CHAPTER 3.2
Setelah ribuan SMS dan telepon dari Woojin, aku akhirnya menyisihkan waktu untuk menemuinya lagi. Sungguh menyebalkan, mengingat apa yang dilakukannya saat pertemuan terakhir kami, aku tidak berencana menemuinya lagi dalam waktu dekat, kalau kalau dia merencanakan sesuatu yang mencurigakan lagi.
Tapi dia terus memohon untuk bertemu, sebagai tema, katanya; memulai lembaran baru, katanya, sebentar saja, katanya. Kupikir tak baik terus menghindarinya, jadi malam ini, aku pergi ke restorannya dan berencana makan malam dan semoga saja, dapat mengobrol dengan baik.
"Selamat datang, Nona Najun, silahkan lewat sini" pelayannya menyambutku dan menunjukkan mejaku saat aku datang ke restorannya. Aku duduk di kursi yang dia tunjukkan dan bertanya,
"Di mana Woojin?"
"Di dapur, menyiapkan makan malam Anda"
"Makan malamku? Jadi aku tak bisa memilih menuku sendiri?" aku menghela nafas dan menutup buku menu lalu menyerahkannya pada si pelayan.
"Ya sudah kalau begitu, terima kasih" aku memberinya senyum kecil sebelum dia membungkuk dan meninggalkan mejaku.
Untuk membunuh kebosanan, aku mengeluarkan ponselku dan berpikir untuk mengirimkan pesan singkat. Gain, mungkin? Sebelum aku bisa memutuskan siapa yang akan aku hubungi, sebuah pesan masuk.
Hei, kamu di mana?
Oh, ini Shijin.
Aku mengetik jawaban dengan cepat,
Di restoran temanku. Dia mengundangku makan malam.
Dia menjawab,
Hooo...wow...
Aku terkikik dan sebelum aku bisa mengetik jawabannya, ada tepukan pelan di bahuku.
"Selamat malam, Cantik"
Ternyata Woojin.
"Norak sekali, Woojin, norak" aku merengut.
Dia tertawa dan segera duduk di kursi di depanku. Dia melambaikan tangannya ke arah pelayan dan dia mendekati meja kami.
"Bawakan makanannya."
Si pelayan mengangguk dan membungkuk sebelum berjalan cepat menuju dapur.
"Apa menu makan malamnya?" dengan santai aku bertanya.
"Kesukaanmu, lasagna" jawabnya.
Lasagna itu pula yang memulai pembicaraan panjang kami. Kami membicarakan banyak hal, mulai dari pertemuan pertama kami (yang melibatkan lasagna juga) dan tentang lain hal. Aku merasa bertemu kembali dengan Woojin yang dulu, Woojin yang selalu membuatku ceria 3 tahun lalu.
Kami membicarakan banyak hal, yang tidak sempat kami ceritakan selama jangka waktu 3 tahun kami berpisah. Sungguh mengagumkan betapa 3 tahun bisa mengubah kehidupan seseorang.
"Jadi sekarang restoranmu sudah punya bintang Michelin?"
"Yap. Aku juga bekerja di restoran keluargaku di Grand Hotel sebagai koki kepala"
"Keluargamu sudah tidak memaksamu mewarisi bisnis mereka lagi?"
"Tidak. Mereka akhirnya sadar aku terlalu bodoh untuk melakukan hal yang benar. Mereka hanya memintaku mengawasi bisnis dengan baik, menjaganya tetap berjalan di jalan yang benar, dan memberiku jumlah saham yang cukup."
...dan masih banyak lagi cerita lain yang kami ceritakan. Aku juga membaginya cerita perjalananku, kebebasanku dan kehidupanku yang bebas stres, itu saja sih. Aku tidak menceritakan tentang June padanya.
Kami selesai makan pukul 8 dan dia menawarkan diri untuk mengantarkanku pulang.
"Tapi benar-benar jalan kaki, ya. Tak apa?"
"Tak apa, kita harus membakar kalori yang tadi kita makan 'kan" jawabku.
Namun ternyata, karena ini masih di awal musim semi, kami mengalami apa yang disebut dengan 'Flu Musim Semi'. Temperatur sedingin musim dingin. Untungnya pakaianku cukup hangat, dan aku juga pakai topi. Tapi sembari berjalan, aku melihat Woojin bersin bersin. Hidung dan pipinya mulai memerah, dan dia terus menggosok kedua tangannya.
Aku melepas syal dari leherku dan menghentikannya berjalan.
"Nih, pakai ini. Ini malam dingin di musim semi, jangan sampai kamu kena flu" Aku mengatakannya sambil mengikatkan syal di lehernya.
"Bagaimana denganmu?" dia berucap setelah sekian lama memperhatikanku.
"Pakaianku hangat, jangan khawatir" aku menjawab sambil melanjutkan perjalananku, meninggalkannya di belakang.
Dia berjalan lebih cepat untuk menyamakan langkahku. Kami berjalan menyusuri Times Square bersama sibuknya para pejalan kaki lainnya di pusat belanja ini.
Kami melewati sebuah restoran Cina bernama "Daemunjeom" dan dia berkata,
"Kita harus ke sini sekali sekali, tempat ini terkenal sekali"
Aku tertawa, "Kamu ini pemilik restoran, kok bisa bisanya berkata begitu?"
"Hei, ini namanya riset pasar"
Tawa kami berderai sepanjang perjalanan di malam yang dingin ini.
***
Aku sudah berpiyama dan berguling di tempat tidur menggenggam ponsel, main game.
Tinggal 3 bata untuk dihancurkan ketika sebuah pesan masuk.
Terima kasih untuk jalan-jalannya :)
Aku tersenyum dan membalas,
Kaloriku terbakar. Pas sekali!
Kupikir pesan itu tidak akan berbalas lagi jadi aku memulai gameku yang tertunda tadi tapi tiba-tiba pesan lain masuk.
Belum tidur, atau tidak bisa tidur?
Masih jam 10. Aku sedang main game di ponsel. Kamu sendiri?
10 bukan 'masih', Nona Muda. Ini sudah malam. Tidurlah, besok kamu kan harus bekerja!
Kamu terdengar seperti Sekretaris Son deh. Jangan-jangan ini Sekretaris Son?
Hahaha, aku lebih tampan darinya.
Kenapa kamu yakin sekali?
Kami mengobrol selama hampir satu jam, kebanyakan hanyalah candaan untuk satu sama lain.
Aku mengantuk, ayo tidur, Woojin.
Kamu memintaku untuk tidur denganmu? OK, aku segera ke sana.
Mesum.
Haha. OK OK. Selamat malam, Najun. Tidur nyenyak. Mimpikan aku :)
Tidur nyenyak, Mesum.
Aku menarik selimut dan mematikan lampu. Sebelum menutup mata, aku terkikik dan tersenyum untuk terakhir kalinya, teringat pada semua isi obrolan Woojin barusan.
Mengenalnya adalah salah satu hal yang paling menyenangkan. Dia seperti sebuah sumber kebahagiaan.
***
Malam datang lagi, aku baru saja selesai makan malam dan sedang bersantai di kamarku, bersama Gain yang sedang menginap karena dia bosan di rumahnya sendiri.
Ponselku berbunyi, telepon dari Shijin.
"Ya Shijin, ada apa?" aku menjawab dengan nada ceria.
"Kamu sungguh sibuk sekali ya minggu ini" suaranya terdengar cukup datar karena suatu hal.
"Ya...pekerjaanku menumpuk, seperti biasa, dan aku harus bertemu dengan banyak orang"
"Jadi itu sebabnya aku jarang mendengar kabarmu belakangan ini"
"Jangan begitu. Mungkin aku juga salah karena sudah lama tidak bertemu denganmu, Shijin. Bagaimana kalau besok? Besok hari Jum'at, kita harus memulai akhir pekan."
"Hmm...sungguh? Kamu tidak sibuk?"
"Jangan terus begitu, Shijin. Aku minta maaf karena terlalu sibuk. Ayo bertemu lagi dan bersenang-senang. Lagipula sudah lama kita tidak bertemu, aku rindu padamu'."
"Hei, aku juga. Baiklah kalau begitu, aku jemput besok jam 6 sore di kantor?"
"Call!"
"OK, selamat tidur, Najun"
"Selamat tidur."
Gain diam-diam duduk di sampingku.
"Siapa itu? Shijin? Dia orang yang kamu temui di Roma?"
Aku mengangguk.
"Apa dia orang yang baik? Saat kamu bilang 'Aku rindu padamu' kamu kelihatannya sungguh-sungguh" dia mulai menginterogasiku.
"Apa aku pernah bohong soal perasaanku? Kalau aku bilang aku rindu seseorang, aku memang rindu." jawabku tenang.
"Jadi dia seseorang yang bisa membuatmu rindu" dia mengambil keputusan satu pihak.
"Dia orang yang baik. Akan kuperkenalkan padamu lain kali."
"Tidak, terima kasih. Aku takut dia akan langsung jatuh cinta padaku"
Aku hanya menepuk tanganku selayaknya sebuah penghormatan pada leluconnya yang out-to-date itu.