home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > One Traveler

One Traveler

Share:
Author : sherry
Published : 07 Mar 2016, Updated : 13 Nov 2017
Cast : Kyo Najun (OC), Yoo Shijin, Goo June, Yeon Woojin
Tags :
Status : Ongoing
0 Subscribes |6744 Views |0 Loves
One Traveler
CHAPTER 12 : CHAPTER 2 - WEDDING, ANYONE?

CHAPTER 2

September 2013 - 2 tahun lalu

Aku duduk di kursi taman, menatap kosong ke rumput yang luas. Musim gugur akan segera berlalu dan musim dingin akan datang. Hampir sebagian besar daun sudah gugur, hanya beberapa daun berkeinginan kuat saja yang masih menggantung di batang-batang pohon.
Satu tepukan kecil di bahu mengembalikan kesadaranku akan sekeliling, setelah sekian lama tersihir oleh pepohonan dan suasana berangin di luar sini.

"Oh, Ayah, Ibu." aku tersenyum tipis sambil menyapa mereka.

Ibu mengelus rambutku dengan lembut sembari duduk di sampingku. Ayah berjalan mendekat dan duduk di sisi yang lain.

"Di luar dingin, kenapa tidak masuk?" tanya Ibu.

"Tak apa, Bu. Aku baru saja akan masuk kok" Aku berbohong padanya, karena aku tak berencana untuk masuk ke rumah sebelumnya.

"Najun, bolehkah kami bertanya?" Ayah bertanya ragu-ragu namun dengan pandangan serius.

"Tentu, Yah. Ada apa?"

"Sudah 3 tahun," dia terdiam, menunggu reaksiku. Setelah melihatku mendengarkan dengan tenang tanpa mengatakan apapun, dia melanjutkan,

"Sudah 3 tahun, dan 3 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Waktu yang cukup lama untuk terus melihatmu begini, sedih dan tanpa semangat setiap hari" Ayah mendesah.

Aku menggigit kuku, merasa khawatir tapi juga bersalah.

"Tidakkah kamu pikir harusnya kamu sudah melupakannya? Tak baik terus menerus berkabung" Ayah menepuk bahuku dengan lembut.

"Najun," suara Ibu yang lembut terdengar sedih,
"Kami hanya ingin kamu melanjutkan hidup. Masa mudamu masih panjang."

Aku berhenti menggigit kuku,
"Maaf membuat kalian berdua sedih, aku tahu, seharusnya aku tak begini. Aku akan berusaha lebih baik, aku janji" demi kedua orang tuaku yang sangat khawatir ini, aku harus memberikan jawaban yang menenangkan mereka.

"Najun, sayangku...kalau tidak keberatan, kami ingin kamu menemui seseorang akhir pekan ini." Ibu menyampaikan maksudnya dengan hati-hati.
"Jangan berpikir terlalu rumit tentang pertemuan ini. Kami hanya ingin kamu menemui teman baru, punya lingkungan yang baru" lanjutnya.

"Dia pria yang baik, anak seorang teman. Mungkin dia akan cocok untukmu." tambah Ayah.

"Kalian mencoba menjodohkan aku?" kuperjelas tujuan mereka.

Bukannya menyangkal, mereka memutuskan untuk jujur dengan menjawab,
"Sejujurnya itu salah satu tujuannya, tapi tidak harus begitu. Temui saja dulu, kami tidak minta lebih."

Aku tidak menjawab. Mengingat hidup yang kujalani selama 3 tahun ini membuatku merasa bersalah pada orang tuaku. Mungkin kalau hanya bertemu, tak ada salahnya.

Setelah mempertimbangkannya, aku mengangguk perlahan.

"Baiklah, aku akan menemuinya. Tapi berjanjilah ini hanya sebuah pertemuan biasa. Jangan berharap lebih"

Mereka tersenyum lebar mendengar jawabanku.

"Kami berjanji, Sayang. Kalian bertemu saja, dan berteman. Kami tidak peduli apa yang akan terjadi selanjutnya" Ibu mencubit pipiku pelan, penuh kebahagiaan. Dia lalu mengajakku masuk ke dalam.
"Ayo masuk, di luar dingin" katanya sambil melingkarkan tangannya ke pinggangku dan memeluknya penuh cinta.

***

Gain membuka pintu restoran dan loncengnya berbunyi. Dia masuk dan aku mengikutinya dari belakang. Kami duduk di meja dekat beranda. Waktu makan siang, dan rasa lapar menyerang kami yang sedang asyik berbelanja.

Pelayan datang dan menyerahkan buku menu.

Aku membolak-balik buku menu itu, pikiranku terbelah antara sepiring lasagna atau kari ayam.

"Kamu mau apa?" Gain bertanya sambil menutup buku menunya.

"Lasagna dan teh peppermint" jawabku.

Gain melambaikan tangan ke pelayan yang segera mendatangi kami lagi dengan buku catatan kecil di tangannya.

"Satu lasagna dan teh peppermint, panas. Satu caesar salad dan air mineral. Itu saja, terima kasih" dia segera menyebutkan pesanannya dan sang pelayan sibuk mencatatnya. Pelayan itu lalu mengulang pesanan kami sebelum meninggalkan meja.

"Jadi apa kamu akan menemui orang itu besok?" Gain mulai bertanya tentang rencana orang tuaku setelah aku memberitahunya pagi ini.

Aku mengangguk.

"Kamu kenal dia? Atau kamu mau aku melakukan 'riset'?" dia tersenyum nakal. Gain suka sekali melakukan riset tentang pria, terlebih pria yang menarik perhatiannya, atau yang sangat dia benci.

Kuhujani dia dengan tatapan kesal dan menjawab,
"Yang kutahu cuma dia adalah anak satu-satunya dari grup hotel GRAND, tapi kudengar, dia tidak mengurus bisnis keluarganya itu."

"Sungguh?" Gain terkejut, "Grup hotel GRAND itu adalah yang terbesar di negara ini, aku pernah dengar tentang pewarisnya, yah...dia memang anak satu-satunya tapi menolak meneruskan warisan keluarga. Kudengar dia sekarang bekerja sebagai...tunggu...aku lupa..." dia menggaruk dahinya.

Aku hanya mengangkat bahu ketika sang pelayan datang dengan pesanan kami.

"Makan dulu yuk" kataku.

Lasagna sudah setengah kosong ketika tiba-tiba muncul tangan yang meraih piringku dan mengangkatnya pergi, tepat di depan mataku.

"HEH!" aku terpekik.

Kulihat seorang pria tinggi berdiri di samping kursiku dengan piring lasagna di tangannya. Dia mengendus piringku dan memasukkan satu jarinya ke dalam saus. IYUH!

Aku segera berdiri dan menatapnya sambil berteriak "Apa yang kamu lakukan?!"

Pria itu menatapku balik sekejap mata sebelum kembali berfokus pada piringku lagi. Aku menyambar piring itu dan membantingnya ke atas meja.

"Aku bicara padamu, berengsek!"

Sebelum dia menjawab, para pelayan menghampiri kami dan mencoba memisahkan kami. Salah satu dari mereka membungkuk dan berkata,

"Maaf, Nona..."

"Siapa sih dia? Tidak tahu adat!" aku meminta penjelasan. Sepertinya mereka mengenal pria itu dengan baik.

Pelayan itu membungkuk sekali lagi,
"Dia koki kami. Sepertinya ada kesalahan pada bahan lasagna Anda. Tapi dia terlambat menyadarinya dan lasagna itu sudah kami hidangkan pada Anda."

Pelayan itu melanjutkan, dengan setengah berbisik,
"Dia agak perfeksionis soal makanan buatannya, karena itu sikapnya agak tidak sopan. Kami sungguh minta maaf" pelayan itu membungkuk untuk ketiga kalinya.

Aku melotot ke arah pria itu, yang bahkan tidak menyadari perbuatannya dan terus mengecap saus dan menggumamkan sesuatu. Namun tiba-tiba dia menatap ke arahku dan berkata,

"Maaf, Nona...aku memasukkan lada yang salah. Kalau tidak keberatan, aku akan memasaknya lagi untuk Anda, gratis". Dia mengatakan itu dengan raut wajah terdatar yang pernah kulihat bertahun-tahun dan itu membuatku makin marah.

"Lupakan! Aku keberatan!" kuambil kartu namaku dari dompet dan membantingnya ke meja.
"Ayo pergi, Gain! Kita tinggalkan tempat mengerikan ini!" lalu aku menudingkan jariku ke arah koki itu,
"Kau! Kau...itu kartu namaku, kirimkan saja tagihannya ke alamat itu dan kupastikan semua pesanan kami akan dibayar! Aku akan pergi dan tak punya waktu untuk meminta tagihan!" aku berteriak kesal dan berjalan secepat mungkin meninggalkan tempat itu bersama Gain yang mengejarku dari belakang.

***

Restoran di Grand Hotel tak dapat disangkal, adalah sebuah restoran paling elegan dan mewah di kota ini. Dengan detail ornamen di sana sini, dan marmer berkualitas tinggi, restoran dengan bintang Michelin ini menawarkanmu atmosfir kelas atas untuk acara-acara spesialmu, atau bahkan untuk kunjungan rutinmu.

Tak seperti dugaan, pertemuan itu bukan hanya tentang aku dan dia. Aku berjalan memasuki restoran dengan orang tuaku. Situasi canggung ditambah dekorasi restoran memberikan suasana layaknya pesta pertunangan, bukan cuma perjodohan.

Kami melewati pintu geser dan duduk di sisi kiri meja. Meja itu terdiri dari 6 kursi, jadi kutebak dia akan datang dengan orang tuanya juga. Aromanya semakin mencurigakan.

Kami tak menunggu lama karena setelah kami duduk dan mengobrol sebentar, pintu geser itu terbuka lagi dan 3 orang masuk ke dalam ruangan. Aku melihat seorang pria seusia Ayah dengan penampilan rapi yang biasa dilihat dari pria seusianya, dan seorang wanita di sampingnya, berambut pendek dan memakai gaun merah, serta alis mata tebal. Wanita itu tak terlihat judes tapi karisma memancar di sekelilingnya. Lalu akhirnya aku bisa melihat dengan jelas anak mereka yang sedari tadi berdiri di belakang mereka. Saat menatap wajahnya dengan jelas, aku tak bisa menyembunyikan rasa terkejutku, membuatku menahan nafas dan tanpa sadar menutup mulut dengan kedua tanganku. Para orang tua terkejut dengan reaksiku yang tiba-tiba. Setelah menyadari kelakuanku, aku membungkuk dan membisikkan 'Maaf' saat mereka mulai duduk.

Dia di sana, duduk di seberang kursiku, pria yang tinggi, dengan rambut hitamnya, matanya yang sipit tak bisa menyembunyikan tatapan matanya yang menyebalkan. Demi Tuhan, kenapa koki restoran kemarin ada di depan mataku sekarang?!!!

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2025 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK