home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > One Traveler

One Traveler

Share:
Author : sherry
Published : 07 Mar 2016, Updated : 13 Nov 2017
Cast : Kyo Najun (OC), Yoo Shijin, Goo June, Yeon Woojin
Tags :
Status : Ongoing
0 Subscribes |6744 Views |0 Loves
One Traveler
CHAPTER 14 : CHAPTER 2 - MARRIAGE NOT DATING

Kekhawatiran orang tuaku tentang 'betapa menyedihkannya aku' semakin besar saja. Terkadang mereka masuk ke kamarku di malam hari, katanya hanya untuk mengecek jendela; kadang mereka menelpon terus sepanjang hari, saat aku keluar rumah dan belum kembali; hal terburuk adalah mereka terus bertanya soal Woojin dan pendapatku tentang dia. Semuanya menjadi semakin buruk ketika kakakku ikut serta dalam suasana menyebalkan ini. Titik puncaknya, mereka berpikir aku bisa menyakiti diri sendiri. Situasinya menjadi semakin tidak menyenangkan dan aku harus segera menyelamatkan diri. Lagipula sudah saatnya aku berubah, jadi kupikir, saatnya melanjutkan hidup.

Di lain pihak, Woojin benar-benar berupaya keras. Sekarang aku mengerti kenapa dia sangat butuh aku sebagai jalan keluar semua masalahnya. Setiap hari di pagi hari, dia akan mengirimiku sebuket bunga, langsung. Entah siapapun yang menerimanya, para pelayan, aku sendiri, kakakku, atau bahkan orang tuaku, dia terus melakukannya sudah 2 minggu ini. Dia terus memintaku mengunjungi restorannya setiap makan siang, dan dia akan membuatku menu makan siang spesial. Suatu hari aku tidak datang, dan dia mengirimkan makan siangku ke rumah. Di malam hari, dia akan menelponku setelah jam makan malam, hanya untuk mengobrol tidak jelas dan mengucapkan selamat malam. Harus diakui, usahanya benar-benar luar biasa.

Sekarang, aku sudah tidak lagi memusuhinya, atau merasa kesal padanya. Dia memang tetap menyebalkan, mungkin itu sudah bawaan lahir, tapi harus diakui kalau aku sudah terbiasa dengan keberadaannya sekarang. Aku belum bisa menyebutnya teman, tapi terkadang aku merasa dia sudah seperti seorang teman. Situasi ini memberi pencerahan bagi orang-orang di sekitarku, terutama orang tua kami. Mereka mungkin berpikir kalau perjodohan kemarin berhasil dan sekarang mereka berharap lebih.

Satu malam, keluarga kami berkumpul di restoran hotel GRAND, merayakan makan malam sebelum tahun baru. Saat itu, kami sedang asyik mengobrol, seperti umumnya pertemuan keluarga, bahkan saling bercanda satu sama lain. Di tengah makan malam, Woojin meninggalkan ruangan. Aku terus mengobrol dan menikmati waktu makan itu ketika tiba-tiba pintu terbuka dan Woojin masuk dengan baki tertutup di tangannya. Dia berjalan mendekatiku dan berdiri di sampingku, baki yang dia pegang diletakkan di mejaku, lalu dia membuka tutup bakinya. Di dalamnya terdapat kotak cincin yang sudah terbuka berisi cincin berlian. Aku menahan nafas dan menoleh ke arahnya, saat itulah dia berlutut dan berkata,

"Kyo Najun, apakah kamu bersedia menjadi pasanganku seumur hidup?"

Ruangan tiba-tiba senyap. Semua orang menahan nafas. Kulihat Ibu menutup mulutnya dengan tangan, karena terkejut, dan Ayah dengan canggung memperbaiki dasinya.

Si berengsek ini...

Woojin menatap mataku dan memberikan tanda dengan gerakan matanya, memintaku menjawab.

Jawab apa? Apa yang dipikirkan si berengsek ini!

Aku melotot padanya dan berbisik dengan sangat pelan dan perlahan 'Ma-u-ma-ti-ya-?'

Dan tiba-tiba saja Hyosub berseru,

"Jawab dong, Adikku!" lalu tertawa.

Bagus. Sekarang ada 2 orang yang harus kubunuh.

Aku masih terdiam di kursi dan berpikir keras tentang apa yang harus kulakukan, atau katakan. Aku berpikir sekeras mungkin sebelum akhirnya mengambil keputusan dan tanganku bergerak mengambil cincin itu lalu memakainya,

"Aku bersedia."

Semua orang bersorak, bahkan para pelayan. Ibu menggosok matanya dan Ayah bertepuk keras. Hyosub bahkan membunyikan gelas dengan sendok, layaknya parade.

"Oh Tuhan, aku tidak pernah membayangkannya, sekarang lihatlah aku gembira sekali" Ibu akhirnya bicara dengan suara serak.

Kulihat Ayah dan Ayahnya Woojin bersalaman sambil tersenyum lebar, dan saat itu aku sadar bahwa ini bukanlah lamaran, tapi lebih mirip perjanjian bisnis.

***

Kutendang Woojin untuk membalas 'keriuhan' yang dia buat malam ini. Aku benar-benar menendangi kakinya dengan keras di taman rumahku. Keluarga kami berkumpul lagi di rumah kami setelah acara makan malam itu, dan aku 'menyeretnya' ke taman untuk memperjelas satu hal, tapi sebelum aku bicara, kemarahanku sudah sampai puncaknya hingga dia akhirnya kutendangi karena kesal.

setelah beberapa lama...

Woojin meringis sambil menggosok-gosok kakinya. Aku duduk di sampingnya, diam, mencoba mengatur nafas. Kemarahanku berkurang, berkat adegan kekerasan barusan. Kurapikan rambutku, mengikatnya dan memperjelas satu hal padanya,

"Aku berkata 'iya' untuk menyelamatkan diri sendiri, dan mewujudkan keinginanmu" aku berkata dengan tenang.

"Kamu ingat janjimu waktu itu, dapatkan bintang Michelin dan akhiri pertunangan ini sesegera mungkin. Gunakan saja hubungan baru ini untuk keuntungan masing-masing" kuingatkan dia pada perjanjian itu.

"Sekali lagi," lanjutku,

"Aku tidak pernah, dan yakinlah, tidak pernah sekalipun, punya rencana untuk menikah denganmu."

Woojin, yang masih menggosok kakinya yang sedikit memar itu, tersenyum dan mengangguk pelan.

"Aku hampir berpikir kamu sudah jatuh cinta padaku" katanya sambil memperbaiki rambutnya,

"Setelah semua hal manis yang sudah kulakukan. Kupikir kamu jatuh cinta padaku"

"Bermimpilah, Woojin" aku berdiri,

"Ayo masuk sebelum orang-orang curiga. Kalau ada yang menanyakan memar di tubuhmu, berikan tipuan terbaik" aku berjalan masuk ke dalam rumah dan Woojin mengikutiku dari belakang.

***

"Ternyata, kita aktor yang hebat" Woojin menikmati es krim vanila di tangannya.

"Iya, kan?! Kita seharusnya jadi aktor saja dan mungkin kita bisa langsung memenangkan penghargaan Aktor dan Aktris Terbaik" aku setuju dengannya. Kumasukkan sendok ke dalam milkshake stroberiku.

"Orang tuaku tidak pernah sekalipun protes tentang pekerjaanku sebagai koki lagi" Woojin bercerita.

"Lalu bagaimana perkembangan restoranmu?"

"Lancar, jangan khawatir, beberapa bulan lagi semua selesai"

Woojin dan aku sedang menikmati 'kencan' di toko es krim di dalam taman bermain Sabtu ini. Ini adalah hari ke-100 pertunangan kami dan kami merayakannya dengan mengunjungi taman bermain. Tak ada yang curiga bahwa sebenarnya kami adalah pasangan palsu karena kami berpura-pura dengan sangat baik. Yang mengejutkan, Woojin dan aku ternyata saling mengerti satu sama lain. Kelihatannya sifatnya yang menyebalkan dan kesabaran dan ketidakpedulianku cocok satu sama lain. Kami sering pergi bersama, dan saling mengandalkan satu sama lain.

Kami berlari di atas lantai es di plaza taman bermain, pertunjukan akan segera dimulai. Kami datang ke sini memang untuk menonton pertunjukan spesial 'Opera on the Ice' dan kami berusaha mencari tempat paling cocok untuk menontonnya dengan bebas. Untungnya, baris depan belum sepenuhnya terisi, jadi kami berlari dan menembus orang-orang untuk berebut tempat itu.

Pertunjukannya benar-benar luar biasa. Aku terus bertepuk tangan dan bersorak, Woojin juga. Pertunjukan hampir selesai sehingga para pemainnya meminta penonton mendekati panggung dan bersorak lebih seru. Aku mengangkat tangan dan melambaikannya seperti yang lain. Para penonton semakin maju ke depan mengikuti keinginan para penampil. Kami semua melambai mengikuti irama. Suasana yang romantis dengan cahaya lampu temaram berkelip serta lagu latar yang lembut, kurasa adalah alasannya karena tiba-tiba aku bisa merasa seseorang memelukku dari belakang, dan sebelum aku menyadari apapun, Woojin sudah meletakkan kepalanya di bahuku. Untuk sekejap, aku terdiam dan kebingungan, tapi lalu aku menggerakkan kaki kiriku perlahan lalu menginjak kakinya dengan keras.

"Aduh!" karena kesakitan, dia melepaskan pelukannya dan aku bisa melihat wajahnya meringis kesakitan.

"Kamu sedang apa? Mau mati?" aku berkata dengan tenang sambil tersenyum mengerikan.

"Maaf, maaf" dia menggosok kedua tangannya,

"Sakit, tahu?!" dia protes.

"Memang itu tujuannya" aku mundur, meninggalkan kerumunan.

Aku berjalan dengan cepat meninggalkan tempat itu, dan Woojin berlari di belakangku, mencoba mengejar. Dia memegang tanganku dan menghentikanku,

"Aku sungguh minta maaf, aku tidak tahu kenapa aku begitu" dia menunduk, takut menatap mataku.

"Kamu mencoba mengambil kesempatan ya?" aku mengerutkan dahi.

"Tidak"

Kugaruk kepalaku, "Ayo pulang, moodku sudah hilang"

Tanpa banyak bicara, dia mengangguk dan mengantarku ke tempat parkir, kami menghabiskan sisa perjalanan pulang kami tanpa kata-kata, canggung satu sama lain.

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2025 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK