Kafe jazz itu sangat ramai di Jum'at malam seperti ini, banyak tamu lalu lalang dan atmosfirnya berbeda dengan malam-malam lainnya.
Kuangkat botol minumanku dan menuangkannya ke gelas di depanku sebelum menuangnya ke gelasku sendiri.
"Cheers" kuangkat gelas, meminta tos.
"Maafkan kelakuanku 2 minggu ini." Shijin membuka percakapan.
"Tak apa. Jadi sekarang semua oke? Kamu sudah oke denganku?"
"Kurasa. Aku salah sudah bersikap egois dan hanya memikirkan diri sendiri kemarin"
"Yah...kamu memang egois. Kita sudah lama tak bertemu dan ketika akhirnya bertemu lagi, kamu malah berteriak padaku tentang hal yang absurd"
"Itu bukan hal absurd, aku sangat terkejut melihatmu di ruang rapat itu!" bantahnya.
"Bagaimana dengan perasaanku? Aku juga terkejut, tapi tidak marah seperti kamu."
"Itu berbeda!" perselisihan ini sepertinya belum reda.
"Apanya yang berbeda?"
"Kamu seorang direktur perusahaan farmasi, bukan turis yang kutemui di Roma" kekesalannya terdengar dari nada bicaranya.
"Direktur perusahaan farmasi itu kakakku, bukan aku. Please deh, aku cuma pengganti"
"Sama saja, kamu tetap seorang direktur sebuah perusahaan, kan? Itu kan sebuah masalah untukku!"
"Aku masih tidak mengerti kenapa itu bisa menjadi sebuah masalah untukmu, aku masih Kyo Najun, tidak lebih dan tidak kurang"
Shijin mencoba membuka mulut dan berdebat lagi, tapi mendadak terdiam.
Dia mengangguk dan akhirnya bicara,
"Ya kamu benar, kamu masih Najun, aku yang terlalu sensitif dan manja"
Aku tertawa melihat wajah muramnya yang tiba-tiba datang.
"Ayolah Shijin...kita kan seharusnya senang bisa bertemu lagi. Kamu tidak merasa kalau ini seperti sebuah takdir?"
Kami menghabiskan beberapa jam ke depan untuk bercerita satu sama lain, tentang kehidupan kami setelah perpisahan di Roma itu, dan akhirnya menjadi lebih dekat satu sama lain secara pribadi.
Dia mengantarku pulang pukul 10 dan kami membuat janji bertemu lagi hari Minggu. Aku senang sekali karena akhirnya bisa bertemu lagi dengan seorang teman yang bisa diajak menghabiskan waktu (selain Gain tentu saja) dan bersiul sambil masuk ke dalam rumah. Hyosub menggodaku dan berkata kalau aku terdengar seperti burung berkicau riang dan menuduhku punya pacar. Ha! Picik!
***
Ini Sabtu malam dan aku menghabiskan malam dengan menonton maraton drama bersama Gain. Kami sedang nonton 'Reply 1997', adegan di mana Shiwon dan Yoonjae bertemu lagi untuk pertama kalinya setelah sekian lama di kedai kopi. Ini adalah salah satu adegan favorit kami dan kami mulai berteriak "awww" bersama-sama.
Aku berguling ke sisi lain kasur dan mengambil cemilan dari tangan Gain.
"Seberapa besar sih kemungkinan pertemuan seperti ini bisa terjadi? Mungkin 1:1.000" kataku.
"Entah...sepertinya jarang sekali terjadi? Yah...semua drama membuatnya terlihat gampang bertemu lagi dengan mantanmu di dunia yang luas ini" jawabnya tanpa melepaskan pandangan dari TV.
"Mungkin ini yang namanya takdir" aku merebahkan punggungku di dinding ketika terdengar suara pintu diketuk.
tok tok tok
Gain berdiri dan mencoba membuka pintu, "Hyosub ya?" dia bertanya padaku tapi aku hanya mengangkat bahu.
Pintu terbuka dan seorang pria berperawakan tinggi dan berwajah tampan berdiri di depannya. Aku memiringkan tubuhku ke kanan untuk melihat jelas siapa yang datang,
"Najun, lama tak bertemu." laki-laki itu berkata sambil mengeluarkan seikat bunga mawar pink dari balik punggungnya.
Gain menengok ke belakang dan berkata, "Mungkin ini yang disebut takdir" sambil tersenyum.
Mulutku ternganga.
***
Woojin duduk dengan tenang di beranda, dengan lengan kiri terbuka lebar di atas sofa dan tangan kanan memegang mug kopi. Senyum belum hilang dari wajahnya sejak pertama kali kulihat wajahnya di depan pintu kamarku beberapa menit yang lalu. Aku duduk di ujung sofa yang lain,
"Apa kabar, Woojin?" kuputuskan untuk memulai percakapan dengan tenang.
"Sehat, terima kasih, Najun"
"Bagaimana kopinya?"
"Enak sekali, seperti biasa. Keluargamu kan pencinta kopi, takkan diragukan lagi koleksi kopinya."
"Terima kasih. Jadi, ada apa kamu datang kemari?"
"Menemuimu"
"OK, sudah, lalu?"
"...lalu apa? Lalu aku senang, hahaha!" dia tertawa lepas.
Aku tidak pernah mengerti leluconnya. Sejak dulu, aku tidak pernah mengerti. Aku menggelengkan kepala dan mengambil cangkir kopiku.
"Kamu sudah ke mana saja di Roma? Apa kamu mencicipi sesuatu yang lezat?"
Woojin adalah seorang koki, koki terkenal yang berasal dari keluarga terpandang. Dia adalah koki utama di hotel keluarganya dan anak satu-satunya, jadi tentu saja sifat dan tingkah lakunya membumbung tinggi di atas langit.
Tapi dia juga orang yang pandai. Terbaik di bidangnya. Aku mulai menceritakan makanan-makanan Italia yang sudah kucicipi di Roma.
"Baik, aku akan mempelajarinya dulu, kamu harus mampir ke restoranku dan cicipi sendiri ya?!" dia mengingatkanku lagi soal rencana pembuatan menu baru sebelum dia masuk ke dalam mobil.
Saat aku kembali ke kamar, Gain sudah tertidur di depan TV yang masih menyala. Aku naik ke atas kasur dan bersiap tidur. Sabtu malam yang tiba-tiba canggung akan segera berakhir, dan untungnya tak ada yang mengejutkan dari kedatangan mantan tunanganku barusan.