home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > One Traveler

One Traveler

Share:
Author : sherry
Published : 07 Mar 2016, Updated : 13 Nov 2017
Cast : Kyo Najun (OC), Yoo Shijin, Goo June, Yeon Woojin
Tags :
Status : Ongoing
0 Subscribes |6744 Views |0 Loves
One Traveler
CHAPTER 13 : CHAPTER 2 - EXCUSE, YOU?!

Gain menangis, dengan sangat gembira. Setelah kuceritakan pengalaman mengerikanku semalam, dia tertawa keras sekali, sumpah, mungkin itu tawanya yang paling keras sepanjang hidupnya. Aku hanya bisa melotot, bahkan kalaupun aku juga merasa itu lucu, rasa kesal ini lebih menguasai diriku sekarang.

"Jadi berdasarkan ceritamu, koki menyebalkan di restoran waktu itu adalah anak pemilik Hotel GRAND? Orang yang akan dijodohkan padamu?" dia bicara tersengal kelelahan dan mencoba mencerna kembali semua ceritanya.

"Ya." kujawab singkat.

"Dan dia bukanlah direktur hotel, pemilik hotel, tapi seorang koki?"

"Ya."

"Jadi apa yang kamu lakukan sepanjang pertemuan semalam? Melemparinya dengan piring?"

"Ha-ha. Lucu, lucu sekali, Gain." aku tertawa sinis.

Kutinju bantal yang ada di tanganku, "Demi kehormatan keluarga dan leluhurku, aku berusaha yang terbaik menjadi Kyo Najun, anak perempuan Tuan Kyo Suho. Baik hati dan sopan."

"Lalu dia bagaimana? Dia tidak ingat kamu kan?" rasa penasaran menjadi semakin besar.

"Dia aktor yang hebat, lho. Dia berlagak begitu sepanjang pertemuan. Bahkan aku akhirnya berpikir dia lupa padaku dan menjadi sedikit santai, karena kupikir ya sudah lah ya, dia tidak ingat aku."

Aku menghela nafas.
"Tapi kemudian, saat acara selesai dan kami meninggalkan ruangan, dia menarik tanganku dan menahanku pergi"

Gain berguling mendekatiku dan memeluk bantal yang sedari tadi kupegang, "lalu? lalu?"

"Dia tertawa lebar, dan berkata aku terlihat seperti orang lain, karena bersikap manis dan sopan. Tidak seperti aku yang dia temui sebelumnya"

"Wah, dia ingat!" Gain memekik antusias.

"Dia bilang, dia baru akan meneleponku untuk menjelaskan soal tagihan kita kemarin, tapi saat dia membaca kartu namaku dan membaca nama perusahaannya, dia teringat pada rencana perjodohannya. Kemudian, dia bertanya pada orang tuanya tentang aku dan memastikan kalau itu memang aku, anak perempuan Kyo Suho, yang berteriak histeris di restorannya."

"Wow...pasti dia tidak sabar bertemu denganmu semalam" Gain tertawa.

"Menurutmu?"

Aku berdiri dan berjalan mendekati lemari buku. Aku mencari-cari judul yang menarik untuk dibaca dan melepaskan amarahku. Kutarik sebuah buku dari tempatnya dan duduk lagi di sebelah Gain. Aku hanya membuka halaman pertama sebelum menutupnya lagi dan mulai mengomel,

"Aku datang ke pertemuan itu dengan maksud baik. Agar orang tuaku bahagia, tapi lihat apa yang kudapat? Bukankah kau pikir ini keterlaluan?" aku meminta dukungan.

Gain menggeleng dan tersenyum, "Sebenarnya sih ini bagus untukmu. Kamu tak pernah berpikir kalau hidupmu menjadi lebih berwarna? Tidak cuma hitam dan abu-abu saja"

"Aku tidak butuh warna semacam itu dalam hidup, tahu" aku tidak mendapatkan dukungan yang kumau.

"Perlu, tahu? Dia membuatmu marah, setidaknya, kamu akhirnya merasa marah. Cobalah baik padanya. Dia juga sudah berbaik hati kan dengan pura-pura tidak mengenalmu? Kalau dia memang jahat, dia hanya perlu menceritakan yang sebenarnya soal temperamenmu dan meninggalkan pertemuan itu dengan segera" Gain melemparkan alasan.

"Eh maaf ya?! Temperamenku tidak datang begitu saja, dia yang membuatku begitu!" aku menjadi semakin kesal karena Gain menjadi sangat...obyektif.

"Yah...kamu ingat kan pelayannya bilang apa. Dia itu perfeksionis. Dia tidak mau kamu makan makanan yang tidak berkualitas tinggi, makanya dia melakukannya"

"Ah terserahlah Gain, kamu yang obyektif begini membuatku kesal!" kulemparkan tubuhku ke kasur dan menutup kepalaku dengan bantal.

Nanti saja berpikir laginya, malam ini aku hanya mau marah. Mungkin karena sudah lama aku tidak bertemu orang sekurang ajar itu; mungkin karena minggu ini perasaanku naik turun seperti rollercoaster; atau mungkin karena aku tak punya waktu memikirkan tentang Dongha walau untuk satu kali hari ini - setelah hampir 3 tahun ditelan oleh kenangan-kenangan tentang keberadaannya, yang bahkan sudah tak ada lagi.

***

Ada telepon untukku setengah jam yang lalu.

Siapa ini?

Namaku Woojin, calon tunanganmu.

Apa?

Aku calon tunanganmu.

Aku sibuk.

Aku juga. Bisa ketemu?

Buat apa?

Ada yang mau kutanyakan.

Kenapa harus?

Bukannya kamu punya banyak waktu luang ya?

Satu jam kemudian, aku masuk ke dalam kedai kopi di Dongdaemun dan menemukannya dengan cepat.

"Apa yang mau kau tanyakan?" aku langsung bertanya sambil menarik kursi di depannya.
Terkejut dengan kedatanganku, dia segera berdiri, mungkin mencoba bersikap seperti gentleman dan membantu menarik kursiku, tapi sudah terlambat sih.

Dia terkikik, "Wow wow...santai saja, santai. Kenapa buru-buru? Kamu mau pesan apa, Nona Najun?"

"Ice americano, manis" pesanku.

Dia pergi untuk memesan, Woojin pria yang tinggi dan badannya juga bagus. Rambutnya hitam dengan gaya rambut biasa, tapi dia tetap terlihat mencolok karena wajahnya yang cukup tampan. Aku bisa melihat beberapa wanita di dalam kafe melirik padanya. Bahkan baristanya menebar senyum saat melayaninya.

Dia meletakkan americano serta tisu di mejaku.

"Masih marah?" dia bertanya dengan santai.

"Marah? Siapa yang marah?" aku menanggapinya dingin.

"Oh oke...kamu masih marah" dia menanggapi.

Woojin melanjutkan, "Berarti ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan ini, karena kamu masih marah"

Entah apa dia mengatakan itu untuk membuatku penasaran atau memang sungguh-sungguh, tapi aku sedang tidak mood untuk tebak-tebakan.

"Jadi tak ada gunanya aku datang?" kujawab dingin.

Dia tertawa.

"Kamu wanita yang paling dingin yang pernah kukenal. Apa kamu pernah bercanda?"

"Percaya atau tidak, aku sering bercanda, tapi aku tak punya stok lelucon untukmu" kujawab dengan berani.

"Oh begitu...pertemuan pertama kita, eh maksudnya, aku, tidak cukup baik ya? Tapi bisa kamu berikan aku kesempatan kedua? Saat itu aku...marah pada diri sendiri karena bahannya salah. Aku biasanya sangat teliti dan tak pernah membuat kesalahan. Karena itu aku terlalu terobsesi pada lasagnamu dan jadi tidak sopan"

Penjelasan yang terlambat.

"Aku harus bagaimana agar kamu mau memberiku kesempatan lagi? Kuharap kita berhubungan baik mulai hari ini"

"Buat apa?" kucoba untuk mencari tahu karena kulihat, kami tidak perlu mencoba berhubungan baik.

"Demi kita mungkin?" jawabnya.

Aku tertawa mengejek.
"Sepertinya aku tidak perlu menempatkan diri di situasi itu" kujawab dengan dingin lagi.

"Kalau begitu, kenapa kamu datang ke perjodohan itu?" dia bertanya penuh penasaran.

"Tak ada alasan apapun. Orang tuaku memintaku datang dan aku datang. Itu saja" kujelaskan padanya.

"Kamu yakin? Kamu tahu itu perjodohan, kan? Ada alasan kenapa disebut perjodohan" dia terus menggali lebih dalam.

"Aku tak tahu situasimu, tapi orang tuaku berjanji takkan terjadi apa-apa setelah pertemuan itu jika memang aku tak mau" kuberikan tekanan pada kata-kataku agar dia mengerti sepenuhnya.

Dia mengangguk dan terlihat serius berpikir.

Aku berfokus pada americano dan menu makanan penutup di kafe itu ketika Woojin tiba-tiba bertanya,

"Menurutmu aku bagaimana?"

Aku terkejut, kuletakkan americano di tanganku ke meja dan menatapnya.
"Apa maksud pertanyaanmu?"

"Jawab saja. Lupakan bencana pertemuan pertama kita, dan sejujurnya, menurutmu aku orang yang seperti apa?" dia bertanya dengan nada yang sedikit memaksa.

Aku memandanginya dari atas ke bawah.
"Dari luar, kamu adalah pria yang tampan, apalagi kamu seorang koki, kombinasi yang menarik." aku meraih americanoku lagi, meneguknya lalu melanjutkan,

"...tapi kepribadianmu buruk" aku berpikir itu adalah waktu yang tepat untuk menyindirnya habis-habisan, lalu aku melanjutkan,

"sopan santunmu pada orang lain, pelanggan terlebih pada wanita nol besar."

Dia meneguk cappuccinonya, terlihat khawatir.

Hening.

"Itu saja?" tanyanya.

"Sepertinya" aku menjawab santai sambil menyenderkan punggungku di punggung kursi.

"Ternyata kesan pertama kita memang bencana" katanya sebelum menghela nafas, aku hanya mengangkat bahu.

"Maaf karena sudah menyakiti perasaanmu, entah bagaimana memperbaikinya, aku tak tahu. Tapi aku sungguh-sungguh, ayo kita mulai lagi, kertas yang baru."

Dia melanjutkan,
"Aku tak tahu apakah kamu tak tahu rencana ini, tapi keluarga kita merencakan pernikahan untuk kita, cepat atau lambat. Jadi aku memintamu ke sini untuk membicarakannya. Untuk mencari solusi yang menguntungkan kita berdua."

Pernikahan? Tunggu dulu...aku belum sampai ke bagian itu.

Kusembunyikan keterkejutanku dan menjaga wajahku tetap tenang.

"OK, aku akan jujur padamu, anggap saja ini bukti niatku untuk memulai lagi dari awal denganmu. Aku sebenarnya ingin membuat perjanjian denganmu tentang hal ini. Seperti yang kamu tahu, aku seorang koki. Itu adalah cita-cita lamaku dan sekarang semuanya berjalan lancar. Aku akan membangun nama besar restoranku bahkan mencoba mendapat bintang Michelin untuk membuktikannya. Tapi keluargaku terus menggangguku, terus menuduhku anak tidak berbakti karena tidak mau meneruskan bisnis mereka dan meneruskan warisan keluarga."

Dia meneguk kopinya lagi sebelum melanjutkan,
"Mereka terus memintaku untuk meninggalkan restoran, dan aku terus menolak. Terakhir, mereka akhirnya bilang aku bisa tetap mengurus restoranku asal aku menikah, mereka berharap setidaknya, istriku yang bisa menggantikanku"

Dia menghela nafas.
"Aku tahu sih kedengarannya egois, tapi kuharap kita bisa setuju menikah. Kalau iya, aku bisa terus mengejar bintang Michelin untuk restoranku, setelah aku mendapatkannya, itu bisa membuktikan kemampuan dan bisnisku sendiri, lalu kita bisa membatalkan pertunangannya" setelah membeberkan niat yang sebenarnya, dia menunduk dan menggaruk bagian belakang kepalanya.

Mendengar penjelasannya, hanya satu hal yang muncul di kepalaku,
"Lalu apa untungnya buatku?"

Dia menatap mataku sebelum mengangkat bahu,
"Itu yang ingin kuketahui hari ini. Tapi sepertinya kamu tidak punya alasan atau situasi khusus yang membuat pertunangan sebagai sebuah solusi"

Aku terdiam. Sebenarnya ada satu alasan yang bisa menjadikan pertunangan sebagai solusi terbaik.

Dia menatapku tajam, seperti mengharapkan jawaban, sebuah jawaban yang memuaskan.

Tidak. Aku takkan memberikan jawaban yang ingin dia dengar. Aku berdiri dan meraih americanoku.

"Jika sudah selesai, aku pergi dulu"

Woojin ternganga dan terlihat bingung.
"Kamu yakin tak ada yang meyakinkanmu?" nadanya terdengar memohon.

"Tidak. Tak ada. Semua itu masalahmu, dan maaf, aku tidak bisa membantu. Kita kan tidak saling mengenal" aku bergerak menjauh.

Dia berdiri dan mengejarku.
"Sungguhan?" sekarang dia terdengar kesal.

"Selamat berjuang, fighting!" aku dengan sengaja melempar aegyo padanya, memberikan isyarat 'fighting!' dengan tangan kananku sebelum melambai dan pergi dari kedai itu dengan cepat, bersama senyum lebar di wajahku.

***

Aku menarik ritsleting jaketku ke atas dan berjalan menyusuri trotoar. Musim dingin sudah tiba dan angin yang dingin seperti meninju setiap inci kulitku. Aku menguap dan menggosok hidungku yang membeku. Matahari akan segera tenggelam, menghilang dari langit. Aku memutuskan untuk berjalan dan menghabiskan waktu sendirian dengan berjalan ke N Seoul Tower, tapi di tengah jalan aku sadar aku memakai jaket yang salah, jaket yang ini terlalu tipis, dan angin dingin membuatku menyerah.

Aku bahkan urung berjalan ke rumah dan memutuskan naik bus saja. Duduk di belakang, merapatkan diri di sudut dan melemparkan pandangan ke luar jendela. Aku tak merasa kesepian, ini cuma perasaan kosong yang tidak pernah hilang. Aku masih ingat jelas hal-hal yang membuatku senang naik bus, tapi sekarang rasa senang itu tak tersisa lagi. Beberapa pasangan terlihat di jalan, terlihat hangat meskipun cuacanya dingin. Kulihat mereka bergandengan tangan, berpelukan, mencubit pipi pasangannya, atau bahkan hanya berbagi sarung tangan.

Aku menghela nafas.

Aku menghabiskan hidupku mencintai seseorang, tapi tidak pernah sekalipun dicintai. Aku dulu tidak peduli akan hal itu, selama aku bisa menghujani pria spesialku dengan banyak cinta. Tapi sekarang, bertahun-tahun kemudian, untuk pertama kalinya, aku menyesal. Menyesal karena tak pernah dicintai dan membayangkan musim dingin yang hangat karena mencintai seseorang yang juga mencintaiku.

Perasaan itu pasti sangat hangat.

Itu kesimpulanku.

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2025 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK