Aku sudah membuat Saute Lupins dan Suppli, datanglah dan katakan bagaimana rasanya.
Pesan singkat dari Woojin itu cukup instruktif dengan sedikit sekali tambahan informasi, seperti biasa. Mungkin dia pikir seorang Direktur Pelaksana punya banyak waktu senggang seperti dirinya, seorang koki yang berjiwa bebas.
Untuk makan malam? Ini masih jam 5 sore, aku selesaikan dulu pekerjaanku dan datang jam 7.
Kukirim balasannya dan kembali bekerja. Hari ini penuh dengan kertas laporan dan mataku sudah menyerah. 2 cangkir kopi tidak ada gunanya. Aku cuma berharap Sekretaris Son takkan mengetuk pintu itu dan membawakanku setumpuk berkas lagi.
Aku meninggalkan kantor, jam menunjukkan pukul 6:30. Kukatakan pada Sekretaris Son kalau aku punya janji makan malam dan meninggalkannya di kantor bersama kertas-kertas yang belum sempat kuperiksa. Tidak banyak, kok, jadi kuharap dia bisa melepaskanku kali ini. Dia tidak berkata apa-apa saat aku pulang, tapi tak lama dia mengirim pesan singkat untuk mengingatkanku kalau besok aku sudah harus ada di kantor jam 7 pagi. Sekretaris yang jahat, aku meringis ngeri.
Aku memasuki hotel dan langsung menuju restoran. Manajer restoran menyapaku, ternyata dia masih mengingatku, dan aku segera membalas sapaannya dan menanyakan keberadaan Woojin. Dia mengantarku ke sebuah meja dan mengatakan bahwa Woojin akan segera datang sebelum menanyakan minuman apa yang kuinginkan.
"Segelas air mineral saja" jawabku.
Dia membungkuk dan meninggalkanku.
Tak lama kemudian, minumanku datang, bersama dengan...Woojin. Dia tersenyum dan duduk di depanku.
"Terima kasih ya mau datang meskipun undangannya tiba-tiba"
"Tak apa, terima kasih. Kamu pasti tak percaya setinggi apa tumpukan berkasku hari ini. Hampir lebih tinggi daripada Manhattan." sarkasme mulai mengalir dari mulutku.
Dia tertawa dan mengangguk-angguk.
"Jadi ternyata undanganku adalah jalan keluar bagimu."
Kami tertawa dan mulai berbincang tentang kehidupan kami 2 tahun terakhir. Saat kami berbincang, menu makan malam mulai berdatangan dan kami mulai bersiap menyantapnya.
"Bagaimana?" dia bertanya padaku, penasaran.
Aku mencicipi Saute Lupins-nya, satu, dua gigitan, ...
"Enak, luar biasa enak. Seperti biasa, kamu memang koki luar biasa. Ini Saute Lupins pertamamu, kan?"
Dia tersenyum bangga dan mengangguk.
"Aku penasaran, kamu pernah muncul di TV? Kamu tahu kan, belakangan ini koki sudah sama seperti selebriti. Banyak sekali acara masak-memasak di TV sekarang."
"Ya...ada beberapa tawaran masuk setiap bulan, tapi selalu kutolak"
"Kenapa?"
"Aku bisa digantung keluargaku kalau berani jadi selebriti. Jadi koki saja sudah lebih dari cukup" dia tertawa.
Aku tiba-tiba teringat bahwa hal itu memang bukan sesuatu yang tepat. Sebagai anak tunggal dari pemilik grup hotel terbesar di negara ini, dia menolak ikut campur dalam bisnis keluarganya dan memilih menjadi koki.
"Apa kabar keluargamu? Apa mereka sekarang sudah menyerah memaksamu mengambil alih bisnis?"
"Masih sama, cuma tak terlalu memaksa seperti dulu, tapi tetap saja cerewet" dia mengangkat bahu.
"Selamanya deh, sepertinya. Hahaha" aku tertawa.
Perbincangan selesai karena kami terdiam dan memandangi suasana di sekitar kami.
Ini waktu makan malam, restoran hotelnya ini sangat terkenal. Jam 8 malam, ruangan ini sangat penuh orang. Para pelayan bergerak cekatan dari dapur ke restoran terus menerus. Semuanya sibuk dengan urusan mereka sendiri ketika sebuah pertanyaan tiba-tiba terucap dari mulut Woojin,
"Jadi, apa kamu mau menikah denganku, Najun?"
Aku terhenti menatap sekitar dan memutar pandangan ke arahnya. Aku menatap tajam ke wajahnya, penuh keterkejutan.
"Ap-apa yang barusan kamu bilang?" aku terbata.
"Kubilang, apa kamu mau menikah denganku, Najun?" Woojin menatap tajam dan serius, tangan kanannya memegang gelas anggur dengan erat.
"Apa-APA KAMU SUDAH GILA?!" aku sadar kalau saat itu aku setengah berteriak padanya.
***
Butuh dua tahun untuk menyadarkanku kalau ternyata aku sangat menyukaimu. Saat kamu pergi, aku merasa kosong, dan merasa ada yang salah. Aku terus merasa sedih tanpa alasan yang jelas, jadi mellow - begitu kata orang-orang. Anehnya, aku terus merasakan keberadaanmu di sekitarku. Kabar tentang kepulanganmu kemarin membuat perasaanku berbunga-bunga. Aku tersadar, kalau aku jatuh cinta. Aku takkan melakukan kesalahan dua kali. Kita pernah bertunangan dan membatalkannya, jadi sekarang aku di sini, di depanmu, melamarmu sekali lagi.
Aku berguling-guling di kasur, sambil memeluk bantal. Jangan-jangan Woojin sudah gila? Atau jangan-jangan itu bukan Woojin? Pengakuan, eh...lamaran macam apa itu? Kami baru saja bertemu, setelah bertahun-tahun, dan tiba-tiba dia melamar? Dia pasti sudah gila.
Aku meraih ponsel, mencoba menelepon Gain, tapi menutup ponselnya sebelum tersambung. Gain hanya akan menggoda dan meledekku. Aku tidak butuh itu sekarang.
"Aaahhh, entah! Aku tak peduli!" aku berteriak dan menarik selimut menutupi wajah. Lebih baik aku tidur dan melupakannya, aku tidak peduli.
***
Aku menggaruk hidung dengan punggung tanganku. Makan malam keluarga yang tiba-tiba ini sangat aneh. Kami jarang melakukannya, karena semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Tapi sekarang, semua sudah berkumpul jam 7 di ruang makan, di hadapan menu makan malam lengkap di atas meja.
Hidungku gatal, hidungku selalu gatal jika ada yang aneh terjadi. Aku menggaruknya lagi sebelum menyendok sup lagi.
Kami mengobrol tentang hal-hal biasa, soal pekerjaan, rumah, keluarga, hobi dan semuanya kelihatan normal. Tapi hidungku tetap mencium sesuatu yang mencurigakan.
"Jadi, Najun..." Ayah memanggilku dengan nada bicara yang lembut.
Perasaanku tak enak...batinku.
"Najun, apa kamu sekarang punya pacar?" lanjutnya.
Tiba-tiba perhatian semua orang tertuju padaku. Bagus.
Aku menggeleng, "Tidak, tak ada"
"Kenapa? Apa karena kamu sibuk bekerja?" investigasi dimulai.
"Sepertinya begitu, aku tak punya waktu melakukan apapun selain bekerja"
"Begini, Najun..." Ayah berhenti sesaat.
"...kamu ingat Woojin, kan?"
SIAL!
Aku mengatur emosi dan menjawabnya dengan nada bicara serta ekspresi sedatar mungkin, "Tentu, Yah"
"Ayah dengar dia melakukan sesuatu minggu lalu" Ayah terdengar ragu-ragu.
Orang itu! Apa dia memberitahu semua orang soal kemarin?
"Kudengar dia melamarmu minggu lalu" Ayah memperjelas pertanyaannya.
Wajah Ibu terlihat datar, jadi sepertinya dia sudah mendengarnya. Di sisi lain, wajah Hyosub terlihat sungguh lucu. Meskipun aku merasa sangat kesal sekarang, tapi di dalam hati aku tak sanggup menahan tawa melihat wajahnya yang sangat kaget.
"Ayah dengar dari mana?" Hyosub bertanya tergesa.
Ayah terlihat ragu tapi menjawab dengan hati-hati, "Ayahnya"
Mataku terbelalak, dan tiba-tiba emosiku memuncak.
Kuluruskan postur dudukku, "Dia memberitahu ayahnya? Dan ayahnya memberitahumu, Ayah? Si berengs..." kugigit bibirku sebelum menyelesaikan kata-kata kasar itu. Jangan sampai mereka melihatku berubah menjadi preman jalanan.
"Woojin memberitahu Ayahnya soal kepulanganmu dan mengatakan bahwa dia sudah mengungkapkan perasaannya padamu. Sepertinya dia masih mencintaimu, dan ingin kembali bertunangan" jelas Ayah.
Ia melanjutkan, "Woojin bilang dia sudah melamarmu, tapi kamu tak menjawab. Dia menceritakannya pada ayahnya untuk menunjukkan keseriusannya pada hubungan ini, jadi dia ingin seluruh keluarga tahu"
Aku menutupi wajahku dengan tangan. Woojin...si biang onar ini! Rasanya ingin segera melompat berdiri dan berlari mencarinya dan menjewernya sekarang.
"Ayah..." aku mencoba memposisikan diriku dalam keadaan yang tidak menguntungkan ini.
"Pertunangan itu sudah selesai 2 tahun lalu, dan aku baru saja bertemu dengannya kurang dari 2 minggu. Bagaimana bisa kita tiba-tiba bicara soal pernikahan?" Kuatur kemarahanku dalam mode sesopan mungkin.
"Kita tidak bicara soal pernikahan..." Ayah menjawab cepat dan Ibu meneruskan,
"...tapi itu bukan ide buruk, kan? Usiamu sudah tepat untuk menikah" dia tersenyum.
"Ibu punya Hyosub untuk Ibu kejar-kejar agar segera menikah" kujawab pendek dan menengok lagi ke Ayah,
"Ayah, Ayah berjanji tak akan ada perjodohan atau pernikahan yang diatur!" aku protes.
"Iya, Ayah tahu. Ayah hanya ingin memperjelas semuanya" Ayah membela diri.
"Kalau begitu, Ayah sudah tahu kan jawabannya." aku berdiri, percakapan sudah selesai dan aku segera meninggalkan ruang makan.
Saat aku melangkah pergi, suara Ibu yang lembut terdengar,
"Tapi aku suka sekali mendengarnya, pertunangan kembali"
Aku hanya melambaikan tangan tanda 'TIDAK' dan meninggalkan ruang makan dan bergegas menaiki tangga.