Semenjak berita pernikahanku didengar oleh Yoongi, aku dan BTS semakin jarang bertemu satu sama lain, aku semakin sibuk dengan urusan pernikahan, pekerjaan artikelku dan sebagainya. Undangan pernikahanku juga sudah kukirimkan kepada mereka. Di sela-sela kesibukan itu aku semakin memikirkan BTS, terutama Jin. Bagaimana reaksinya setelah mendengar ini? Apa yang ada dalam pikirannya sekarang?
Beberapa minggu sudah berlalu dan sore ini aku sedang sibuk menulis artikel sampai ponselku berbunyi. Taehyung meneleponku! Aku tersenyum dan mengangkat panggilannya. “Halo?”
“Halo, Sayangku~” dia menggoda dan aku tertawa. “Kau sibuk?”
“Tidak, tidak sama sekali?”
“Kita ketemuan di kafe sekarang, bagaimana?”
Akhirnya mereka mengajakku bertemu. “Oke, tunggu aku, ya!”
“Arraseo~ Sampai nanti! Ppyeong!”
“Ppyeong!”
Udara sore ini cukup dingin dan bajuku yang kurasa cukup tebal ternyata tidak bisa membuatku hangat. Aku mempercepat langkahku dan akhirnya aku melihat kafe yang aku tuju. Beberapa saat kemudian, aku sampai di kafe dan langsung melihat mereka yang duduk di tempat biasa, di ujung dekat jendela. Aku berjalan menghampiri mereka dan mereka dengan semangat menyambutku.
“Omooo~ Naega neomu neomu bogoshipeunde! (Astagaaa~ Aku sangat sangat merindukan kalian!)” aku memekik sambil memeluk Hoseok dan Jimin.
“Kami juga!” Hoseok dan Jimin membalas pelukanku.
“Apa kabar?” tanya Namjoon.
Aku menghembuskan nafas. “Baik sekali,” jawabku berbohong.
Kemudian aku melihat Jin, yang duduk di samping Namjoon. Hanya dia yang tidak tersenyum ketika menatapku. Aku tersenyum padanya. “Annyeong, Oppa.”
Untuk pertama kalinya, Jin tidak menyapaku. Dia membuang muka ke arah jendela dan kalian tahu? Sakit hati aku melihat reaksinya. Tapi, mungkin lebih sakit Jin daripada aku ketika dia mendengar kabar pernikahanku.
“Aku lapar!” Jungkook mencoba mencairkan suasana.
“Yah~ aku juga,” Taehyung menimpali.
Kami pun memesan makanan.
Sepanjang waktu di kafe, hanya Jin yang tidak berbicara sedikitpun. Bahkan Yoongi, yang dikenal sedikit bicara malah banyak bicara ketimbang Jin. Jin terlihat banyak melamun dan aku sangat bersalah ketika melihat sikapnya.
“Kurasa aku harus pulang,” aku berkata sambil memakai tas.
“Jangan!” Jin membentak. Akhirnya dia bicara juga.
Dia berdiri dan berjalan ke arahku. “Sini,” dia memerintah sambil menarikku. Astaga, aku tahu ini akan terjadi.
Dia membawaku keluar dan agak jauh dari kafe. Dia menatapku dengan alis beraut, dia tampak marah dan aku siap menerima kemarahannya.
“Apa kamu bercanda?” dia bertanya.
“Bercanda apa?” aku mendongak, menatapnya.
“Ini!” dia mengeluarkan undangan pernikahan dari dalam jaketnya.
Aku menatap undangan yang sebenarnya aku benci itu selama beberapa saat sebelum aku kembali menatapnya. “Kim Seokjin, kapan aku bercanda tentang sesuatu?” aku bertanya, mencoba terdengar tenang.
“Aku tahu kamu tidak mencintainya,” dia menyahut.
Aku hanya terdiam.
Dia memegang tanganku. “Kamu tahu, kan, hanya aku yang mencintai kamu?”
“Tapi kita cuma dipertemukan, bukan dipersatukan,” aku menjawab sambil memegang tangannya.
“Kalau begitu izinkan aku melakukan apapun agar kita tetap bersatu, jika kamu tidak bisa melakukannya, biar aku saja,” dia mendekatkan wajahnya padaku sambil memegang kedua pipiku, sedikit mengangkatnya sehingga tatapan kami bertemu.
Aku sangat mencintai Jin, sama seperti dia mencintaiku. Tapi… cincin itu sudah melingkar di jemariku. Tidak bisa aku membatalkan pernikahan karena beberapa undangan juga sudah dibagikan.
“Kamu ingat ketika aku memberikan jas untukmu?” aku bertanya.
Jin hanya terdiam dan aku memang tidak membutuhkan jawabannya.
“Alasannya adalah aku ingin kamu memakainya ketika menghadiri pernikahanku nanti.”
Dia menatapku dengan air mata yang perlahan keluar dari kedua matanya. Tiba-tiba dia mendorongku dengan sangat keras hingga aku hampir goyah. Tatapannya berubah menjadi benci, dadanya naik turun, mencoba mengatur nafasnya. “Aku benci kamu,” dia berkata.
Aku hanya terdiam dan dia berjalan kembali ke kafe. Aku masih mematung selama beberapa saat, mencoba memikirkan apa yang sedang terjadi. Apakah, apakah dia benar-benar mengatakannya? Apakah dia benar-benar membenciku sepenuhnya?
“Hyun Ra!”
Aku menoleh ke arah Yoongi yang sudah berjalan ke arahku. “Ada apa?” dia bertanya.
“Tidak ada apa-apa,” aku menjawab sambil mengusap air mataku. “Aku… aku ingin pulang.”
“Ada apa?” dia memegang bahuku.
“Tidak ada apa-apa!” aku menaikkan nadaku. Aku melepas genggamannya dan meninggalkannya.