home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction

Home

Share:
Author : atanasiarefa
Published : 28 May 2016, Updated : 11 Jun 2016
Cast : BTS Member - Lim Hyun Ra (OC)
Tags :
Status : Complete
1 Subscribes |2182 Views |1 Loves
Home
CHAPTER 7 : Replacement Ring

Esok paginya, aku terbangun dari tidurku. Aku tidak pernah merasakan pagi se-segar dan kasur senyaman ini selama beberapa minggu terakhir, lebih tepatnya semenjak aku pindah ke rumah pacarku. Aku benar-benar sudah terbangun tapi aku masih ingin berbaring di sini untuk beberapa waktu yang lama. Aku mengambil bantal yang cukup besar dan super empuk lalu memeluknya, membenamkan wajahku pada bantal itu. Aku tersenyum, sedikit terkekeh. Untuk kedua kalinya aku katakan, aku tidak pernah merasa senyaman ini.

Ketika aku terduduk, di atas kasur aku melihat handuk, beberapa perlengkapan mandi dan pakaian lengkap. Di atasnya terdapat kertas bertuliskan: ‘Kuharap baju ini sesuai ukuranmu. Jin.’ Aku tersenyum dan segera mandi.

Selesai mandi, aku mengeringkan rambut dan menyisirnya. Kemudian aku mendengar suara dari arah luar, sudah pasti BTS dan aku berjalan keluar. Aku melihat mereka sedang asyik menonton televisi.

“Oh! Hyun Ra!” Jimin yang pertama melihatku.

Aku tersenyum sambil berjalan mendekati mereka.

Yah~ yah~ yah~” Taehyung mendekatiku sambil memegang kedua bahuku dari belakang dan menuntun jalanku. “Seharusnya kamu minta bantuan.”

“Aku bukan bayi yang harus dituntun,” ujarku.

“Tidak, kamu tetap bayi bagi kami,” Taehyung menyahut cepat.

Mwoya?” aku terkekeh sambil menoleh ke arahnya.

“Sudah lebih baik?” Hoseok bertanya saat aku duduk di sofa.

Aku mengangguk. “Tadi malam Jin membantuku menyembuhkannya.”

Aku baru sadar jika Jin tidak ada di sini. “Mana dia?”

“Di sini,” jawab Jin muncul dari belakangku. Dia berjalan dan duduk di sampingku. Aku pun menyandarkan kepala pada pundak Jin, terdiam dan memikirkan sesuatu. “Bagaimana kalau kita jalan-jalan?” aku bertanya.

“Kau yakin?” Jungkook bertanya. “Dengan luka di tubuhmu?”

“Kalau aku hanya diam saja, semua semakin terasa sakit, aku butuh bergerak,” jawabku.

“Kau ingin jalan-jalan?” Jin bertanya.

Aku menatapnya dan mengangguk. “Jebal?

“Oke, oke,” Jin menjawab. “Denganku, oke?”

“Eh? Yang lainnya?” tanyaku.

“Kalian butuh waktu berdua,” Jimin menjawab. “Kita bisa pergi kapan-kapan.”

“Lagipula, Jin Hyung selalu berharap untuk bisa jalan-jalan berdua denganmu, dia membicarakanmu setiap hari,” Yoongi berkata dan seluruh member BTS langsung menggoda Jin yang sudah sibuk menahan rasa malunya. Ketika aku mendongak ke arahnya dan pipinya sudah merah merona.

Jin memang menahan malu, tapi dia hanya diam dan bersikap dingin sementara tatapan tajamnya mengarah pada keenam adik laki-lakinya yang perlahan berhenti tertawa. “Mian…” Taehyung berujar.

“Malam ini kalian masak sendiri, arra?” Jin tersenyum sirik ke arah mereka dan langsung melesat menuju kamarnya untuk berganti pakaian sementara aku tertawa melihat keenam adiknya yang langsung sibuk menyalahkan satu sama lain.

“Tenang, dia hanya bercanda,” aku berujar.

“Jangan ada yang masuk ke dapur! Kalian akan tahu akibatnya!” Jin langsung berseru dari dalam kamarnya, membuatku terkejut.

“Tidak, dia tidak bercanda,” Jungkook menimpali.

“Dia seratus persen serius,” Namjoon ikut berbicara.

 

Beberapa menit setelahnya, Jin dan aku sudah berada di dalam mobil.

“Oppa?” aku memanggilnya. “Kita mau ke mana?”

“Kamu mau ke mana?” Jin balik bertanya.

“Ummm…” aku berpikir selama beberapa detik. “Hangang Park?”

“Oke.”

Perjalanan menuju Hangang Park memang sedikit lama tapi kami sama sekali tidak merasa bosan karena sepanjang perjalanan kami terus mengobrol bahkan bercanda sampai tertawa terbahak-bahak.

Beberapa saat setelahnya, kami sampai dan keluar dari dalam mobil. Begitu menutup pintu mobilku, Jin langsung meraih tanganku dan menggenggamnya, membuatku sedikit terkejut namun langsung merasa aman dibuatnya.

Pemandangan sekitar sungai Hangang terlihat indah ditambah udara yang sejuk pagi ini. Tidak ada percakapan antara kami berdua, kami hanya saling melirik, melempar senyum dan pandangan malu lalu berakhir dengan gelakan tawa sederhana. Aku merangkul dan menyandarkan kepalaku pada lengan Jin, mencari ketenangan dan kedamaian yang selama ini selalu aku cari.

“Hyun Ra?” Jin memanggil ketika kami duduk di salah satu bangku.

Aku mendongak ke arahnya. “Ne?

“Boleh aku lihat lenganmu?”

Aku menghembuskan nafas dan mengangguk. Aku melipat lengan kausku dan menunjukkan bekas sayatan yang diberikan mantan pacarku, tidak hanya satu sayatan, melainkan tiga. Tiga sayatan yang cukup panjang dan membutuhkan waktu lama untuk benar-benar hilang dari kulitku. Jin memegang lenganku dan menatap lukaku dengan pandangan miris.

“Dia benar-benar gila,” dia berujar sambil mengelus lenganku.

“Setidaknya aku sudah terhindar dari orang gila itu,” aku berujar.

Jin terdiam dan mengelus pipiku. “Hyun Ra?”

Aku mendongak dan menatapnya lagi.

“Jika kamu tidak keberatan, bisa kamu katakan alasan kamu tidak mau putus dengan dia? Apa alasan kamu tetap bertahan sampai selama ini padahal nyatanya dia sudah sering melukaimu?”

Aku masih menatapnya dan aku merasa detak jantungku mulai berdegup kencang. “Kau yakin mau dengar alasannya?” aku balik bertanya.

Jin mengangguk mantap.

Aku meraih tangannya dan meletakkannya di perutku. Butuh beberapa waktu bagi Jin untuk menyadari dan menangkap maksudku. Dia menatap perutku dan kembali menatapku lagi dengan pandangan bingung lalu berubah menjadi terkejut.

“Itu alasannya,” aku berujar dan air mata langsung membasahi pipiku.

Jin langsung memelukku erat dan aku semakin menangis keras dibuatnya. Aku meremas kausnya dan perlahan aku merasa sangat buruk di hadapannya. Aku melepas pelukannya tiba-tiba dan berdiri, membuatnya bingung.

“Aku merasa sangat buruk di hadapanmu sekarang,” aku berujar.

“Hyun Ra,” dia berdiri dan aku mulai melangkah mundur.

“Aku merasa sangat kotor,” aku melanjutkan sambil mengusap air mataku.

Jin langsung menggeleng dan berusaha mendekatiku. “Aku bahkan tidak menganggapmu seperti itu,” dia berkata dan entah kenapa air mataku mengalir semakin deras.

“Aku merasa seperti sampah berdiri di depanmu,” aku berbisik dan berlari.

Jin mengejarku, dia mempercepat langkahnya dan aku pada akhirnya kalah cepat. Kedua lengannya menarik tubuhku dan kembali membawaku dalam dekapannya. Aku mencoba lepas namun dia mengencangkan pelukannya.

“Kim Seokjin…”

“Ssssh!” dia menyuruhku diam dan aku menurut dibuatnya. “Asal kamu tahu, aku tidak langsung menganggapmu buruk, kamu tetap sama untukku, kamu tidak berbeda.”

“Tapi… tapi…” aku mencoba lepas dan dia menyerah. Aku mendongak untuk menatapnya. “Aku sudah… aku sudah…”

“Aku tidak peduli,” dia memegang bahu dan mendekatkan wajahnya padaku. “Untukku, kamu tetaplah Lim Hyun Ra yang sama, gadis ceria yang selama ini selalu aku tunggu-tunggu kehadirannya, yang aku tunggu-tunggu keberadaannya.”

Jin, dia… dia membuatku terkejut dengan kata-kata manisnya meskipun aku tidak pernah meminta darinya.

“Kumohon, jangan pernah merasa dirimu rendah atau buruk, aku tidak akan pernah mempermasalahkannya. Mengerti?” dia menyeka air mataku.

“Oppa…”

Dia menciumku lembut, membuatku diam dengan caranya yang selalu tidak terduga. Aku memejamkan mata dan ‘menyerahkan’ diriku padanya untuk beberapa saat. Tanganku memegang pipinya sementara kedua tangannya memegang pinggangku.

Dia menatapku kemudian memegang tangan kiriku, menatap cincin pernikahan yang masih kupakai. Dia terlihat membencinya lalu melepasnya dari jariku kemudian melemparnya jauh dan masuk ke dalam sungai. “Aku tidak ingin jarimu kotor gara-gara cincin berkarat dan murahan itu,” ujarnya mengelus-elus jari manisku.

“Hyun Ra,” dia berujar dan berdiri, sedikit menjauh dariku. “Aku harap ini tidak terlalu cepat.”

Aku mengerutkan dahi, bingung sekaligus penasaran dengan ungkapannya.

Dia meraih saku celananya dan mengambil kotak merah. Dia membukanya dan aku melihat cincin perak di dalamnya. Aku menutup mulutku, menahan rasa kagetku dan dia tertawa melihat reaksiku.

“Aku… aku sebenarnya sudah membeli ini jauh sebelum kamu merencanakan pernikahanmu. Tapi sepertinya aku kalah cepat,” dia berkata, sedikit terkekeh. Lalu dia menatapku tajam, namun tetap dengan senyum manis di bibirnya, membuatku tersipu dan tersenyum lebar ke arahnya. “Will you marry me?

Aku belum mampu berkata, belum mampu menjawab. Air mata kembali membasahi pipiku dan aku mengangguk. “I do.

Dia tersenyum semakin lebar kemudian memegang tanganku, memakaikan cincin itu di jari manisku. Cincin yang lebih indah, cincin yang lebih bagus dan berharga kini sudah melingkar di jari manisku. Dia menyandarkan dahinya pada dahiku, mencium hidungku dan berbisik, “Aku akan bertanggung jawab atas semuanya. Tidak ada yang lain dan tidak boleh ada orang lain lagi.”

Perlahan aku tersenyum dan sedikit melompat untuk mencium pipinya. “Terima kasih.”

Jin mencium kepalaku dan memelukku. “Saranghae.

Nado saranghae.

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK