Satu bulan sudah terlewati dan tanggal pernikahan sudah semakin dekat dan aku diminta pacarku untuk pindah ke rumahnya, meskipun awalnya aku tidak mau. Semakin mendekati hari pernikahan, semakin aku ingin kabur dari rumah. Semakin mendekati hari pernikahan, semakin aku memikirkan Jin. Gaun pernikahan sudah disiapkan, tempat di mana pernikahanku akan dilangsungkan juga sudah siap. Namun ada dua hal yang belum siap.
Satu, kedua orang tuaku belum datang ke Korea.
Dua, hatiku semakin tidak siap.
Pacarku, atau lebih tepatnya tunanganku, kini mulai bersikap manis. Entah dia berpura-pura atau tidak, hanya di depan publik, aku lumayan terkejut. Untuk menenangkan pikiran, aku hanya bisa berpikiran positif, toh, semua orang bisa berubah, kan? Dengan perubahan manisnya, aku mencoba meyakinkan diriku dan akan siap untuk melangsungkan pernikahan dengannya.
Malam ini, aku baru saja pulang dari rumah sahabatku untuk merayakan ulang tahunnya. Sebelum aku sampai rumah, aku menyempatkan diri untuk membeli beberapa makanan kesukaannya. “Semoga dia suka, sudah lama dia tidak memakan ini,” ujarku di perjalanan.
Rasa tenangku berubah ketika melihatnya sudah berdiri di depan pintu rumahnya. Aku memarkirkan sepeda motorku dengan perasaan was-was ketika wajahnya tampak sama sekali tidak bersahabat.
“Oppa…”
“Sini!” dia membentakku sambil menarikku masuk ke dalam.
Dia menarikku, menggiringku menuju laptopku yang ada di meja.
“Tulisan apa ini?!” dia berteriak sambil menunjuk ke layar laptop. “Siapa itu Seokjin?!”
Aku terkejut dan sadar jika tadi aku belum sempat mematikan laptopku, dan aku yakin jika dia pasti membaca ketikanku tentang Jin. Astaga, aku memang selalu dalam masalah…
“Kau berani berselingkuh, ya?!” dia berseru sambil menampar pelan pipiku.
Untuk pertama kalinya aku merasa tidak takut dengannya dan aku mendorongnya. “Aku melakukannya karena kamu tidak pernah sayang padaku! Karena kamu tidak pernah memperlakukan aku seperti pasanganmu, seperti calon istrimu!” aku berteriak. “Iya, namanya Jin! Kim Seokjin dan dia laki-laki yang jauh lebih baik darimu! Dia memperlakukanku dengan baik dan selalu memberikan apa yang aku inginkan! Dia melakukan semua yang tidak kamu lakukan!”
Dia melotot padaku namun aku semakin tertantang dibuatnya.
“Ingat baik-baik!” aku berteriak. “Dia melakukan semua yang tidak kamu lakukan dan dia melakukannya dengan sangat baik!”
PLAK!!
Tiba-tiba tangan kanannya menampar pipiku, meninggalkan bekas yang cukup terlihat di pipiku. Aku sekuat tenaga menahan tangis, ini bukan pertama kalinya aku diperlakukan seperti ini.
“Aisssh.. Jagiya, ige mwoya? (Sayang, ada apa, sih?)”
Aku menoleh dan tiba-tiba melihat wanita lain keluar dari kamarnya. Apa-apaan ini?!
“Oppa!” aku berseru padanya. “Kamu… kamu…”
“Diam!” dia berseru dan mendorongku hingga tersungkur dan kali ini dia menendangku tepat di bagian pinggangku. “Aku laki-laki dan aku bisa melakukan apa yang aku mau! Kau mengerti!” dia berteriak dan kembali menendangku, kini tanganku yang menjadi sasarannya.
“Kumohon, hentikan!” aku menangis sambil meringkuk, melindungi diriku meskipun mustahil.
“Katakan siapa Jin! Apakah dia salah satu dari ketujuh laki-laki bodoh itu?!” dia menendangku lagi. “Kau tahu, kan, aku tidak suka jika kamu dekat-dekat dengan mereka?”
“Hentikan!” tangisku mencoba berdiri.
Aku akhirnya mampu berdiri dan berlari, lalu langsung menyambar lampu yang ada di dekat pintu dan langsung memukulkannya tepat di kepalanya begitu dia berada di dekatku, membuatnya berteriak kesakitan, dahinya berdarah dan dia tersungkur di atas lantai.
“AAARGH! AAARGH!” dia menggeram kesakitan, dan bisa terdengar jelas banyak umpatan yang dia keluarkan.
Melihat kesempatan ini, aku bergegas keluar dari rumah dan langsung mencari bus di pinggir jalan. Begitu bus datang, cepat-cepat aku naik dan masuk ke dalam. Tujuanku hanya satu, rumah BTS. Sepanjang perjalanan jantungku berdegup kencang, sesekali aku keluar dari jendela, memastikan bahwa pacarku tidak mengejarku.
Beberapa menit lagi aku sampai di rumah mereka.
Tepat ketika aku sampai di depan rumah mereka, aku langsung bergegas menuju rumah mereka dan mengetuk pintu berkali-kali.
“Annyeonghaseo,” aku berkata.
Pintu terbuka dan aku melihat Jin berdiri tepat di hadapanku.
“Hyun Ra?” dia terkejut melihatku.
Aku mendongak, menatapnya selama beberapa saat, aku merindukan tatapan matanya. Kemudian aku terisak dan memeluknya sangat erat, membuatnya kebingungan. Dia memelukku sambil membawaku masuk, mengundang perhatian keenam adiknya yang langsung keluar dari ruangan masing-masing.
“Hei, ada apa ini?” tanya Taehyung yang duduk di samping Jin dan aku.
“Hyun Ra, kamu kenapa? Ada… ada apa ini?” Jin bertanya.
Aku masih menangis dan memeluk Jin. “Dia… pacarku…” aku terbata-bata.
“Dia melukaimu? Menyakitimu?” Jin bertanya sambil memegang kedua pipiku.
Aku mengangguk. “Dia juga membawa perempuan lain ke rumahnya.”
“Astaga!” semuanya tampak terkejut.
“Ke rumahnya?” Namjoon bertanya.
“Dia memintaku untuk pindah ke rumahnya,” jawabku.
Jin melihat luka di tangan dan pipiku. “Dia… dia berbuat apa padamu?”
Aku mengusap air mataku dan menatapnya. “Dia… dia menampar dan menendangku.” Aku memeluknya dan memohon berulang kali, “Jangan bawa aku pulang, aku mohon, jangan bawa aku pulang,” aku menangis tersedu-sedu. “Aku mohon. Jebal… jebal…”
“Tidak ada yang membawamu pulang, kamu aman di sini,” Jimin memegang tanganku.
Perlahan tangisku terhenti, pelukanku melemah dan aku menyandarkan kepala pada dada Jin. Aku merasa sangat lelah, aku lelah dengan semua kekejaman yang dia lakukan, kurasa sudah sampai di sini batas kekuatanku. Aku memejamkan mata dan merasa terlewat nyaman dalam pelukan Jin, dalam pelukan yang selama ini aku inginkan.
“Dia tidur?” Jin berbisik.
Hoseok melihatku dan mengangguk. “Yup! Dia tidur.”
“Kurasa dia akan tidur di kamarmu, mengingat ranjangmu berukuran king size,” Taehyung tersenyum ke arah Jin dan Jin terkekeh mendengarnya. Perlahan Jin berdiri sambil menggendongku dan membawaku masuk ke kamarnya. Perlahan dia membaringkanku di atas ranjangnya.
“Kurasa Hyung akan menemani Hyun Ra tidur malam ini,” ujar Yoongi yang sudah ada di kamar Jin.
“You think so?” Jin bertanya sambil duduk di sampingku.
