Aku berjalan masuk ke dalam restoran. Jam makan siang sudah selesai 30 menit yang lalu, jadi sudah tidak banyak orang di dalam restoran. Kebanyakan sedang bersiap untuk pergi dan beberapa lainnya memang baru datang untuk makan siang yang terlambat.
Aku duduk di meja yang kosong dan seorang pelayan segera datang dan memberikanku buku menu. Aku memesan air mineral dan menutup buku menu. Kuberikan kembali buku menu itu pada pelayan dan berpesan kalau aku ingin menu makan siang pilihan kokinya. Kutekankan padanya,
"Aku ingin menu makan siang yang dipilihkan oleh Chef Woojin" dan tersenyum lebar, sementara pelayan itu terlihat kebingungan.
Aku yakin dia benar-benar bingung, tapi dia tetap berjalan menuju dapur untuk menyampaikan pesananku.
Aku menatap tajam ke jendela di pintu dapur.
Dalam 3...2...1...dan voila!
Aku melihat mata Woojin mengintip. Dia mencoba mencari tamu aneh yang meminta menu rekomendasi darinya. Aku melambai, dengan senyum lebar di wajahku. Dia terlihat terkejut dan balas melambai.
Sepiring kepiting saus kedelai diletakkan di atas mejaku,
"kenapa kamu terlambat makan siang?"
Terdengar suara Woojin di belakangku. Dia berjalan ke kursi di hadapanku dan meletakkan tangannya di atas meja, untuk menopang pipinya.
"Aku sibuk. Ini sungguhan, Woojin? Menu kepiting? Kamu kan tahu aku tidak suka makan kepiting, ribet" aku mengerutkan dahi.
"Itulah kenapa aku memilihnya, jadi kamu membutuhkan bantuanku untuk memakannya" jawabnya dan dia menarik piringku mendekatinya.
Dia lalu mulai memisahkan daging dari cangkangnya dengan telaten. Aku hanya menatapnya, memanfaatkan keasyikannya dengan tetap diam.
Sepiring daging kepiting sudah siap di piring dan dia mendorong kembali piring itu mendekat padaku. Dia menarik piring lain berisi cangkang dan membawanya ke dapur. Aku mulai menikmati kepiting yang lezat itu tanpa menunggu, lagipula aku lapar sekali. Dia kembali setelah membersihkan tangannya.
"Mau anggur?"
"Sudah gila? Aku masih harus bekerja" kujawab dengan mulut yang setengah penuh.
"Siapa tahu"
Dia duduk kembali di hadapanku dan menontonku makan sambil tersenyum.
"Apa?"
"Tak ada. Aku hanya senang kamu mampir dan makan di hadapanku seperti ini"
"Kamu sudah makan?"
"Sudah. Satu jam yang lalu"
"Kepiting juga?"
"Kimchi lobak dan sup ayam ginseng"
"Waaa...mewah"
"Aku kan koki, aku punya banyak pilihan untuk dimakan"
Aku mengangguk dan menggigit daging kepiting terakhir yang tersisa.
"Terima kasih makan siangnya. Kepitingnya enak sekali, ini akan memberiku energi sampai nanti malam"
"Aku senang mendengarnya, sungguh"
"Kamu selalu senang mendengar apapun dariku kan?!" aku terkekeh.
Bukannya menjawab balik, dia hanya menyeringai dan berkedip genit.
"Baiklah Woojin, maaf ya, tapi aku harus pergi sekarang. Ada rapat satu jam lagi"
"Kapan sih kamu tidak sibuk? Menyebalkan sekali. Aku rindu masa-masa di mana kamu tidak bekerja dan punya banyak waktu luang"
"Umur kita bertambah, Woojin. Aku perlu bekerja, kamu perlu bekerja; agar kita bisa belajar tentang dunia. Tapi aku sedih mendengarnya. Aku juga berharap bisa lebih santai daripada sekarang."
"Cutilah kapan-kapan dan pergi bersamaku"
"Kedengarannya menyenangkan. Coba kita lihat nanti ya. Ya sudah, aku bisa terlambat...aku pergi sekarang. Bye bye, Woojin" kutinggalkan kursiku dan melambai padanya sambil berjalan cepat ke arah pintu.
***
"Mau mampir sepulang kerja?"
"Lihat nanti, ya. Ada apa?"
"Tak ada. Aku sedang masak, mencoba resep baru, tapi baru sadar kalau ini porsi untuk 2 orang."
"Masukkan saja ke kulkas untuk sarapan besok, bisa kan?!" kuberikan dia solusi sederhana daripada repot-repot mengundang orang lain datang ke rumahnya.
"Ternyata alasan itu tidak cukup ya untuk mengundangmu datang ke rumah?"
Aku terkejut.
"Jadi intinya adalah 'siapa' bukan 'apa'?" kucoba memperjelasnya.
"Tentu saja. Tapi kalau kamu tidak sempat, tak apa. Idemu untuk menjadikannya sarapan cukup oke kok."
Aku menatap meja dan tumpukan kertas di atasnya.
