Aku mendongak ke atas dan melihat langit tiba-tiba sudah berubah mendung, faktanya beberapa menit yang lalu matahari masih dengan bangganya memperlihatkan sinarnya. Entah apa yang dipikirkan oleh Matahari hingga digantikan oleh si Mendung. Sedikit demi sedikit air hujan mulai jatuh membasahi bumi.
Hujan hampir membasahi seluruh tubuhku sampai sebuah payung berada di atasku,
“Eunwha-ah?” seorang gadis memanggilku.
Aku menoleh ke samping dan melihat Sojin, gadis berusia sembilan belas tahun itu sudah berdiri di sampingku. “Ayo pulang,” dia mengajakku. “Hujan semakin lebat.”
Aku terdiam selama beberapa saat dan akhirnya meninggalkan tempat pemakaman.
Sojin memelukku ketika kami ada di dalam mobil. “Aku turut berduka cita,” dia berkata.
Aku mengangguk dan memelukknya balik. “Aku… Aku sama sekali tidak berpikir ini akan terjadi.”
Dia melepas pelukan dan memegang pipiku. “Semua pun tidak memikirkannya,” dia berkata. “Stay strong, okay?”
Aku memaksakan sebuah senyuman dan menyeka air mata yang kembali mengalir. “Aku akan merindukannya.”
Sahabatku, Park Joengmin, meninggal karena kecelakaan mobil. Dia dalam perjalanan menuju restoran yang sudah kami janjikan untuk merayakan ulang tahunku yang kesembilan belas tahun.
Sebenarnya aku punya banyak teman, baik di kampus maupun dunia maya dan di salah satu restoran tempat aku bekerja. Tapi hanyalah Jeongmin yang memahamiku, dia orang yang paling aku percaya setelah kedua orang tuaku. Dia yang mampu mengubah tangisku menjadi tawa, mengubah perasaan takutku hilang, membuatku tertawa dengan leluconnya dan melindungiku seolah dia ayahku.
Jeongmin dan aku sangat menyukai bulan purnama, tidak ada alasan tertentu, namun kami sangat suka bulan purnama. Namun kali ini bulan purnama memberikanku kejadian yang membuatku sangat terpukul, Jeongmin meninggal dunia.
-Flashback-
“Jeongmin,” aku menangis sambil menggenggam tangannya.
Malam ini Jeongmin masih ada di rumah sakit, terbaring tak berdaya di atas kasur pasien, kausnya penuh dengan darah dan nafasnya sesak, dia kesulitan bernafas. Dia… dia sekarat.
“Eunwha-ah?” dia memanggilku.
“Ne?” aku mendekat padanya.
Dia menyeka air mataku. “Kenapa menangis? Tidak ada yang perlu ditangisi.”
“Kumohon, tetaplah bangun dan jangan tinggalkan aku.
“Siapa bilang aku akan pergi? Aku tidak akan ke mana-mana,” dia tersenyum. “Kemari.” Dia merengkuh leherku. “Selamat ulang tahun, Princess. Tetaplah ceria dan selalu berpikiran positif. Selalu tersenyum pada siapapun, dalam situasi apapun, aku ingin kamu tetap kuat karena kamu gadis terkuat yang pernah aku kenal.”
Aku menangis dan membenamkan wajahku pada dadanya. Dia mencium kepalaku dan berkata dengan nafas terakhirnya, “Aku harus istirahat. Aku sangat lelah.”
Perlahan detak jantungnya melemah, melemah… menghilang.
“JEONGMIN!!!!”
-End of flashback-
Aku duduk di depan meja tulisku. Aku menatap lurus ke depan, tepat ke arah bulan purnama yang malam ini terlihat begitu jelas lewat jendela kamarku. Aku menatap ke arah bulan selama beberapa menit, terdiam sejak beberapa saat yang lalu. Pikiranku melayang ke mana-mana. Aku berdiri dan menutup jendela dengan gorden. Untuk beberapa waktu, atau mulai sejak saat ini, aku mulai membenci bulan purnama.
Pagi ini aku bangun dengan keadaan.. astaga, berantakan. Kepalaku pusing, mataku bengkak karena menangis semalaman. Aku menghembuskan nafas capek, sadar lagi bahwa Jeongmin sudah tidak ada. “Astaga, ini akan berat,” aku mengeluh.
Beberapa jam kemudian, selesai mandi, aku langsung sarapan dan berangkat kerja.
Sesampainya di tempat kerja, Sojin menyambut kedatanganku dan melihat ada yang aneh dengan wajahku. “Kamu tampak lelah,” dia berkata.
Aku tersenyum lemah. “Kamu tahu alasannya, kan?”
Dia menepuk-nepuk bahuku. “Hanya awalnya, aku kamu bisa melewatinya. Stay strong, Baby.”
Aku tersenyum ke arahnya. “Thank you.”
Dia tersenyum. “Cepat! Ganti baju!”