Hujan mulai turun malam ini, tepat ketika aku sampai di tempat yang sudah kami janjikan. Lonceng pintu bergemerincing ketika aku membuka pintu kedai, aku mencarinya, laki-laki yang tadi mengajakku untuk bertemu. Aku menyapu seluruh ruangan yang dipenuhi oleh banyak orang, melihat setiap sudut namun dia belum terlihat. Aku pun memutuskan untuk duduk di dekat jendela dan memesan satu cangkir kopi.
Beberapa saat setelahnya, ponselku berbunyi. Dia mengirimku pesan:
“Tunggu sebentar lagi, aku terjebak hujan, tapi tenang, aku sebentar lagi sampai.”
Aku menghela nafas dan menatap ke arah jendela, ke arah jalanan Hongdae yang penuh lampu namun diguyur hujan yang semakin deras. Pikiranku langsung melayang ke drama sekolah, bukan masalah karakter yang aku mainkan ataupun alur ceritanya, tapi karena laki-laki itu, Jeon Jungkook. Sekarang wajahnya semakin jelas tergambar di dalam benakku.
“Astaga, aku harus bagaimana?” aku mengeluh sambil mengacak-acak rambutku. “Na ottokhaeyo?”
Aku terus menerus melamun sampai tidak tahu bahwa bel pintu berbunyi, menandakan ada pelanggan masuk. Seorang laki-laki berambut cokelat muda, memakai jaket hitam yang tebal masuk ke dalam. Dia menyibakkan rambutnya, mengeringkan rambutnya yang sedikit basah terkena tetesan-tetesan air hujan.
Dia berjalan ke arahku dan menepuk bahuku. “Permisi?”
“Apa maumu, Jeon Jung-?!” aku langsung menoleh dan memprotes, pikiranku tertuju pada Jungkook hingga mengira bahwa laki-laki ini adalah Jungkook, ternyata aku salah.
Dia tersenyum. “Jeon Jungkook?” dia mengulang sambil duduk di hadapanku. “Aku Kim Yugyeom. Bukan Jeon Jungkook.”
Aku tersenyum bersalah. “Mianhaeyo.”
Namanya Yugyeom, temanku dari kelas lain, dia juga salah satu temanku ketika aku duduk di bangku SMP. Kami tidak saling dekat satu sama lain tapi ketika kami bertemu, kami bisa menjadi sangat dekat, banyak yang berpikir bahwa kami berpacaran. Kami tidak dekat, tapi dia tahu banyak hal tentang aku, tahu banyak hal yang bahkan Yebin tidak tahu.
Yugyeom menatapku, dia menangkap sesuatu yang janggal dari ekspresi dan tatapan mataku. “Kamu kenapa?” ia bertanya. “Gwaenchana?”
Aku langsung menatapnya. “Ng? Tidak ada apa-apa. Aku baik-baik saja.”
“Ayolah, kamu tidak pernah bisa berbohong,” dia berkata sambil melepas jaketnya.
Aku tersenyum lemah, tersenyum malu sambil menatap ke luar jendela. “Aku tidak apa-apa.”
“Ini semua karena drama sekolah, atau…” dia menebak sambil mencondongkan badannya ke arahku, membuatku langsung menatapnya. “… karena Jungkook?”
Jika dia bukan Yugyeom, aku pasti sudah menampar dan membentaknya, dia baru saja datang dan langsung menanyakan hal yang sensitive. Tapi karena dia termasuk orang yang tahu tentang kondisiku, aku sama sekali tidak marah.
Aku menghela nafas. “Kamu masih ingat kejadian ketika kita SMP, bukan?”
Yugeyom ikut menghela nafas. “Yup, aku sama sekali tidak lupa kejadian itu.”
“Karena dia aku membenci drama.”
“Kamu bukan membenci dramanya, kamu hanya membenci orang-orang yang secara tidak terduga ikut terlibat di dalamnya,” Yugyeom menjelaskan. “Ayolah, jangan hanya karena satu orang saja kamu merasa kecewa. Itu zona nyamanmu, jangan keluar dari sana.”
“Sampai sekarang aku masih tidak tahu siapa yang menuliskan namaku di kertas audisi,” ujarku sambil mengucir rambutku. “Maksudku, kenapa harus Jungkook yang jadi lawan mainku?”
Yugyeom tidak menjawab apapun. “Maaf, aku tidak bisa melakukan apapun,” dia berkata. “Aku harap aku bisa, tapi aku tidak ingin membuat masalah di antara kalian berdua semakin besar.”
Aku tersenyum. “Tidak masalah, Oppa.”
“Tapi jika kamu butuh sesuatu, bilang padaku, oke?”
“Oke.”
Keheningan sempat menghampiri kami selama beberapa saat. Aku melemparkan pandangan ke arah jendela, mengamati hujan yang kini mulai sedikit reda. Pikiranku kembali melayang pada drama dan Jungkook, aku memikirkan bagaimana jadinya jika aku harus berkating, LAGI, dengan dia sebagai ‘pasangan’ku. Aku memikirkan banyak resiko yang mungkin saja terjadi meskipun aku berkali-kali berharap itu tidak akan terjadi. Apakah… Apakah aku akan mencintainya lagi seperti dulu? Apakah aku akan kembali membuka pintu hatiku lagi? Kedua hal itu yang kini selalu menghantuiku
“Yoo Eun?” Yugyeom memanggilku, merobek lamunanku, mengembalikanku ke dunia nyata.
Aku menatapnya dengan kedua mata terbuka. “I… Iya?”
“Di luar hujan sudah tidak begitu deras, bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar?”
Aku menatap ke jendela dan menatapnya lagi. Aku mengangkat kedua alis, mengiyakan tawarannya. Kami pun berdiri dan berjalan meninggalkan kedai kopi. Sekitar jalanan Hongdae tidak terlalu dipenuhi orang malam ini, mungkin karena tadi hujan atau karena hari sudah malam.
Setelah berjalan-jalan dengan diselingi dengan banyak obrolan, Yugyeom memutuskan untuk mengantarku pulang.
***
“Terima kasih sudah menemaniku malam ini,” ucapku padanya ketika kami sampai di depan pintu rumahku beberapa saat kemudian.
Yugyeom tidak menjawab. Yugyeom sudah menatapku lekat-lekat, menatapku dengan tajam dan wajahnya berubah sedikit menyeramkan. Biasanya jika wajahnya menjadi menyeramkan seperti ini dia sedang memikirkan atau akan bertindak sesuatu yang serius, sesuatu yang tidak terduga.
“Yugyeom Oppa?” aku memanggilnya.
Dia masih tidak menjawab, dia masih menatapku tajam dengan mulut yang tertutup rapat. Aku hanya bisa terdiam dan jantungku berdegup kencang ketika tangan kanannya menyentuh pipiku, dia sedikit menunduk dan mencondongkan wajahnya ke arahku, menatap bibirku. Ketika bibir kami hampir bersentuhan, aku memiringkan wajah, menghindari kecupannya.
“Y-Yugyeom,” aku memanggil sambil memegang tangannya, mencoba melepaskan sentuhannya.
“Aku mencintaimu, Yoo Eun,” kata-kata itu terdengar jelas meskipun dia hanya berbisik.
Ungkapan tersebut sebenarnya sudah seringkali kudengar, tapi aku juga sudah seringkali mengatakan bahwa aku tidak merasakan hal yang sama seperti dia. Meskipun dia mencintaiku dan aku tidak, aku tidak pernah sanggup menolak ketika ia memintaku untuk bertemu dengannya, entah untuk membicarakan hal yang serius atau hanya mengobrol santai. Aku tidak sanggup karena Yugyeom-lah orang pertama yang membantuku bangkit ketika Jungkook mencium gadis lain waktu itu, Yugyeom-lah orang yang memelukku, menghiburku dan melakukan segalanya untuk mengembalikan senyumku yang dulu sempat hilang.
Dan kini Yugyeom hadir lagi ketika aku ‘jatuh’ untuk kesekian kalinya, jatuh karena orang yang sama. Tapi untuk kesekian kalinya pula, tidak tumbuh perasaan cinta pada Yugyeom meski terkadang aku kasihan kepadanya, kepada perasaannya. Ada perasaan lain yang lebih berarti, perasaan cinta yang lebih berarti namun bukan kepadanya. Dan aku tidak akan pernah memberitahukan siapa orang itu kepadanya.
Yugyeom kembali mencoba menciumku namun aku lagi-lagi menolaknya. “Yugyeom-ah,” aku tidak ingin memanggilnya dengan ‘Oppa’ jika keadaannya seperti ini.
“Yoo Eun-ah,” dia berbisik lagi. “Kumohon. Jebal.”
“Jeongmal mollayo, Yugyeom-ah,” aku menjawab. “Aku tidak tahu.”
“Kenapa?” dia bertanya, sedikit menaikkan nadanya.
“Kumohon mengertilah,” aku mendesak. “Kamu bukan anak kecil lagi, aku harap kamu mengerti tanpa aku harus mengatakannya berulang kali.”
Yugyeom terdiam, masih menatapku. “Kamu tidak mencintaiku.”
Aku melihat ke bawah. “Iya.”
Yugyeom menghela nafas, entah terbiasa kutolak, terbiasa kecewa dengan sikap, pernyataanku atau hal lain, aku bahkan tidak tahu. Yugyeom kemudian menatapku dan menunjukkan senyum lemah. “Aku… aku harus pulang,” ucapnya.
Aku mengangguk. “Oke. Hati-hati.”
Yugyeom mengangguk dan mengusap kepalaku, kemudian turun ke pipi hingga leherku. “Selamat malam.”
“Selamat malam.”
(DON'T BE A SILENT READER PLEASE :) )