home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > One Traveler

One Traveler

Share:
Author : sherry
Published : 07 Mar 2016, Updated : 13 Nov 2017
Cast : Kyo Najun (OC), Yoo Shijin, Goo June, Yeon Woojin
Tags :
Status : Ongoing
0 Subscribes |6744 Views |0 Loves
One Traveler
CHAPTER 15 : CHAPTER 2 - THE BITTER TRUTH

Pagi hari setelah 'insiden' itu, kami memutuskan untuk memperjelas beberapa hal tentang kontak fisik.

Bergandengan tangan [v]
Memeluk tangan [v]
Berpelukan [v] catatan: dengan cepat dan seminimal mungkin
Pelukan dari belakang [x]
Berciuman [x]
Ciuman di pipi/dahi [v] - tapi lebih baik dihindari

Kami membuat daftar dengan segera dan menyetujui daftar itu.

Aku menyandarkan punggung ke kursi dengan ekspresi kesal,

"Untuk saat ini, rasanya cukup."

Woojin terlihat melamun dan hanya mengangguk. Dia tidak banyak bicara hari ini. Kelihatannya dia sibuk memikirkan sesuatu. Meski aku sebenarnya khawatir, tapi aku memilih diam dan tak bertanya apapun.

Aku berdiri dan berjalan ke arah taman. Aku melihat sekeliling, tempat ini adalah tempat favorit untukku menyendiri dan menikmati waktu. Aku sudah menghabiskan waktu lama untuk duduk di rumput taman ini dan memikirkan seseorang. Tapi belakangan ini, aku terus menerus lupa mengingatnya, ingatanku perlahan terhapus dengan kehadiran Woojin dan kesibukanku saat ini. Pepatah itu benar adanya, untuk melupakan sesorang, kamu harus menyibukkan diri. Di satu titik, kurasa aku siap melangkah maju menjalani hidup sekali lagi.

Sambil berjalan, aku melirik ke arah Woojin, yang masih terdiam di kursinya, tak bergerak. Aku bisa melihatnya menghela nafas beberapa kali, kelihatannya dia punya beban di hatinya. Sebenarnya, aku sangat penasaran dengan apa yang dia pikirkan, tapi aku tidak mau jadi usil, jadi kubiarkan dia sendiri.

"Mau masuk?" aku berdiri di sampingnya.

"Aku pulang saja. Kita sudah selesai bicara, kan?" jawabnya.

Aku bertanya-tanya, apa yang terjadinya padanya?

"Ya, sudah. Ada hal penting yang harus kau lakukan?"

Dia menggeleng, "Tidak...aku hanya...tidak enak badan...lebih baik aku pulang dan istirahat"

Kulihat dia berbalik dan bergegas pergi, dan segala perasaan khawatir memenuhi pikiranku.

Aku menggigit bibir, khawatir. Aku menghela nafas sebelum berbalik masuk ke rumah.

***

Malam itu, aku memutuskan untuk berperan sebagai kekasih yang khawatir, tidak, sebenarnya aku memang khawatir pada Woojin. Jadi aku membuat bubur dan pergi ke rumahnya..

*ding dong*

"Siapa?" suara terdengar dari speaker.

"Aku, Najun."

Pintu terbuka dan aku langsung masuk. Woojin berdiri di seberang pintu, dengan t-shirt acak-acakan dan celana pendek.

"Sedang apa kamu di sini?" dia terlihat terkejut.

"Aku bawakan bubur, tapi entah bagaimana rasanya, ini pertama kalinya aku memasak bubur" kuletakkan wadah bubur di meja makan dan berjalan ke ruang tamu kemudian duduk di sofa.

"Bubur?" dia terlihat bingung.

"Ya...bubur, bukannya orang sakit makan bubur ya?" jawabku.

"Tapi ini hanya masuk angin biasa. Kenapa repot-repot" dia menjawab sambil duduk di sisi lain sofa.

