku akan sering-sering datang kemari,” dia memotong halus dan entah kenapa aku merasa senang mendengar tawarannya.
“Oh…” aku mendandak menjadi blank. “Baiklah kalau begitu.”
Astaga, dia sangat mirip dengan Jeongmin, berbicara dengannya seperti ini sama seperti aku berbicara dengan Jeongmin.
“Oke, aku harus pergi sekarang,” dia berkata. “Terima kasih, ya. Makanannya enak.”
Aku tersenyum. “Sering-seringlah kemari.”
Dia tertawa dan membungkukkan badan. “Annyeong.”
Aku membalasnya dengan bungkukkan yang sama. “Annyeong.”
Dia melambaikan tangan dan berjalan pergi.