"Kuusahakan. Nanti kutelepon lagi. Masak yang lezat ya, siapa tahu aku kelaparan. Makanku banyak."
Kututup ponsel dan menghela nafas panjang. Kuharap aku bisa menyelesaikan pekerjaanku dengan segera. Aku butuh istirahat dan sejujurnya, rumah Shijin cukup nyaman.
"Nona punya janji?" suara Sekretaris Son terdengar di belakangku.
"Astaga! Aku lupa kamu di sini. Kamu mengagetkanku, Kak Yuhyon!"
Ia menunduk dan berbisik 'maaf'.
"Lebih mengarah pada undangan daripada janji temu" jawabku sambil menata kertas yang berserakan di mejaku.
"Anda dapat menerima undangannya, Nona. Anda butuh istirahat"
"Benar? Benarkah, Kak Yuhyon? Aku boleh pulang cepat malam ini?" Aku cukup yakin mataku bersinar terang saat menanyakan hal ini.
Ia mengangguk lembut dan aku segera berdiri dan menjabat tangannya.
"Terima kasih, terima kasih banyak! Aku pergi dulu ya, bye" Aku melambai dan meraih tasku sebelum berlari menuju pintu.
Kukeluarkan ponsel untuk menelepon Shijin tapi aku merasa ragu dan memasukkan kembali ponsel itu ke dalam tas. Kejutan akan lebih baik, pikirku.
Kukendarai mobilku menuju flatnya, lalu lintas cukup padat tapi masih belum memburuk.
Maka di sinilah aku, berdiri di depan pintu rumahnya. Aku membunyikan bel.
"Siapa?" wajahnya muncul di monitor.
Aku melambai,
"Aku, aku lapar sekali. Buka"
Kulihat dia tersenyum sebelum bunyi pintu terbuka.
***
"Galbi-jjim buatanmu cukup lezat, kamu yakin ini pertama kalinya kamu masak ini?" aku bertanya tentang masakannya sambil membantunya mencuci piring.
"Benar, ini pertama kalinya kok." dia meyakinkanku.
"Rasanya seperti masakan temanku yang seorang koki" tiba-tiba aku teringat Woojin.
"Kamu punya teman koki? Laki-laki atau perempuan?" tanyanya.
"Namanya Woojin. Dia memiliki restoran dan juga bekerja di restoran keluarganya. Kita bisa mampir kapan-kapan. Akan kuperkenalkan padanya. Dia orang yang menyenangkan"
"Kelihatannya kalian cukup dekat" dia meletakkan piring terakhir ke dalam lemari dan menutupnya.
Kami berjalan bersama ke ruang tamu, dan duduk di sofa.
"Dia mantan tunanganku" kujawab ringan tanpa banyak berpikir.
Dia menoleh menahan nafas,
"Dia siapa?"
"Mantan tunangan. Kenapa?" aku menoleh dan bertanya penuh kebingungan.
"Kamu masih dekat dengan mantan tunanganmu? Kupikir perempuan biasanya tidak terlalu suka hubungan seperti itu" dia terlihat terganggu dengan jawabanku.
"Pria yang biasanya tidak nyaman dengan status seperti itu, kami wanita sih tidak. Lagipula, itu bahkan bukan pertunangan sungguhan, aduh ceritanya panjang. Singkatnya, kami lebih seperti sahabat dibanding hubungan romansa pada umumnya."
"Bisa dipersingkat ceritanya?" kelihatannya dia tertarik pada hubunganku dan Woojin, tapi aku tidak.
"Ya, tidak bisa. Menceritakan masa lalu itu melelahkan." kuraih remote dan mengganti-ganti saluran TV.
Shijin baru saja akan bicara namun terlihat ragu dan menutup kembali mulutnya.
Aku menoleh, tergerak oleh reaksinya.
"Apa ada masalah padaku dan mantan tunanganku? Kelihatannya kamu terganggu."
"Aku hanya...hanya tidak pernah mendengarnya, itu saja"
"Yah..." aku bersandar ke bahu sofa,
"Aku biasanya tak suka membicarakannya, tak ada hubungannya denganku lagi" aku terdengar sedikit melankolis, karena aku sadar nada suaraku berubah.
"Aku sebenarnya penasaran. Bukannya aku mau tahu urusan orang lain, tapi penasaran kenapa kamu bisa mengalami hal seperti itu"
"Banyak yang terjadi di masa lalu. Banyak." Aku berhenti sebentar dan mengambil tehku.
Aku meminum beberapa teguk sebelum meletakkan kembali ke atas meja.
"Kalau dipikir lagi, aku sudah banyak berubah. Berkat banyak orang, termasuk kamu"
Dia hanya bisa menunjukkan wajah penuh kebingungan yang tidak pernah kulihat sebelumnya, tanpa berkata apa-apa. Yah...mungkin dia bahkan tidak ada bayangan apapun.
"Mungkin aku akan menceritakan padamu masa laluku, lain kali, saat waktunya tepat."
Ekspresinya menjadi lebih tenang dan senang.
"Aku ingin mengenalmu lebih jauh" sahutnya.
Aku hanya tersenyum dan melemparkan pandanganku ke depan TV.