Aku mengabaikan protes darinya dan mengambil remote di atas meja. Kupindah channel-nya meskipun aku bisa merasakan kalau dia sedang menatapku dengan tajam.

"Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kamu terganggu dengan kedatanganku? Aku berusaha jadi kekasih yang baik mendengar kamu sedang sakit...tapi sepertinya kamu kesal dengan kedatanganku" kuletakkan remotenya kembali ke atas meja dan menatap balik padanya.

"Tidak...cuma terkejut." dia berkata pelan dan menunduk.

Aku berjalan mendekat dan meletakkan telapak tangan di dahinya,

"Hmmm...apa kamu demam?" kuletakkan tangan lainnya di dahiku sendiri.

"Sepertinya tidak...temperaturnya biasa saja" kujawab sendiri pertanyaanku.

"Mungkin kamu benar, cuma masuk angin, minum air yang banyak, istirahat yang cukup. Aku pulang ya" kulepaskan tanganku dari dahinya dan berjalan menuju pintu, tapi dia meraih tanganku dan berkata,

"Jangan pergi...dulu. Kamu baru saja datang. Ayo makan" pandangannya tajam dan bersungguh-sungguh, dan sejujurnya, sedikit menakutkan, jadi aku hanya mengangguk dan duduk kembali di sofa sementara dia berdiri dan menuju ke ruang makan.

"Akan kusiapkan makan malam, duduk saja di sana" dia menepuk kepalaku pelan.

Kemudian Woojin menghabiskan 30 menit kemudian menyibukkan diri di dapur. Kadang aku mencuri pandang untuk memeriksa keadaannya. Aku lega karena dia tidak sesakit itu dan akhirnya memutuskan untuk menikmati waktu menungguku dengan menonton drama di TV.

Woojin memanggil saat semua siap. Aku melihat meja makan dipenuhi makanan sekarang. Bahkan bubur yang kubawa tersaji di sana, dengan sedikit tambahan di sana sini dari sang koki. Aku lupa sama sekali bahwa aku memasak bubur untuk seorang koki, sungguh terlalu...

Kami menikmati makanannya dan membicarakan drama yang kutonton barusan. Kami hampir lupa alasan kenapa aku ada di sini dan menikmati waktu yang berlalu. Setelah makan selesai, aku membantunya mencuci piring sebelum kami duduk bersama kembali di sofa, menonton TV.

"Terima kasih untuk makanannya ya, ini malah seperti traktiran makan malam dibanding menjenguk orang sakit" candaku. Dia menatapku dalam-dalam, tanpa berkata apa-apa.

"Begini, Woojin, aku merasa aneh belakangan ini dan kupikir harus kutanyakan sendiri." ekspresi wajahnya menjadi serius saat mendengar ucapanku.

"Kenapa belakangan ini kamu semakin pendiam? Apa aku salah bicara?" Kukatakan kehawatiranku. Kulihat wajahnya yang tegang kembali santai, tapi juga terlihat sedikit kecewa.

"Entah, aku juga punya kesulitan mengetahuinya. Kupikir aku harus memikirkannya dengan baik sebelum memberitahukannya padamu"

Sejujurnya aku tak mengerti apa maksud perkataannya itu, tapi kuhormati jawabannya dan tak bertanya lagi.

Hampir jam 9 malam dan kuputuskan untuk pulang. Aku berdiri dan berpamitan,
"Sudah larut, lebih baik aku pulang. Cepat sembuh ya"

Woojin terdiam sesaat, hanya menatap dalam-dalam wajahku. Sebelum aku sempat bertanya ada apa, dia berdiri dan memelukku erat.

Aku terkejut. Aku terdiam beberapa detik sebelum akhirnya mencoba melepaskan pelukannya.

"Hei, tidak boleh berpelukan!" protesku. Woojin melepaskan pelukannya tapi memegangi tanganku dengan erat,

"Jangan pergi. Jangan pergi. Tinggallah di sini malam ini" pintanya.

Aku terdiam, lalu melepaskan tangan yang dia genggam.