Yoongi mengangguk dan duduk di samping ranjang, menatapku selama beberapa saat. Dia memegang dan mengusap tanganku. “Aku sudah pernah membujuknya untuk segera tinggal dengan kita,” ujarnya, menarik perhatian Jin. “Tapi waktu itu dia menolak. Hhhh~ kalau saja aku langsung saja membawa dia kemari, pasti dia tidak akan seperti ini.”
Jin hanya diam namun paham dengan ungkapan Yoongi.
“Aisssh…” Yoongi menggeram sambil melihat luka lebam di lenganku. “Berani sekali dia menyakiti perempuan.” Dia memegang dan melipat kausku. “Kau harus lihat ini.”
Jin langsung menatap lenganku dan terkejut begitu melihat sayatan di lengan kananku. “Ige… ige mwoya? (Ini… ini apa?)” tanya Jin.
“Laki-laki bodoh itu menyayatnya dengan alasan membuat tanda bahwa Hyun Ra adalah miliknya, awalnya dia hendak menuliskan namanya di tangan Hyun Ra tapi dia membatalkanya,” Yoongi menjawab.
Jin mendengus keras. “Sayangnya aku terlambat menyelamatkannya. Aku tidak ada di sana untuknya.”
“Hei,” Yoongi memegang bahu Jin. “Tidak ada kata terlambat, Hyung. Anggap saja sekarang ini adalah awal untukmu untuk melindungi Hyun Ra. Atau bahkan memiliki Hyun Ra sepenuhnya.
Jin hanya tersenyum, masih menatapku. Yoongi pun keluar dari kamarnya setelah menepuk-nepuk pundak hyung-nya, memberinya semangat. Jin perlahan berbaring di sampingku, tangannya merangkul tubuhku yang benar-benar lemah dan memelukku erat. Jin mengusap lembut kepalaku dan mencium kepalaku berulang kali.
Tengah malam, aku terbangun akibat rasa sakit di tanganku.
“Aaah~” aku mengeluh ketika luka lebam di tanganku terasa begitu sakit.
“Gwaenchana?” Jin, yang sejak tadi terjaga, langsung mendekatiku.
“Tanganku sakit sekali,” aku berkata.
“Tunggu sebentar, oke?” Jin kemudian keluar dari kamar lalu kembali dengan baskom berisi air hangat dan handuk kecil. Dia mencelupkannya lalu menempelkannya pada tanganku setelah memerasnya.
Aku merasa sangat lemah sekarang, ini pertama kalinya aku tidak dapat berbuat apapun.
Setelah dirasa cukup, aku memintanya untuk melepaskan kain dan mengembalikannya.
“Terima kasih,” ucapku.
Jin hanya tersenyum.
Aku mendekatkan badanku dan memeluk badannya, memendamka wajahku pada dadanya. “Maaf sudah membuatmu kecewa,” aku berkata.
“Kumohon, lupakan semua yang sudah terjadi,” Jin berkata.
“Aku takut kembali ke rumah itu,” aku memeluknya lebih erat.
“Kami tidak akan mengantarmu pulang, kamu tidak akan kembali ke sana.”
Aku mendongak dan kami saling menatap selama beberapa saat. Sambil menatap, tangan kami bersentuhan, jemari kami bermain satu sama lain, saling mengelus satu sama lain. Tangan Jin yang satunya menyeka lembut pipiku.
“Aku butuh kamu di sini,” aku berkata.
“Kurasa akulah yang paling membutuhkanmu,” Jin menimpali.
Jin tersenyum manis dan aku membalasnya dengan senyuman lemah. Dia mendekat dan mencium dahiku. Kemudian tangannya merangkul tubuhku, mendekapku untuk kesekian kalinya. “Aku janji, kamu aman di sini, kami semua bertanggung jawab atas kamu,” dia berkata sambil menempelkan dagunya di atas kepalaku.
Aku tersenyum dalam pelukannya. “Gomawo.”