Pada akhirnya, 3 hari aku menghabiskan waktu untuk 'sakit'. Di hari keempat, aku memutuskan untuk menghadapi semuanya dan datang ke kantor. Selama itu, June terus menghubungiku, menanyakan keadaanku, tapi tidak pernah berbalas. Aku tidak punya keberanian untuk membalas pesan-pesannya.
Bekerja secara normal hampir mustahil untukku sekarang. Aku sulit memfokuskan diri dan selalu kesulitan memahami setiap tulisan di dokumen. Yang bisa kulakukan sekarang adalah menatap kosong ke dokumen-dokumen itu, sebelum kemudian teringat ke kejadian di pagi itu, atau malah bicara sendiri seperti orang gila.
Aku tak pernah lagi bicara pada June sejak itu. Tidak sepatah katapun selain sapaan singkat jika kami kebetulan berpapasan, sebelum aku mengambil langkah seribu. Untungnya, persiapan debut mereka hampir selesai, jadi aku tak perlu lagi terlibat banyak. Terkadang kurasa dia berusaha untuk bicara padaku, tapi aku terus menghindar dan menghindar.
Aku tak mampu memahami betul perasaannya yang sesungguhnya. Tapi aku tak ingin memberinya harapan atau perasaan yang tertinggal. Aku harus memastikan tak ada perasaan semacam itu jadi aku terus menghindar. Dia akan bersinar, dan hal semacam ini tidak boleh dilanjutkan.
Perasaanku sendiri? Aku tidak pernah punya kesempatan untuk memastikannya. Tapi ada satu hal yang aneh, perasaan yang tertinggal padaku sejak kejadian itu adalah penyesalan. Tapi anehnya, bukan menyesal karena aku melakukan hal yang salah, tapi menyesal karena aku tidak seharusnya melakukannya.
Tidak boleh ada cinta di antara kami, karena berbagai macam alasan. Dia lebih muda dariku, 5 tahun. Dia adalah trainee di perusahaanku, seharusnya aku memberinya ketenaran, buat kisah cinta. Aku adalah atasannya, dan memang sudah seharusnya seperti itu, tanpa embel embel lain.
Perlahan, June sepertinya mengerti apa yang aku inginkan. Aku bisa melihat wajahnya yang kebingungan setiap menatapku, tapi perlahan, dia menjauh dariku. Kami tidak pernah menyelesaikan masalah ini, tapi sepertinya, kami saling mengerti satu sama lain, entah bagaimana. Saat ini, kami hampir seperti orang asing, dengan ekspresi wajah dan sapaan palsu saat kami harus bertemu karena masalah pekerjaan. Kami mulai saling mengerti dan saling melupakan demi satu sama lain.
***
Tapi tidak,
Aku masih terganggu melihatnya, bahkan saat dia tidak ada di sekitar. Melihatnya setiap hari membuatku semakin merasa sedih. Sedih, kecewa dan perasaan rindu yang aneh yang akupun tak mengerti. Debut mereka akan segera dilakukan, dan aku memutuskan untuk menunggunya datang sebelum melakukan sesuatu yang harus kulakukan.
Debut mereka akhirnya datang juga, dan aku takkan melupakan wajah-wajah bahagia mereka, saat pertunjukan dan jumpa pers pertama mereka. Aku berada di sana, di belakang panggung, di setiap momen di mana mereka akhirnya tampil di depan khalayak. Aku merasa sangat bangga, pada mereka dan diriku sendiri. Aku akhirnya menyelesaikan satu hal penting, terlebih, aku telah mewujudkan mimpi orang lain dan ini waktunya untuk mundur.
"...sekali lagi, kami mengucapkan selamat I.GIL yang berhasil debut dan berharap kesuksesan selalu hadir." Sekretaris Son menutup sambutan dengan tepuk tangan dan para hadirinpun ikut bertepuk tangan.
Ini adalah perayaan debut mereka, dan semua orang di perusahaan menghadirinya.
"Sebelum menutup sambutan ini, saya ingin memberikan satu pengumuman" dia berhenti sejenak sebelum melanjutkan,
"Direktur Pelaksana kita, Nona Kyo Najun, efektif mulai besok, akan mundur dari jabatannya untuk sementara dan meninggalkan perusahaan untuk sementara waktu. Kami harap Nona selalu sukses dan berharap dia segera kembali ke perusahaan lagi." dengan tenang Sekretaris Son memberikan pengumuman.
Semua orang terkejut mendengar pengumuman itu. Lalu hening.
"Mari kita berikan penghormatan kita karena berkat kerja keras Nona, I.GIL berhasil debut"
Sekretaris Son memecah keheningan dan bertepuk tangan. Yang lain perlahan ikut bertepuk tangan.
Aku berdiri dan membungkuk, memberikan ucapan terima kasihku pada mereka.
***
"Jadi Kak Yuhyon, jaga kantor ini ya?!" kutarik ritsleting koperku untuk menutupnya.
"Ya, Nona" aku bisa mendengar suaranya yang kaku di seberang telepon sana.
"Aku lebih suka tidak diganggu ya. Jadi jangan repot repot bertanya saranku, lakukan saja semua yang kamu bisa, yang penting, yang terbaik untuk perusahaan." kuberi dia petuah terakhir.
"Ya, Nona" tak ada protes terdengar. Bagus.
"Baiklah kalau begitu, sampai ketemu lagi kapan-kapan, Kak Yuhyon, semoga beruntung dan terima kasih banyak!" kuberikan dia salam terakhirku sebelum menutup telepon.
Tiba-tiba pintu kamarku terbuka lebar. Hyosub berdiri di sana.
"Kamu punya masalah lagi?" wajahnya terlihat marah.
Alisku terangkat, "Apa maksudmu?"
"Kamu kira aku bodoh? Aku kakakmu satu-satunya. Kamu selalu saja kabur setiap kali dapat masalah. Mau ke mana lagi kamu sekarang? Jepang lagi? Ada apa sebenarnya?"
Aku mendorong koperku ke samping tubuh dan berdiri,
"Roma. Aku akan pergi ke Roma."
"Ada apa sebenarnya? Apa kamu punya masalah? Kali ini apa?"
"Tidak, tak ada. Aku hanya ingin menyegarkan diri. Aku sudah bekerja keras menciptakan bintang, tahu kan?!"
"Iya, kamu sudah menciptakan bintang, lalu kenapa kamu pergi?"
"Aku lelah"
"Ini kan pekerjaanmu, tentu saja melelahkan, kamu kan bisa cuti, liburan, atau meliburkan diri. Kenapa harus sampai mengundurkan diri?"
"Agar perusahaan tidak perlu mengalami masalah. Bukannya egois namanya jika kita meninggalkan perusahaan begitu saja tanpa pemberitahuan secara formal dan mempercayakan orang lain untuk menggantikan kita?" aku memberikan sedikit penekanan dalam jawabanku.
Hyosub terdiam. Dia hanya mengangkat bahu sebelum mengangkat koperku.
"Jam berapa kamu harus sampai di bandara?" tanyanya mengubah bahasan.
"4 sore"
"Kuantar"