"Kamu..." suaraku pelan. Dia menatapku lembut, dengan tatapan lembut langsung ke dalam mataku.

"Kamu..." aku mengulangi kata-kataku.

"Kamu...kamu tidak sopan!" aku berteriak dan menendang kakinya sebelum bergegas menuju pintu depan. Kupakai sepatuku dengan tergesa-gesa dan membuka pintunya.

Sebelum pergi, aku berbalik dan berteriak sekali lagi,

"Dasar kurang ajar! Kalau kamu berusaha mengambil kesempatan lagi, pasti kamu sudah bosan hidup!" lalu membanting pintunya.

***

Semalaman aku tak bisa tidur. Tingkah aneh Woojin membuatku bingung. Selain itu, sejak dia memelukku di taman bermain itu, aku merasa sedikit grogi berada di dekatnya. Melihat wajahnya membuatku sedikit malu dan aku baru menyadari kalau sekarang aku bahkan menghindari kontak mata langsung dengannya.

Aku duduk di pinggir jendela kamarku, yang terbuka lebar agar angin bisa masuk.

Ngomong-ngomong soal Woojin...

Begini, Woojin sebenarnya orang yang baik, hanya saja sifatnya memang sedikit bermasalah. Tidak, dia bukannya jahat, dia hanya sedikit kekanak-kanakan dan egois. Sulit untuk benar-benar serius jika berada di dekatnya. Dia selalu menganggap segala sesuatu itu mudah. Satu hal yang bisa membuatnya serius hanya saat dia memasak. Dia adalah koki yang sangat tekun dan bakatnya luar biasa. Aku semakin terbiasa bersamanya, karena dia seseorang yang bisa diandalkan, dalam beberapa hal. 'Beberapa hal' itu maksudnya hal yang membuatku senang. Aku bisa mengandalkannya untuk berbahagia. Aku bisa mengandalkannya untuk bersenang-senang. Terkadang aku merasa dia seperti sudah mengetahui masa laluku dan rasa sakit yang kurasakan, dan apakah dia selalu membuatku sibuk agar aku berhenti memikirkan Dongha. Aku tidak pernah bertanya, karena itu sama seperti menyalakan api, satu pertanyaan yang salah, akan membawamu ke cerita yang lebih besar. Aku juga tak berminat berbagi mimpi burukku dengan orang lain.

Teleponku berdering, aku harus berjalan ke sisi lain kamar untuk mengambilnya dari atas meja rias.

"Ini Najun"

"Ini aku, Woojin"

*hening*

"Bicaralah, Woojin...kan kamu yang meneleponku"

*hening*

"Kututup kalau kamu tidak mau bicara, astaga!" kuancam dia.

"Aku sedang berpikir, aku sedang berpikir!" suaranya terdengar kesal karena ancamanku.
"Aku punya dua rencana di pikiranku, tapi tak tahu yang mana yang lebih baik untukmu. Jadi lebih baik pilih sendiri" dia berbicara dengan cepat.

"Apa?"

"Satu, ayo kita makan malam roman...eh maksudnya mewah di restoranku Sabtu malam nanti"

"Hmmm...biar kupikir dulu...apa pilihan kedua?" jawabku, berpura-pura bingung.

"Dua, ayo kita jalan-jalan santai Sabtu malam nanti, di sepanjang Sungai Han"

"Tidak ada pilihan lain?" godaku.

"Kututup" dia terdengar lebih kesal daripada sebelumnya.

Aku terbahak dan buru-buru berkata 'maaf' sebelum dia benar-benar menutup teleponnya.
"Aku sudah sering makan malam di restoranmu. Kupilih nomor dua saja" jawabku.

"Baiklah, kujemput hari Sabtu, jam 6 sore."

"OK"

Kami membuat janji berkencan. Kencan? Aku tertawa sendiri saat memikirkannya dan berjalan keluar kamar. Kencan hanya berlaku untuk kekasih, kami bahkan tidak dalam hubungan semacam itu, astaga!

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2025 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK