tok tok
"Ini aku, boleh masuk?"
Suara Hyosub's.
"Masuk" kataku.
Dia membuka pintu dan berjalan mendekatiku. Dia duduk di ujung tempat tidur dan mengambil satu bantalku.
"Gimana? Sudah menghujani ponsel Woojin dengan banyak pesan dan makian?"
Ha-ha
"Aku ingin sekali melakukannya satu detik setelah mendengar cerita Ayah" aku bangun dari kursiku dan duduk di belakangnya.
"Lebih tepatnya, aku berharap bisa teleportasi dan ada di sampingnya sekarang, memukuli dan menendanginya sampai mati" kataku sambil mengertakkan gigi.
Hyosub tertawa dan berbalik untuk menepuk pelan kepalaku,
"Aku heran bagaimana bisa dia berani macam-macam denganmu"
Aku berpindah duduk di sampingnya dan meletakkan kepala di bahunya,
"Sebenarnya dia kenapa sih, Kak? Aku datang hanya untuk mencicipi masakannya dan berakhir dengan sebuah lamaran"
"Entah. Aku juga berpikir kalau dia gila. Mungkin dia salah makan" jawabnya. Hyosub meraih kedua tanganku, menyatukannya dan meletakkannya di pangkuanku,
"Apa kamu yakin dengan perasaanmu? Tak ada perasaan apapun pada Woojin?"
Aku melotot.
"Hyosub oppa, Tak ada perasaan apapun dari awal. Sejak awal, tak ada yang perlu dipastikan. Kami dulu bertunangan karena alasan lain, dan cinta bukanlah alasannya." aku mendesah.
"Jadi maksudmu, kamu tak pernah mencintainya?"
"Entah, banyak hal terjadi dan aku tak pernah punya kesempatan memastikannya"
"Apa sekarang sudah terlambat untuk memastikannya?" Hyosub bertanya dengan hati-hati.
Aku memandangnya dengan tajam, mencoba mencari tahu maksud yang sebenarnya.
Dia memahami pandanganku dengan baik, dia meraih tanganku sekali lagi,
"Kamu adikku satu-satunya, yang kuinginkan hanyalah kebahagiaanmu. Ini sudah lama sekali dan aku selalu merasa bahwa kamu tak pernah benar-benar bahagia. Jika Woojin memang bersungguh-sungguh, dan dia benar-benar mencintaimu, kenapa kamu tak mencoba bahagia sekali lagi?" sinar matanya yang selalu bersinar nakal tiba-tiba berganti menjadi tatapan sedih.
Aku menepuk bahunya pelan dan tersenyum,
"Aku tak pernah tahu kalau selama ini kamu perhatian padaku. Jangana khawatir, aku tak berencana untuk sedih selamanya"
Dia tersenyum dan mendengus,
"Kamu menangis?" kutanya penasaran.
"Tidak. Ini cuma...suhunya. Naikkan suhu kamarmu" dia mendengus sekali lagi.
"Kakakku sayang, kamu lucu sekali" aku terkekeh.
Dia segera berdiri dan melempar bantal yang dipegangnya ke wajahku.
"Aku pergi, aku pergi! Kamu menyebalkan" kesal, dia meninggalkan kamarku dengan segera.
Sebelum menutup pintu kamarku, dia berbalik dan berkata,
"Tapi sungguh, Adikku. Cobalah memutuskan semuanya perlahan, pikirkan baik-baik. Bahagialah" setelah menyelesaikan pesannya dia membanting pintu.
Aku menatap kosong ke arah pintu yang tertutup itu. Aku mencoba mengingat, berapa tahun sudah terlewati. Ketika kenangan-kenangan itu perlahan kembali ke pikiranku, bisa kurasakan dadaku sesak lagi, hatiku perlahan merasakan sakitnya lagi. Rasa sakit itu masih di sana, dan setiap kali kenangan itu kembali, pandanganku mulai kabur dan nafasku tersengal lagi. Aku menggelengkan kepalaku satu kali, dua kali, dan berdiri dengan segera. Kepalaku terasa ringan dan nafasku menjadi semakin pendek dan cepat.
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Entah siapa yang menelepon, aku tidak peduli, tak ada waktu untuk melihat layarnya, aku harus menghilangkan perasaan ini dengan segera.
"Halo?" jawabku cepat dengan nafas berat.
Di seberang sana, tak ada jawaban. Setelah beberapa waktu barulah aku bisa mendengar suaranya,
"Najun? Kamu baik-baik saja?" nada suara yang khawatir bisa kudengar.
"Ada apa? Kamu baik-baik saja?" suara laki-laki yang terburu-buru.
Aku melepaskan ponsel dari telingaku dan melihat ke layarnya,
Woojin
Aku menaruh kembali ponsel ke telingaku dan menjawab dengan suara rendah,
"Woojin..."
"Najun, kamu baik-baik saja?" suaranya semakin khawatir.
"Aku baik-baik saja, cuma sedikit pusing." aku mendesah kecil dan mencoba mengatur nafas.
"Kamu di mana?" nada suaranya yang penuh kekhawatiran masih terdengar.
"Di rumah, jangan khawatir."
"Kamu baik-baik saja? Mau membicarakannya?"
Ah, kalimat itu, kalimat yang dulu pernah menenangkanku.
"Tidak, tak perlu. Malah, aku ingin sekali menendangmu" aku sudah kembali.